Aksi unjuk rasa mahasiswa untuk mengkritisi sejumlah kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat masih menjadi sarana menyuarakan aspirasi dan keprihatinan rakyat. Beberapa demonstrasi, seperti aksi Indonesia Gelap, menolak kebijakan yang dianggap tidak peka terhadap kepentingan rakyat kecil; mulai dari rencana kenaikan pajak, kenaikan uang kuliah tunggal, program prioritas seperti makan bergizi gratis yang memangkas anggaran untuk kepentingan rakyat khususnya pendidikan dan kesehatan, kampus mengelola tambang, hingga Perppu Perampasan Aset yang harus menjadi prioritas pada program legislasi nasional.
Menurut Muhadzib Zaky, mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa), meskipun masih menjadi cara efektif untuk menyuarakan aspirasi, hasil gerakan mereka sering kali tidak sesuai harapan. Gerakan aktivisme seharusnya dibangun bersama elemen masyarakat lainnya agar suara mereka semakin kuat untuk didengar dan dijalankan oleh pemerintah.
“Kalau soal aktivisme atau demonstrasi, menurut saya lebih efektif lagi kalau melibatkan semua pihak, semua elemen masyarakat, jadi tidak hanya terpatok pada mahasiswa. Meski pun sejauh ini banyak gaungan bahwa mahasiswa adalah agent of change, atau apalah, itu hanyalah pernyataan beberapa pihak saja. Tapi tetap, yang eksekusi, yang terlibat adalah semua elemen masyarakat. Dari situ, massa aksi akan lebih solid, lebih banyak antusiasmenya dan lebih akan didengar,” papar Zaky.
Sekarang ini, gerakan mahasiswa dianggap belum sampai menyentuh akar permasalahan berbagai persoalan sosial politik. Masalah lainnya, mereka menghadapi fenomena mantan aktivis yang kini berada di pihak kekuasaan.
Menurut Dimas Kuswantoro, mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Terbuka (UT) Surabaya, fenomena mantan aktivis mahasiswa yang tidak lagi idealis dan terjun di politik atau menjadi bagian kekuasaan merupakan contoh buruk gerakan aktivisme. Kata Dimas, ini dapat menjadi pembenaran aktivis mahasiswa masa kini, yang melihat realitas kebutuhan akan kesejahteraan sebagai ujung dari sebuah perjuangan.
“Pola bagaimana teman-teman yang seharusnya mempertahankan idealismenya tetapi memilih untuk terjun ke politik praktis ini malah cenderung dinormalisasi. Entah bagaimana kemudian teman-teman mahasiswa ini mencoba untuk meneruskan hal tersebut. Atau mungkin memang mereka sudah memikirkan logika, ‘nantinya kalau sudah tidak jadi mahasiswa lagi, saya akan terjun ke politik praktis’ misalnya, atau melakukan pola yang seharusnya mereka sebagai mahasiswa gaungkan justru mereka lupakan ketika bukan sebagai mahasiswa,” ujar Dimas.
Dimas menambahkan, aktivisme mahasiswa masa kini harus mampu menjaga idealisme dan nilai solidaritas gerakan mereka sebagai salah satu fungsi kontrol sosial dan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
“Aku pun di sini merasa kalau, pertama, ini adalah wadah untuk mengedukasi dan juga untuk menjadi kontrol sosial. Aku merasa bahwa keberpihakan dari lembaga pers mahasiswa di kampus ini memang harus bergerak bersama mereka yang termarginalkan. Kupikir, itu yang membawaku untuk lebih aktif di lingkup ini. Jadi, aku tidak hanya sebagai lembaga pers mahasiswa, tapi aku juga terlibat secara kolektif dengan solidaritas teman-teman,” imbuh Dimas.
Pengaruh Teknologi Informasi
Aktivis mahasiswa era 1998, yang juga Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Jawa Timur, Dandik Katjasungkana, menilai ada perbedaan antara mahasiswa masa reformasi dengan saat ini. Perbedaan itu dipengaruhi oleh situasi zaman yang berbeda dan perkembangan teknologi informasi.
Ia mengatakan, perkembangan teknologi informasi saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa dalam memvalidasi semua informasi yang diperoleh, yang sulit membedakan antara fakta dan kabar bohong. Menurut Dandik, ini akan memengaruhi cara mahasiswa menggali dan menganalisis informasi, serta menentukan musuh bersama yang harus dihadapi dalam perjuangan gerakan mahasiswa.
“Tantangan anak muda sekarang adalah sulit mengidentifikasi apakah suatu peristiwa masa lalu itu mengandung kebenaran atau sekadar hoaks. Ini disebabkan oleh karut marutnya informasi. Mereka harus pandai-pandai mencari cara untuk memvalidasi apakah suatu peristiwa itu memang faktual atau tidak, karena perubahan teknologi membawa perubahan arus informasi dan informasinya pun bermacam-macam. Jadi sekarang agak susah membedakan mana fakta, mana fiksi,” tukas Dandik.
Alumni FISIP Universitas Airlangga ini mendorong mahasiswa agar mampu mengidentifikasi musuh bersama untuk membuat kerangka besar perjuangan pergerakan mereka. Musuh bersama sekarang ini berbeda dengan masa kekuasaan Orde Baru. Sekarang ini, setiap pemerintahan daerah hingga pusat memiliki oligarki sendiri, lanjut Dandik.
Aktivisme juga sering diredam oleh kekuasaan yang di dalamnya terdapat para mantan aktivis mahasiswa sehingga menurutnya, perlu siasat tersendiri agar gerakan mereka berhasil.
Ia menambahkan, “Kekuasaan bisa terus mereformasi dirinya. Dia bisa mengidentifikasi, ‘oh ini ada potensi perlawanan yang kencang,’ misalnya, dia akan mereformasi dirinya. ‘Ada potensi perlawanan nih terhadap kenaikan pajak, PPN,’ ditunda saja. Jadi, ada proses reformatif yang terus menerus dilakukan oleh kekuasaan untuk meredam potensi berkembangnya perlawanan yang lebih luas. Itu kan suatu siasat politik yang dilakukan kekuasaan. Nah, seharusnya kelompok masyarakat sipil atau gerakan mahasiswa juga punya siasat sendiri.”
Literasi Sosial Politik
Dosen Filsafat Politik, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Untara Simon, menyebut masalah literasi di bidang sosial politik merupakan salah satu tantangan mahasiswa di era digital. Banyaknya informasi di dunia digital, termasuk yang tidak benar, menyulitkan mahasiswa untuk menyimpulkan suatu masalah sosial yang terjadi, kata Untara Simon.
“Ada masalah besar di literasi mereka dalam hal sosial politik, sehingga kalau ditanya apakah para mahasiswa akan bisa sampai pada kesimpulan-kesimpulan, ‘oh benar ini terjadi penindasan, lalu ‘benar ini pemerintah tidak serius dalam mengurusi negeri ini’, mereka barangkali sampai ke situ. Tapi setelah itu, untuk sampai pada kesimpulan ‘lalu saya mau melakukan apa,’ menurut saya yang betul-betul dibutuhkan oleh mahasiswa adalah ruang-ruang, yang semakin tersisihkan karena situasi digitalitas kita,” kata Untara.
Untara Simon menyoroti minimnya ruang kritis bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Banyaknya tugas kuliah dan tuntutan lulus kuliah tepat waktu menjadi bagian yang mengurangi daya kritis mahasiswa dalam menyikapi berbagai persoalan sosial di tengah masyarakat.
“Gempuran terhadap ideologi mahasiswa, itu bukan hanya pesimisme yang berasal dari para senior mereka, menurut saya, tetapi juga dari sistem pendidikan kita di Indonesia saat ini yang semakin hari semakin tidak memberi ruang untuk ruang-ruang kritis,” tambahnya.
Gerakan aktivisme mahasiswa juga terjadi di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat. Aksi unjuk rasa mahasiswa pada era 1968-1972 akhirnya membantu mengakhiri perang AS di Vietnam. Columbia University di New York merupakan salah satu universitas di AS yang memelopori gerakan mahasiswa yang turut menentang Perang Vietnam.
Gerakan mereka berujung pada penghentian perang dan penarikan mundur seluruh pasukan AS dari negara itu. Sementara itu, demonstrasi mahasiswa sekarang ini yang dilakukan untuk menyikapi krisis di Gaza diharapkan akan menyudahi perang yang telah menimbulkan banyak korban jiwa. [pr/uh]
Forum