Perry mengatakan, ruang penurunan suku bunga acuan (BI Rate) ini didasarkan pada tiga pertimbangan utama, yakni perkiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nilai tukar rupiah.
Dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), di Jakarta, Jumat (24/1), Perry mengungkapkan inflasi indeks harga konsumen (IHK) pada akhir tahun diproyeksikan sekitar 2,7 persen, dan inflasi inti 2,6 persen, sementara itu pertumbuhan ekonomi masih sesuai target yakni 5,2 persen.
“Tinggal masalahnya adalah stabilitas nilai tukar, kenapa? Seperti yang kami sampaikan sebelumnya yakni bergantung kepada dinamika global,” katanya.
Meski masih dihantui ketidakpastian pasar keuangan global, Perry tetap meyakini nilai tukar rupiah masih akan stabil dalam beberapa waktu ke depan. Kenapa? Pasalnya Perry melihat masih kuatnya fundamental perekonomian domestik dan imbal hasil Surat Berharga negara (SBN) yang diklaim masih menarik di mata investor. Selain itu, katanya, kebijakan devisa hasil ekspor sumber daya alam akan menambah cadangan devisa yang bisa turut menjaga stabilitas nilai tukar rupiah nantinya.
“Yang menjadi isu bagaimana dinamika dari global. Kami melihat memang indeks dolar yang tempo hari pernah di atas 109, dalam dua hari ini melemah menjadi 108. Kami akan cermati ke depan, ini akan sangat tergantung dari arah kebijakan pemerintah Amerika dan suku bunga Fed Fund Rate. Ini yang kami terus lakukan, kami akan terus jaga stabilitas dari nilai tukar supaya sesuai data dependen pencermatan kami terhadap ruang suku bunga itu terus akan kami lakukan,” jelasnya.
Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengatakan pemerintah dalam hal ini otoritas moneter dan otoritas fiskal harus lebih berhati-hati dalam menentukan sebuah kebijakan. Menurutnya, jika pemerintah ingin melakukan pelonggaran moneter demi mendorong pertumbuhan ekonomi, maka harus dibarengi dengan pelonggaran fiskal. Menurutnya ini penting mengingat permintaan domestik yang masih melemah dan kondisi masyarakat kelas menengah yang masih belum pulih pasca COVID-19.
Kebijakan menurunkan BI Rate beberapa waktu lalu, katanya, cukup membuat pelaku pasar terkejut karena mereka sebelumnya memperkirakan bank sentral justru akan menahan atau bahkan menaikkan suku bunga acuan mengingat rupiah yang saat itu masih tertekan. BI memtuskan menurunkan suku bunga acuannya untuk mendorong sektor riil, yang diharapkan bisa mendorong permintaan dalam negeri.
Faisal menekankan kebijakan penurunan BI Rate tersebut tidak akan berdampak signifikan apabila tidak dibarengi dengan pelonggaran fiskal.
“Tetapi efektifitas daripada pelonggaran moneter ini akan ditentukan oleh sinkron atau tidaknya kebijakan fiskal, karena kalau moneter misalnya melakukan pelonggaran, tetapi fiskal tidak melakukan pelonggaran bahkan justru ketat, malah justru membuat sektor riil-nya tidak kemana-mana,” tuturnya.
“Artinya dari sisi penerimaan harus lebih loose jangan terlalu terburu-buru untuk mengambil pos-pos penerimaan yang masih sensitif terhadap pelaku usaha dan juga konsumen dalam negeri terutama kelas menengah. Kebijakan fiskal yang lain termasuk dalam hal belanja menjadi penting untuk mendorong sektor riil. Jadi sinkronisasi dua kebijakan ini dibutuhkan sebagai antisipasi di tengah tekanan global yang makin meningkat dengan terpilihnya Trump,” jelasnya.
Sementara itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan BI akan cenderung mempertahankan tingkat suku bunga acuan dalam jangka pendek.
“Terkait dengan ruang penurunan BI Rate, BI diperkirakan cenderung mempertahankan tingkat suku bunganya jika mempertimbangkan kondisi perkembangan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek yang masih akan dipengaruhi oleh ketidakpastian kebijakan Trump,” ungkap Josua.
Meski begitu, kata Josua, penurunan permintaan domestik dan perlambatan ekonomi global juga bisa menjadi faktor utama untuk bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate dalam jangka panjang. Bank sentral ke depan, ujar Josua, diperkirakan akan lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan ini untuk menghindari dampak rambatan dari disinflasi yang dapat melemahkan konsumsi dan aktivitas ekonomi.
“Dengan mempertimbangkan inflasi yang rendah, ekspektasi kebijakan global, dan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, peluang BI untuk menurunkan suku bunga acuan di 2025 cukup besar. Namun, keputusan ini akan tetap sangat bergantung pada perkembangan data domestik dan global dalam beberapa bulan kedepan,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum