Reporter VOA Eva Mazrieva mewawancarai Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada sebuah acara diskusi di CSIS Washington, DC, beberapa hari lalu. Menlu Marty saat ini menghadiri KTT PBB mengenai Sasaran Pembangunan Milenium dan Sidang Umum KTT PBB.
Berikut wawancara selengkapnya.
Eva Mazrieva: Bagaimana penilaian Anda atas hubungan Indonesia-AS?
Marty Natalegawa: Saya kira hubungan Indonesia-AS saat ini mungkin terbaik selama ini. Bahkan kita mengadakan pertemuan pertama dengan Menlu Clinton, the first Joint Ministerial Commission, ini adalah satu forum di mana hubungan kedua negara bisa lebih tertata secara terencana untuk mengembangkan kerjasama di berbagai bidang, tentunya demi kepentingan nasional Indonesia. Jadi dalam pertemuan dengan Menlu Clinton nanti, kita akan bahas hubungan kedua negara, mendengar laporan dari lima kelompok kerja yang sudah dibentuk mengenai masalah ini dan juga akan membahas masalah-masalah di kawasan.
Eva: Apa point khusus yang disampaikan pada Menlu Clinton?
Marty: Jika kita bicara hubungan bilateral, tentu kita berkepentingan melihat adanya peningkatan kerjasama perdagangan dan investasi antar kedua negara. Kita juga bicara soal kerjasama di bidang pendidikan, bagaimana memastikan perluasan kesempatan bagi mahasiswa kita untuk bisa kuliah di AS. Kita juga bekerjasama di bidang HAM, demokrasi dan lingkungan hidup. Jadi sangat komprehensif, sifat hubungan kita digambarkan sebagai kemitraan komprehensif. Tapi Indonesia-AS juga akan membahas masalah-masalah di kawasan. Anda ketahui bahwa Indonesia tahun depan akan menjadi ketua ASEAN, dan beberapa bulan terakhir ini menjadi pelopor dari apa yang dinamakan regional architecture building, untuk menciptakan tatanan yang lebih baik di Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Termasuk bagaimana melibatkan AS, tapi dengan cara-cara yang sesuai dengan negara-negara di kawasan. Jadi, bukan untuk menciptakan persaingan antar negara di kawasan, tapi keterlibatan AS sesuai dengan tatanan yang kita susun.
Eva: Apa upaya melibatkan AS ke dalam ASEAN ini bisa diterima negara-negara lain?
Marty: Saya kira sudah. Bahkan beberapa bulan terakhir ini, sudah ada keputusan dari negara-negara ASEAN atas usulan Indonesia untuk melibatkan Rusia dan bukan hanya AS dalam East Asia Summit. Saya pikir ini merupakan buah karya kita.
Eva: Soalnya sebelumnya ASEAN menganut asas "politik bebas aktif", meskipun saat ini pilihannya bukan lagi sekedar Barat-Timur?
Marty: Justru ini wujud dari pelaksanaan politik itu. Kita gunakan istilah “kemitraan komprehensif” yang mendasarkan pada hubungan atas prinsip kesetaraan, demi kepentingan nasional kita, sesuai dengan azas politik kita itu. Kita justru ingin menunjukkan bahwa kita memiliki hubungan yang baik dengan AS, Rusia, India, Tiongkok, dll, dan karenanya memiliki kebebasan untuk mengambil sikap. Karena seperti anda katakana tadi, di era sekarang ini “bebas aktif” bukan lagi soal pilihan antara “Barat dan Timur,” tapi soal bagaimana memelihara kemampuan untuk mengambil keputusan secara mandiri. Dengan kita melibatkan negara-negara ini, kita justru bisa mengamankan kepentingan kita.
Eva: Maaf, bisa kita kembali sejenak ke masalah kerjasama pendidikan Indonesia-AS yang tadi Bapak sampaikan? Bukankah seharusnya kerjasama ini berlangsung two-ways dan bukan one-way seperti yang kerap terjadi?
Marty: Memang salah satu bentuk nyata keprihatinan kita adalah sangat berkurangnya jumlah mahasiswa Indonesia di AS. Dari 14.000 pada sepuluh tahun lalu, sekarang tinggal 7.000 saja. Kita harus mencari tahu mengapa ini terjadi? Mungkin ada masalah anggaran: biaya, kesempatan, pengurusan visa, fakta sosial adanya keengganan untuk bersekolah di AS, adanya negara-negara lain yang lebih kompetitif, dan sebagainya. Kita harus tahu apa inti permasalahannya. Tapi di samping itu kita juga ingin ada arus mahasiswa AS yang juga menimba ilmu di Indonesia. Mungkin tidak perlu full-time, tapi lebih dalam bentuk program-exchange. Ini penting untuk meningkatkan people-to-people relations.
Eva: Baik kembali ke pertemuan Anda dengan Menlu Clinton. Mengingat Menlu Clinton baru saja menyelesaikan perundingan dengan Israel-Palestina di Yerusalem pekan lalu, apakah isu ini juga dibahas dalam pertemuan Anda?
Marty: Kita memang menyampaikan masalah ini karena kita ingin mendengar langsung dari AS akan perkembangan perundingan perdamaian ini. Kita tentu akan menyambut baik adanya upaya khusus AS untuk bisa memajukan proses ini. Kita menggarisbawahi pentingnya AS menjadi “honest broker” sebagai pihak yang akan betul-betul menengahi masalah ini tanpa berpihak. Kita berkepentingan di sana. Selain itu, kita juga menyampaikan upaya kita selama ini, karena kita tidak berdiam diri. Kita sudah menyampaikan bantuan yang sangat substantif pada Palestina, capacity-building terutama dalam kerjasama dengan negara-negara Asia dan Afrika.
Eva: Isu utama yang menjadi masalah adalah soal pembangunan pemukiman Yahudi, bukan?
Marty: Ya. Hal ini memang kita sampaikan. Pemukiman itu sifatnya ilegal. Posisi kita akan hal ini sangat jelas, itu harus segera dihentikan. Upaya untuk menciptakan fakta-fakta baru di lapangan sangat tidak bisa dibenarkan dan mengganggu proses perundingan perdamaian.
Eva: Terakhir, terkait hubungan Indonesia-Malaysia. Adakah kemajuan berarti yang dicapai dari pertemuan terakhir di Kinabalu baru-baru ini?
Marty: Kita sekarang sudah kembali di jalur diplomasi sesuai instruksi Presiden yang sangat jelas. Kita harus selesaikan masalah antar kedua negara lewat dialog dan diplomasi. Seperti yang Anda katakan tadi, pada 6 September lalu kami mengadakan pertemuan dengan Menlu Malaysia di kota Kinabalu dan minggu depan kami juga akan mengadakan pertemuan kembali dengan Menlu Malaysia di sela-sela Sidang Umum PBB di New York, dan di bulan Oktober-November akan ada perundingan soal perbatasan, dan di bulan Desember kami akan kembali bertemu secara formal. Jadi, memang ada peningkatan intensitas perundingan. Perundingan perbatasan tidak mudah namun dengan tekad dan kemauan politik yang tinggi, Insya Allah bisa diselesaikan.
Eva: Hubungan Indonesia-Malaysia kerap diganggu isu-isu kecil yang dengan gampang membakar emosi warga kedua negara, sementara upaya diplomasi kurang terlihat. Benarkah ini?
Marty: Emosi penting agar kita bekerja dengan penuh keseriusan. Tapi tentu kita juga berkepentingan untuk menyelesaikan masalah itu dengan sebaik mungkin, sesuai kepentingan nasional kita.
Eva: Baik Pak Marty, terima kasih atas kesempatan wawancara yang diberikan. Sampai bertemu di Sidang Umum PBB di New York pekan depan.