Seiring dengan berjalannya waktu dan dengan berbagai alasan, adat kebiasaan turun-temurun itu telah ditinggalkan, dan kini bahkan perempuan Dayak bertelinga panjang mulai sulit ditemukan. Mengamati fenomena ini, seorang fotografer profesional berusaha mengabadikan warisan budaya tersebut dalam sebuah buku antropologi fotografi berjudul Melacak Jejak Telinga Panjang.
Memanjangkan telinga sejak kanak-kanak pernah menjadi ciri khas sebagian perempuan Dayak di pedalaman Kalimantan Timur. Kebiasaan itu dilakukan dengan berbagai tujuan. Di antaranya, sebagai simbol status sosial – yang juga merujuk pada trah kebangsawanan. Misalnya semakin panjang telinga seorang perempuan, semakin penting pula peran yang bersangkutan bagi sukunya. Selain itu, ini juga merupakan simbol kesabaran dan kecantikan.
Ati Bachtiar adalah seorang fotografer bersertifikat yang jatuh cinta dengan budaya Dayak. Perempuan Sunda yang mengenal seni fotografi dari suaminya yang seorang fotografer profesional ini juga merasa prihatin dengan kondisi hampir punahnya tradisi telinga panjang. Sarjana Sastra Prancis ini, yang mengaku belajar fotografi secara mandiri atau otodidak, bahkan merasa iba dengan para perempuan bertelinga panjang yang kini hanya tinggal beberapa lusin yang masih hidup.
Oleh karena itu, Ati, yang telah mengikuti berbagai pameran berskala nasional dan internasional ini mengaku merasa berbeban untuk mengabadikan apa yang tersisa itu dalam bentuk buku foto.
Patung kecil pemberi inspirasi
Peraih penghargaan fotografi bertema seni dan budaya dari Kementerian Luar Negeri Indonesia tahun 2011 ini memulai proyek pemotretan dengan keterbatasan dana dan berbagai tantangan yang harus dilewatinya. Ati, yang juga asesor kompetensi bidang fotografi di Badan Nasional Sertifikasi Profesi, semakin merasa terinspirasi setelah secara tidak sengaja “bertemu” dengan sebuah patung kecil perempuan bertelinga panjang dalam kunjungannya ke Kalimantan Timur pada tahun 2013.
“Saya terinspirasi ketika saya bertemu dengan sebuah patung kecil, patung kayu di sebuah lamin adat yang saat itu dalam perbaikan. Patung itu menangis, warnanya merah darah. Jadi, saya foto saja waktu itu dan saya merasa tersentuh dengan gambar itu.”
Tradisi kuping panjang di ambang kepunahan
Dalam kunjungan pada tahun berikutnya Ati bertemu dengan perempuan bertelinga panjang yang sesungguhnya. “Pertemuan itu sangat mengesankan. Jadi, saya akhirnya ingin tahu lebih banyak,” katanya seraya menambahkan, “Setelah saya tahu, ternyata telinga panjang ini adalah budaya-budaya yang sudah berlangsung lama, dan ternyata di ambang kepunahan. Jadi, generasi penerusnya itu sudah tidak ada lagi.”
Ati berhasil memotret 78 nenek dan dia mendapati bahwa tidak ada satu pun perempuan lebih muda yang meneruskan budaya ini.
“Jadi, saya sebagai fotografer merasa perlu untuk mendokumentasikan karena fotografi itu kan seolah membekukan waktu,” imbuh Ati.
Buku berjudul Melacak Jejak Telinga Panjang – menyusul dua buku sebelumnya – akhirnya berhasil diterbitkan pada akhir Oktober 2023. Buku setebal 252 halaman yang memuat 234 foto para perempuan bertelinga panjang hasil jepretan Ati secara langsung di desa-desa terpencil ini terealisasikan setelah perjalanan panjang dengan berbagai tantangan.
Perjalanan panjang dengan berbagai tantangan
Perjalanan panjang yang menantang itu dimulai sejak turun dari pesawat yang membawanya dari Jakarta. Petualangan kemudian diteruskan dengan penerbangan perintis dan dilanjutkan dengan menumpang perahu menyusuri Sungai Mahakam dan kemudian dengan sampan lebih kecil lagi. Diperlukan sedikitnya tiga hari perjalanan untuk mencapai desa-desa tempat tinggal beberapa nenek bertelinga panjang yang masih tersisa.
Lidwina (Wina) Lirung berasal dari suku Dayak pedalaman Kalimantan Timur yang kini bermukim di Prancis. Berbicara dengan VOA, dia mengaku bersyukur bahwa ada orang dari luar daerah yang berusaha mendokumentasikan telinga panjang sebelum tradisi itu punah.
“Saya kagum. Kalau menurut saya pribadi, saya sangat bersyukur dalam artian bertemu Teteh (Ati) di saat-saat seperti sekarang…juga niat dari awal. Akan dibawa ke mana? Akankah kita melihat telinga panjang itu lagi, taruhlah 20 tahun ke depan? Nanti untuk anak cucu (bahkan) dari saya orang Dayak, mereka akan hanya melihat, akan tahu cerita itu kalau ada yang mendokumentasikannya. Teteh ini pergerakannya, menurut saya, luar biasa. Saya sendiri orang Dayak, jujur saya mungkin tidak akan sanggup seperti beliau.”
Wina mengatakan, “saya sendiri tidak akan mampu keluar-masuk kampung, apalagi dengan dana yang minim.” Ia menambahkan, “perjalanan ke Hulu Mahakam – itu ke kampung saya – pun biayanya itu nggak ampun-ampun.” Sebagai gambaran, biaya perjalanan ke Pulau Bali, atau bahkan ke Jepang akan lebih murah dibandingkan dengan biaya perjalanan ke Hulu Mahakam, ditambah lagi kenyataan bahwa perjalanan itu harus dilakukan beberapa kali.
“Jadi, keberadaan dokumentasi itu sangat-sangat mahal karena itu sangat bermanfaat buat generasi penerus saya, dalam artian saya sebagai orang Dayak, asli orang Dayak. Salut buat Teh Ati. Jadi sedemikian perjuangannya. Ini jadi jejak rekam yang luar biasa buat generasi penerus bangsa Indonesia secara general (umum).”
Diperlukan perjalanan berulang kali dalam rentang waktu tujuh tahun untuk pendokumentasian tradisi yang semakin sulit ditemukan ini. Ati melakukan semua kunjungan ke pedalaman Hulu Mahakam dengan segala keterbatasan dana dan bahkan dia harus menginap di rumah-rumah para nenek yang dikunjunginya.
“Ini semua bisa terjadi juga karena menurut saya kuasa Tuhan, kuasa Allah saya bisa jalan itu karena ya support dari teman-teman yang ikut bantu. Jadi selama di kampung Dayak saya bisa hidup dengan mereka, tidur di rumah nenek-nenek itu. Jadi, saya malah mendapat banyak saudara. Ini perjalanan saya selama tujuh tahun,” ungkapnya.
Selama tujuh tahun itu Ati mengunjungi 23 desa dalam 15 kali perjalanan. Sekali perjalanan memerlukan waktu paling sedikit 10 hari, dengan tiga hari perjalanan untuk mencapai desa yang dituju.
“Jadi untuk bertemu, untuk bisa memotret juga nggak gampang, nggak ujug-ujug datang, motret gitu. Kita kan sebagai tamu, ya harus memperkenalkan diri dulu, harus menyatakan niat. Saya jujur saja mendokumentasikan, dan saya ingin membuat buku, dan saya tidak di balik siapapun. Ini atas nama pribadi gitu saja.”
Ati mengatakan tidak semua nenek tiba-tiba bersedia difoto begitu saja, tetapi dia mengaku tidak pernah mau mundur karena sudah jauh-jauh datang.
“Ketika ditolak, ya udah saya diam aja di situ, nungguin gimana caranya, tapi akhirnya ya, alhamdulillah, berhasil dan akhirnya saya bisa mengumpulkan 78 nenek dari berbagai desa.”
Kegigihan itu, menurut Ati, bahkan membuahkan ikatan persaudaraan yang erat. Ia mengaku merasa sebagai bagian dari keluarga mereka. “Saya punya tiga ibu angkat Dayak dan saya juga punya anak angkat Dayak yang bersekolah, mendapat beasiswa di Jakarta.”
Tradisi yang semakin sulit ditemukan dan di ambang kepunahan
Jumlah perempuan Dayak bertelinga panjang kini semakin berkurang. Dari ke-78 nenek yang sempat ditemui dan fotonya dimuat ke dalam buku Melacak Jejak Telinga Panjang, 29 di antaranya telah meninggal dunia. Banyak faktor yang menyebabkan tradisi ini ditinggalkan oleh para perempuan Dayak.
Warga yang ditemui Ati mengatakan jumlah perempuan bertelinga panjang masih banyak sampai awal 1960-an karena telinga panjang dan tato menunjukkan identitas mereka.
Bahkan, kepada Ati ,warga mengatakan “ibu-ibu yang dulu itu memang telinganya panjang semua,” walaupun untuk itu diperlukan biaya yang tidak sedikit, dan bahkan bisa “menghabiskan tanah.”
Namun, tradisi itu mulai surut terutama sejak awal masa Orde Baru “karena telinga panjang dianggap terlalu aneh,” tidak didukung, dan penyandangnya diperlakukan secara diskriminatif. Bahkan, masyarakat yang ditemui Ati mengatakan bahwa ada upaya pemerintah untuk menghapuskan tradisi tersebut.
Perlakuan diskriminatif itu misalnya terjadi pada anak-anak perempuan yang hendak masuk sekolah atau melamar pekerjaan, terutama di lembaga-lembaga pemerintah. Mereka mengatakan bahwa mereka yang bertelinga panjang diminta memotongnya.
Wina membenarkan kondisi demikian. Ia mengatakan bahwa neneknya masih bertelinga panjang, dan ibunya pun mulai mempraktikkan adat kebiasaan itu sejak usia sekitar tiga tahun. Namun, sang ibu harus meninggalkan tradisi itu ketika beranjak pada usia sekolah, apalagi ia kemudian melanjutkan sekolah di Bandung.
"Jadi, saya bercerita di kampung saya sendiri, di kondisi keluarga saya sendiri ya. Nenek saya sendiri telinga panjang, kebetulan masih ada darah biru ya kita bilang. Sebelumnya juga selain simbol kecantikan, kuping panjang itu adalah status sosial seseorang. Ibu saya sendiri itu termasuk yang sempat mau dipanjangkan. Tapi, pada akhirnya kita bertolak belakang dari sejarah, mama saya yang sempat dipanjangkan kupingnya kemudian dipotong dengan alasan security, keamanan.”
Wina mengakui bahwa kondisi sekarang memang semakin tidak memungkinkan untuk melestarikan tradisi telinga panjang.
“Kalau saya melihat kondisinya seperti sekarang, jadi kenapa di kampung saya sendiri tidak ada lagi ditemui keinginan orang-orang untuk memanjangkan kuping? Karena supaya mendapat pekerjaan yang layak. Mereka ingin sekolah ke luar kota.”
Wina menambahkan bahwa sama dengan kuping panjang, tradisi tato juga mengalami nasib yang sama karena adanya anggapan negatif atau stigma, termasuk dari para pemangku kepentingan pada tataran pemerintahan.
“Tato itu kan sebenarnya sesuatu hal yang lumrah untuk kami suku Dayak. Tapi banyak sekali orang memandang miring tentang tato. Aturan sendiri kan kalau mau masuk pegawai negeri sipil, PNS, yang bertato nanti nggak akan diterima. Orang nggak tahu itu adalah tradisi yang memang secara turun-temurun.”
Perlakuan diskriminasi
Ati Bachtiar menyatakan pendapatnya bahwa telinga panjang sebenarnya merupakan kekayaan budaya yang luar biasa. “Jadi, kekayaan budaya bukan saja milik orang Dayak sebetulnya, itu milik Indonesia dan menjadi salah satu keunikan tradisi khususnya kecantikan wanita yang hanya ada empat di dunia: telinga panjang, kemudian leher panjang di Myanmar, mulut lebar di Afrika, dan kaki mungil di China,” ujarnya.
Alih-alih dibanggakan, Ati menandaskan bahwa dalam kenyataan mereka justru didiskriminasi.
“Ya sejujurnya dari hasil riset saya, itu di antara 78 yang bertahan itu mungkin ada ribuan yang memotong telinga. Kenapa? Karena tidak diberi kesempatan untuk sekolah, jadi untuk sekolah itu nggak boleh. Jadi ini saya punya rekaman mereka, misalnya telinga panjang, anak-anak disuruh pulang.”
Para nenek bertelinga panjang patut mendapat penghargaan
Ati berpendapat dan berharap para nenek yang hingga kini masih mempertahankan telinga panjang diberi penghargaan kebudayaan “karena mereka itu enggak mudah untuk bisa bertahan, bahkan mereka tuh harus sampai sembunyi-sembunyi ke hutan-hutan untuk bertahan, sementara yang lain harus memotong telinga, yaitu sebagai pilihan yang tidak mudah.”
Wina sebagai orang Dayak setuju kalau para nenek itu mendapat penghargaan. Tetapi menurutnya yang lebih pantas dan sewajarnya mendapat anugerah dari pemerintah adalah orang yang telah berusaha matia-matian dengan segala tantangan, rintangan, dan keterbatasan untuk mendokumentasikan tradisi yang semakin langka tersebut.
“Sekali lagi, Teteh Ati benar-benar yang luar biasa. Jadi, anugerah itu sebenarnya oke lah. Kami sebagai orang Dayak, bukan hanya untuk nenek-nenek ini, tetapi anugerah budaya itu mungkin lebih (pantas) ke Teteh Ati,” pungkasnya. [lt/uh]
Forum