Tautan-tautan Akses

Menjelang Olimpiade, Sistem Kesehatan Jepang Kacau


Seorang pekerja medis yang mengenakan alat pelindung diri (APD) bekerja di Unit Perawatan Intensif (ICU) untuk pasien Covid-19 di Rumah Sakit Universitas Kedokteran St. Marianna di Kawasaki, selatan Tokyo, Jepang, 4 Mei 2020. (Foto: REUTERS/Issei Kato)
Seorang pekerja medis yang mengenakan alat pelindung diri (APD) bekerja di Unit Perawatan Intensif (ICU) untuk pasien Covid-19 di Rumah Sakit Universitas Kedokteran St. Marianna di Kawasaki, selatan Tokyo, Jepang, 4 Mei 2020. (Foto: REUTERS/Issei Kato)

Sambil berjuang untuk menarik nafas, Shizue Akita harus menunggu lebih dari enam jam saat petugas paramedis mencari rumah sakit di Osaka untuk merawat sakitnya yang kian memburuk akibat COVID-19.

Saat ia berhasil masuk ke salah satu rumah sakit yang sepi, dokter mendiagnosanya menderita pneumonia akut dan mengalami kegagalan organ sehingga harus dibius. Akita, yang berusia 87 tahun, meninggal dunia dua minggu kemudian.

“Sistem kesehatan Osaka telah runtuh.” kata putranya, Kazuyuki Akita. Ia hanya bisa menyaksikan dari rumahnya di utara Tokyo saat tiga anggota keluarganya di Osaka berjuang melawan virus corona, tanpa adanya perawatan kesehatan yang memadai. “Rasanya seperti neraka," ujarnya.

Rumah-rumah sakit di Osaka, kota nomor tiga terbesar di Jepang dan hanya 2,5 jam perjalanan dengan kereta super cepat dari Tokyo ke lokasi Olympiade musim panas - kini kebanjiran pasien yang terjangkit virus corona. Sekitar 35 orang orang di seluruh Jepang - dua kali lipat dari angka tersebut dirawat di rumah sakit - harus dikarantina di rumah, dan seringkali sakitnya bertambah parah dan terkadang meninggal dunia sebelum mendapatkan perawatan medis.

Seiring dengan tingginya angka kasus di Osaka, para tenaga medis mengatakan bahwa sistem kesehatan, dari semua sisi, telah melambat, meregang, dan membebani. Dan itu terjadi di wilayah lain di Jepang.

Rasa frustasi dan ketakutan tampak jelas saat The Associated Press mewawancarai sejumlah pekerja medis dan keluarga pasien di Osaka. Suasananya sangat berbeda dengan kondisi di ibu kota Tokyo, di mana panitia Olimpiade dan pejabat pemerintah tetap bersikukuh untuk melangsungkan acara di bulan Juli itu, Panitia mengatakan Olimipiade akan berjalan aman dan tertib meskipun kondisi darurat menyebar ke semakin banyak bagian negara itu dan bertambah banyak warga yang menyerukan pembatalan.

Beberapa pihak memandang kondisi di Osaka sebagai sebuah peringatan akan situasi yang bisa terjadi di seluruh bagian Jepang jika krisis ini memburuk pada saat pejabat pemerintah - dan dunia - fokus pada Olimpiade.

Pergulatan Osaka adalah “bencana buatan manusia,” kata Akita kepada AP dalam pesan tertulis, yang disebabkan sebagian oleh pemerintah yang mencabut kondisi darurat meskipun melihat tanda-tanda akan berbaliknya serangan virus. Ia berpendapat ibunya akan selamat jika dirawat lebih awal.

Pengunjuk rasa anti-Olimpiade memamerkan plakat di depan monumen cincin Olimpiade. (Foto: REUTERS/Issei Kato)
Pengunjuk rasa anti-Olimpiade memamerkan plakat di depan monumen cincin Olimpiade. (Foto: REUTERS/Issei Kato)

Banyak warga di sini yang terkejut dengan apa yang terjadi. Bagaimanapun, Jepang adalah negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia dan telah menangani pandemi ini lebih baik daripada banyak negara maju lainnya. Namun lonjakan kasus saat ini telah membawa data harian orang yang sakit dan sekarat ke titik tertinggi baru.

Kekacauan tersebut paling terlihat di Osaka.

Paramedis, berbalut APD, tak bisa memberikan nafas buatan dari mulut ke mulut dan harus mengambil tindakan pencegahan ekstrem untuk mencegah penularan dengan aerosol, kata pejabat dan tenaga kesehatan. Setelah sebuah ambulans mengangkut pasien COVID-19, kendaraan itu harus disinfektan selama satu jam, memperlambat proses paramedis untuk menangani pasien berikutnya.

Pasien gawat darurat hanya mendapatkan perawatan yang kebetulan tersedia saat itu, dan bukan perawatan yang seharusnya memperbesar peluang mereka untuk bertahan hidup, kata ahli medis.

Seorang pasien yang menderita gagal jantung, misalnya, ditolak oleh rumah sakit darurat lanjutan, dan seorang anak dengan kondisi kritis gagal mendapatkan rumah sakit anak karena semuanya penuh, menurut seorang paramedis di Osaka yang hanya mengungkapkan nama depannya, Satoshi, karena ia tidak berwenang untuk bicara dengan media. Anak itu kemudian meninggal, katanya.

“Tugas kami adalah membawa mereka yang sekarat dan kondisinya memburuk ke rumah sakit,” ia menambahkan. “Di situasi seperti ini, kami bahkan tak mampu melakukan tugas kami.”

Saat aturan darurat lambat di tengah lonjakan kasus, dukungan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Yoshihide Suga merosot. Sementara Ia menegaskan bahwa Jepang aman untuk menggelar Olimpiade, jajak pendapat menunjukkan 60% hingga 80% warganya menentang pelaksanaan ajang olah raga itu.

Sejauh ini belum ada indikasi bahwa Olimpiade akan dibatalkan. Komite Olimpiade Internasional (IOC), yang telah menyelesaikan sesi rencana terakhirnya Jumat ini dengan Panitia Olimpiade Tokyo, telah berulang kali menyatakan bahwa mereka akan jalan terus.

Seorang perempuan lanjut usia memberikan isyarat untuk mengucapkan terima kasih setelah menerima vaksinasi COVID-19 di Itami, Jepang barat, 12 April 2021. (Foto: Kyodo via Reuters)
Seorang perempuan lanjut usia memberikan isyarat untuk mengucapkan terima kasih setelah menerima vaksinasi COVID-19 di Itami, Jepang barat, 12 April 2021. (Foto: Kyodo via Reuters)

Namun anggota paling senior IOC, Richard Pound, dalam sebuah wawancara dengan JiJi Press Jepang mengatakan bahwa tenggat waktu akhir untuk membatalkan ajang ini adalah “sebelum akhir bulan Juni.” Pound mengulang apa yang disampaikan IOC bahwa jika Olimpiade tak bisa digelar musim panas ini maka perhelatan itu akan dibatalkan, bukan ditunda lagi.

Sejumlah lembaga kesehatan Jepang mengatakan, mereka tak mampu mengakomodasi kebutuhan medis Olimpiade di tengah tekanan akan meningkatnya perawatan terkait virus corona.

Pada minggu ini Osaka telah melampaui Tokyo, kota terbesar di negara itu, dengan jumlah kematian akibat virus terbanyak, di angka 2.036. Dari sekitar 15.000 pasien di Osaka, hanya 12% yang dirawat di rumah sakit, sementara sisanya harus menunggu di rumah atau di hotel. Berdasarkan data statistik kepolisian, angka kematian akibat COVID-19 yang terjadi di luar rumah sakit di bulan April meningkat tiga kali lipat dibandingkan bulan Maret menjadi 96, termasuk 39 di Osaka dan 10 di Tokyo.

Lalu mengapa kekacauan terjadi?

Sebagian penyebabnya adalah, karena perawatan COVID-19 yang tergolong non-profit, kebanyakan terbatas hanya pada rumah sakit pemerintah, yang jumlahnya hanya seperlima dari 8000 rumah sakit di Jepang. Rumah sakit swasta, yang kebanyakan berskala kecil, ragu-ragu atau tidak siap untuk menangani kasus terkait virus corona.

Pemerintah juga secara signifikan telah mengurangi jumlah pusat kesehatan lokal, yang menjadi kunci pencegahan penyebaran penyakit ini, dari sekitar 850 pada tahun 1990an menjadi 469 di tahun 2020, menyebabkan “penyumbatan” karena pegawai berkurang namun jam kerja bertambah.

Seorang pekerja medis mencoba melepas masker pelindung wajah di bangsal ICU untuk pasien COVID-19 di Rumah Sakit Universitas Kedokteran St.Marianna di Kawasaki, selatan Tokyo, Jepang, 4 Mei 2020. (Foto: REUTERS / Issei Kato)
Seorang pekerja medis mencoba melepas masker pelindung wajah di bangsal ICU untuk pasien COVID-19 di Rumah Sakit Universitas Kedokteran St.Marianna di Kawasaki, selatan Tokyo, Jepang, 4 Mei 2020. (Foto: REUTERS / Issei Kato)

Kurang dari 5% dari sekitar 1.5 juta ranjang rumah sakit di Jepang diperuntukkan bagi perawatan COVID-19, meningkat dari sekitar 1000 di bulan April tahun lalu, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, namun tetap saja jumlah itu tidak cukup.

Lonjakan kasus terbaru menunjukan kasus lebih serius yang cepat memenuhi rumah sakit.

Lebih dari 50 persen dari sekitar 55 kasus kematian akibat virus Corona di rumah sakit Juso Kota Osaka berasal dari lonjakan terbaru, kata Dr. Yukio Nishiguchi, kepala rumah sakit. “Rasanya seperti bencana,” ia menambahkan. [er/ah]

XS
SM
MD
LG