Tautan-tautan Akses

Mahfud MD: Kejagung Telah Bentuk Tim Kasus Pelanggaran HAM Paniai Papua


Para aktivis membawa poster-poster saat berdemo untuk menarik perhatian kepada isu HAM Papua, di depan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, di tengah kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander, 12 Maret 2020. (Foto: AFP)
Para aktivis membawa poster-poster saat berdemo untuk menarik perhatian kepada isu HAM Papua, di depan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, di tengah kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander, 12 Maret 2020. (Foto: AFP)

Kejaksaan Agung telah membentuk tim yang terdiri dari 22 jaksa senior untuk menyidik kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua yang terjadi pada 2014.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan Presiden Joko Widodo telah meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan penyidikan kasus pelanggaran HAM berat. Kata Mahfud, instruksi tersebut kemudian ditindaklanjuti Kejagung dengan membentuk tim yang terdiri dari 22 jaksa senior untuk menyidik kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua. Kasus Paniai merupakan satu dari empat kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah 2000 atau setelah Undang-undang Pengadilan HAM berlaku.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD. (Foto: Humas DIY)
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD. (Foto: Humas DIY)

"Sampai saat ini ada 13 kasus pelanggaran HAM berat yang direkomendasikan Komnas HAM untuk segera diselesaikan. Sembilan terjadi sebelum tahun 2000 dan empat kasus sesudah tahun 2000," tutur Mahfud melalui akun Youtube Kemenko Polhukam, Jumat (17/12/2021). Mahfud menambahkan kewenangan penetapan kasus-kasus pelanggaran HAM berat merupakan kewenangan Komnas HAM. Adapun penyelesaian empat kasus sesudah tahun 2000 dapat diproses melalui Pengadilan HAM. Sedangkan untuk kasus sebelum tahun 2000, kata dia, dapat diadili melalui Pengadilan HAM adhoc yang dibentuk atas usulan DPR. Pemerintah juga sedang menyiapkan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk penyelesaian di luar pengadilan HAM

Aparat kepolisian berjaga saat unjuk rasa di Mimika, Papua, 21 Agustus 2019. (Foto: Antara via Reuters)
Aparat kepolisian berjaga saat unjuk rasa di Mimika, Papua, 21 Agustus 2019. (Foto: Antara via Reuters)

"Ini kita mulai dari yang empat ini sesudah tahun 2000 dengan Pengadilan HAM yang dimulai dari kasus Paniai. Selain itu, ada pengadilan HAM adhoc dan KKR untuk penyelesaian di luar pengadilan atas masalah nonyudisial," tambahnya. Selain kasus Paniai, tiga kasus pelanggaran HAM lainnya yang terjadi setelah tahun 2000, yaitu Wasior Berdarah pada 13 Juni 2001, Wamena Berdarah pada 4 April 2003, dan peristiwa Jambo Keupok pada 17 Mei 2003.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam. (Foto: VOA/Sasmito)
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam. (Foto: VOA/Sasmito)

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan tiga kasus ini belum ada perkembangan informasi dari Kejaksaan Agung. Namun, Anam berharap tiga kasus ini dapat segera masuk tahap penyidikan seperti kasus Paniai. "Hanya Paniai yang sudah ada pemberitahuan soal dimulainya penyidikan. (Untuk tiga kasus lainnya) kami harap bisa segera proses penyidikan," tutur Anam kepada VOA, Jumat (17/12/2021) malam.

Sementara sembilan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 di antaranya, yaitu peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, Semanggi I 13-14 November 1998, Semanggi II 23-24 September 1999, dan peristiwa 1965-1966. Semenjak UU Pengadilan HAM berlaku, Komnas HAM mencatat hanya ada tiga pengadilan HAM yang berjalan dalam 15 tahun terakhir. Ketiganya adalah Pengadilan HAM adhoc Tanjung Priok, Pengadilan HAM adhoc Timor-Timur, dan Pengadilan HAM kasus Abepura. Dari ketiga kasus tersebut, vonis bersalah hanya dijatuhkan pada dua orang warga sipil, yaitu Abilio Soares dan Eurico Guterres dalam kasus di Timor Timur. [sm/ka]

Recommended

XS
SM
MD
LG