Nusantara, Ibu Kota masa depan Indonesia adalah wilayah yang telah menjadi tempat tinggal masyarakat secara turun temurun. Sejumlah pihak meminta pemerintah menjamin hak mereka dan memitigasi potensi konflik.
Desakan itu mengemuka dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Senin (28/3). Sejumlah anggota DPR menyelipkan pernyataan mereka terkait Ibu Kota Negara (IKN), di antara sejumlah isu yang dibicarakan.
Salah satunya adalah Dwita Ria Gunadi dari Fraksi Gerindra.
“Lokasi IKN bukan hanya tanah kosong yang dikuasai oleh negara. Tetapi ada tumpang tindih dengan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya di alam. Fraksi Gerindra meminta agar penetapan kawasan hutan IKN dan penyelesaian konflik, perlu dilakukan sebelum membangun IKN ini,” kata Ria.
Komisi IV sendiri telah melakukan kunjungan masa reses ke kawasan IKN. Menurut Ria, dari laporan yang ada diketahui bahwa izin pemanfaatan sejumlah lokasi di IKN telah dikuasai oleh sejumlah korporasi. Mereka bergerak di sektor kehutanan, pertanian maupun pertambangan. DPR mendesak Menteri LHK untuk memastikan, bagaimana skema pembebasan lahan akan dilakukan. Terutama, karena ada juga hak-hak masyarakat adat yang dikhawatirkan tumpang tindih di kawasan tersebut.
“Ada tercatat 21 kelompok masyarakat adat yang mendiami kawasan IKN. Dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dari perencana IKN. Masyarakat adat ini harus menjadi bagian dari pembangunan wilayah tersebut,” tambah Ria.
Masyarakat Adat Klaim Diabaikan
Diwawancarai VOA, tokoh adat sekaligus Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur, Margaretha Seting Beraan menilai, pembangunan IKN tidak mendengarkan aspirasi mereka.
“Menurut saya, semua perencanaan IKN sampai sekarang itu sebenarnya mau mudahnya saja. Mereka meniadakan masyarakat adat untuk memastikan bahwa urusan negosiasi melibatkan hanya orang-orang yang mudah, orang-orang yang tidak akan menolak, orang yang tidak akan kritis terhadap IKN ini,” ujar dia.
Ada kesan, lanjut Margaretha, pembangunan IKN dikebut karena mengejar target masa jabatan Presiden Joko Widodo. Kondisi itu membuat langkah-langkah yang diambil tidak bijak, misalnya mengabaikan masyarakat adat setempat. Memang ada tokoh adat yang ditemui presiden, tetapi menurut Margaretha, tidak jelas siapa mereka dan perannya bagi komunitas adat selama ini.
Seharusnya, lanjut dia, pelibatan bahkan sudah dilakukan sejak perencanaan, sebelum titik lokasi IKN ditentukan. Setidaknya, masyarakat adat akan punya opsi, apakah setuju atau tidak dengan pembangunan IKN di wilayah adat mereka.
“Pemilihan lokasi IKN di atas tanah HGU (hak guna usaha -red) sendiri sudah merupakan pilihan yang menurut saya betul-betul ingin meniadakan masyarakat adat. Karena konflik antara pemilik HGU dengan masyarakat adat. Itu harusnya HGU sudah habis masa berlakunya, dikembalikan ke masyarakat adat, karena itu asalnya dari tanah masyarakat adat,” tambahnya.
Secara umum, kata Margaretha, masyarakat adat yang tinggal di kawasan IKN disebut sebagai Paser. Nenek moyang mereka adalah suku Dayak. Mereka terbagi dalam sub-suku, seperti Paser Balik yang mendiami wilayah di sekitar Sepaku, Balikpapan, hingga Samboja. Ada juga Paser Adang, yang dikenal sebagai sub suku dengan persebaran paling tinggi.
Margaretha mengingatkan bahwa tanah di Penajam Paser Utara yang akan menjadi lokasi IKN sebenarnya adalah tanah komunal. Tanah itu dimiliki bersama-sama sebagai milik adat. Dalam sejarahnya, pemerintah dulu memberikan hak konsesi kepada sejumlah perusahaan yang kemudian menebang hutannya.
Potensi konflik ini membuat AMAN semakin yakin bahwa Indonesia sangat membutuhkan UU Perlindungan Pengakuan Masyarakat Adat, yang sampai saat ini tidak dibahas DPR. Negara harus melindungi tanah adat dan menjamin mereka menerima hak-haknya.
“Pemerintah perlu melakukan pengecekan ulang terhadap hak-hak masyarakat yang terduduki dengan kondisi IKN ini. Itu tanah komunal, jadi enggak milik perseorangan, tetapi milik sebuah komunitas,” lanjut Margaretha.
Bentuk Satgas Khusus
Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar, menyebut kementeriannya telah membentuk satuan tugas pembangunan untuk membantu otorita IKN. Satuan tugas ini bekerja dalam sembilan bidang garapan, mulai dari perlindungan kawasan, rehabilitasi hutan dan lahan, hingga melestarikan mangrove di Teluk Balikpapan.
“Juga penataan kawasan hutan dan pemukiman. Ini yang terkait dengan pemukiman, masyarakat adat dan lain-lain,” ujar Siti Nurbaya.
Siti Nurbaya juga menjelaskan Titik Nol IKN adalah Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikelola PT Itchi Hutani Manunggal (IHM). Namun dia mengklaim kawasan tersebut sudah dikembalikan kepada negara dan menjadi hutan produksi.
“Hutan produksinya sudah disesuaikan menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi sehingga siap menjadi kawasan IKN,” lanjutnya.
Area yang sudah siap untuk dibangun IKN untuk kawasan inti pusat pemerintahan, dalam catatan KLHK seluas 6.700 hektare. Wilayah itu berada dalam kawasan 42 ribu hektare yang sudah keluar dari konsesi. Selain itu, Siti Nurbaya juga memastikan ada lahan lima ribu hektar juga sudah ditarik dari perusahaan sehingga semua sudah menjadi hutan negara. Di dalam kawasan itu, dalam proses pembangunan tetap akan menjadi wilayah yang menjadi zona rimba.
Saat ini, KLHK mendukung pembangunan IKN dengan melakukan penanaman kembali jutaan batang bibit pohon. Selain itu, lahan-lahan bekas tambang yang menjadi danau juga akan segera diurus. KLHK bahkan mengklaim, bekas-bekas tambang itu bisa menjadi sumber air bagi IKN kelak. [ns/ab]