Tautan-tautan Akses

Mengukur Pengaruh Pilkada 2018 untuk Pilpres 2019


Ketua KPU RI Arief Budiman (memegang microphone) memberi keterangan pers terkait pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia, Rabu 27/6. (foto: Petrus Riski/VOA).
Ketua KPU RI Arief Budiman (memegang microphone) memberi keterangan pers terkait pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia, Rabu 27/6. (foto: Petrus Riski/VOA).

Meski belum ditetapkan KPU, hasil Pilkada serentak 2018 sudah diketahui. Partai pengusung calon mengaitkan hasilnya dengan potensi dalam Pilpres 2019. Apakah bisa?

Kemenangan partai-partai pendukung Presiden Jokowi dalam Pilkada 2018 kemarin, seperti PDI-P, Nasdem dan Hanura dinilai akan berpengaruh terhadap kans Jokowi memenangkan Pilpres 2019. Muncul kepercayaan diri, bahwa Jokowi sepenuhnya siap bersaing tahun depan.

Sekretaris Jenderal PDI P, Hasto Kristiyanto dalam keterangannya kepada media menyatakan, begitu selesai Pilkada saat ini PDIP fokus mempersiapkan pemilu legislatif dan Pilpres 2019. Kepercayaan diri partai ini meningkat, antara lain areka kader mereka yang menjadi kepala dan wakil kepala daerah meningkat signifikan dalam 5 tahun ini, dari 214 menjadi 345 orang.

"Prestasi dan kinerja para kader ini yang akan menjadi wajah partai dalam memenangkan Pileg dan Pilpres. Pileg dan pilpres di depan mata, di situlah konsentrasi utama kami saat ini," kata Hasto.

Mengukur Pengaruh Pilkada 2018 untuk Pilpres 2019
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:28 0:00

Namun, apakah benar bahwa hasil Pilkada berpengaruh langsung terhadap peluang Jokowi menang mudah tahun depan?

Pengamat politik Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Dr Asrinaldi ketika dihubungi VOA menegaskan, sulit menemukan benang merah itu. Dia tidak yakin hasil Pilkada 2018 merepresentasikan hasil Pilpres 2019. Dalam kasus hubungan Jokowi dan PDI-P, kata Asrinaldi, yang terjadi adalah Jokowi yang justru menaikkan elektabilitas partai itu, dan bukan sebaliknya.

Dalam Pilkada, pemilih mempertimbangkan figur calon, dan tidak melihat partai sebagai pengusung ideologi tertentu. Karena itu, yang bisa disimpulkan, kata Asrinaldi, adalah bahwa Pilkada merupakan salah satu jalan mengamankan potensi kemenangan di 2019 saja.

“Barangkali untuk mengamankan suara di daerah memang iya, tetapi apakah dengan koalisi ini mencerminkan kemenangan Jokowi di 2019, saya pikir tidak begitu. Tetapi untuk mengamankan 2019, dengan cara memenangkan Pilkada, itu satu strategi yang bagus. Apakah dengan demikian akan menjamin suara Jokowi, tidak begitu,” ujar Asrinaldi.

Analisa Asrinaldi didasarkan pada fakta bahwa hingga saat ini, belum ada nama kuat yang dipromosikan sebagai lawan Jokowi tahun depan. Baru ada nama Prabowo yang memiliki elektabilitas relatif cukup, meski masih jauh di bawah. Jika sudah ada nama yang lebih mudah diterima pemilih, menurut Asrinaldi, mungkin ceritanya akan berbeda.

Budaya koalisi yang sangat cair di kalangan partai politik juga akan berpengaruh di 2019. Sementara dalam Pilkada 2018, koalisi itu tidak memiliki bentuk jelas. Di sejumlah daerah, partai pendukung Jokowi juga berkoalisi dengan pendukung Prabowo.

“Politik kita memang agak unik, politisi berpikir jangka pendek. Kepentingan kelompok tertentu dalam partai lebih menjadi pertimbangan. Kita tahu, partai kita sangat oligarkis, yang menentukan keputusan hanya beberapa orang dan mau tidak mau diikuti. Jadi, memang begitulah politik kita. Kepentingan jangka pendek oligarki partai.

Direktur lembaga politik, Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago kepada VOA mengatakan, Pilkada 2018 bisa diposisikan sebagai bahan pelajaran untuk kontestasi 2019. Sayangnya, kali ini bukan partai kecil yang harus belajar dari partai besar, tetapi justru sebaliknya. Baik Jokowi dan PDI-P maupun Prabowo dan Gerindra, harus mengajukan pertanyaan, mengapa calon-calon dari partai pendukung utama mereka itu, banyak mengalami kekalahan.

Pangi Syarwi justru memberi kredit khusus kepada partai menengah, seperti Nasdem atau Hanura yang bisa mencuri kesempatan. Mereka menang, karena jeli memilih calon yang didukungnya, terutama faktor popularitas dan dukungan pemilih.

“Bagi saya ini testing the water bagi masing-masing partai untuk kembali membaca keinginan pemilih. Ada partai yang sedang menguji mesin, ada juga yang sekedar menjadi tim hore dalam bertarung. Partai lama harus belajar dari partai baru atau papan tengah yang bisa menang di 10-12 provinsi dalam Pilgub. Selain karena kader penting, membaca tren yang disukai publik juga penting, sehingga kasus kemenangan partai papan tengah menjadi pelajaran bagi Gerindra dan PDI P,” ujar Pangi Syarwi.

Kekalahan calon dari partai besar, seperti dalam kasus di Jawa Barat, dipengaruhi banyak faktor. Menjurut Pangi Syarwi, faktor itu antara lain karena figurnya kurang menjual, personal branding tidak jalan, gaya komunikasi buruk, belum dikenal dan belum berbuat sesuatu untuk masyarakat, muncul sebagai politisi musiman tanpa rekam jejak cukup. Sayangnya, calon semacam itu justru dipaksakan muncul oleh partai besar.

“Partai papan tengah sepeti Nasdem dan Hanura, tidak mengajukan kader sendiri atau istilahnya mengirim petugas partai, tetapi mencoba menyewakan perahu. Kemenangan Nasdem lebih banyak karena membaca sentimen atau tren yang disukai publik, pemimpin mana yang elektabilitasnya sedang bagus,” ujar Pangi Syarwi.

Pangi Syarwi menyarankan Jokowi maupun Prabowo menjadikan Pilkada 2018 sebagai bahan renungan. Dia menambahkan, peta politik Pilkada ini menjadi episentrum untuk mengukur mesin partai, mengevaluasi kinerja dan mempelajari sentimen masyarkaat. [ns/em]

XS
SM
MD
LG