Dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang jatuh pada 10 Desember, Presiden Jokowi menegaskan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
Penuntasan dan penyelesaian pelanggaran HAM berat tersebut, katanya, akan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan bagi korban dan pihak yang diduga sebagai pelanggar HAM berat.
Ia menjelaskan, setelah diterbitkannya Undang-Undang (UU) no 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, pemerintah melalui Jaksa Agung telah mengambil langkah untuk melakukan penyidikan umum terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat.
“Pemerintah melalui Jaksa Agung telah mengambil langkah untuk melakukan penyidikan umum terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat. Salah satunya adalah kasus Paniai di Papua tahun 2014,” ungkap Jokowi saat memberikan sambutan dalam acara Peringatan Hari HAM Internasional di Istana Negara, Jakarta, Jumat (10/12).
Ia mengatakan, pemeriksaan terkait kasus pelanggaran HAM berat di Paniaitersebut telah dimulai dari hasil berkas penyidikan Komnas HAM, dan kemudian pihak Kejaksaan Agung pun akan melakukan penyidikan umum untuk menjamin terwujudnya prinsip keadilan dan kepastian hukum.
Komitmen pemerintah untuk menegakkan HAM bagi setiap warga negara Indonesia juga diwujudkan dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) no 53 tahun 2021 mengenai rencana aksi nasional HAM tahun 2021-2025. Rencana aksi ini, katanya, dimaksudkan untuk melaksanakan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakkan dan pemajuan HAM di Indonesia, yang sasaran utamanya adalah kelompok perempuan, anak, masyarakat adat dan penyandang disabilitas.
“Perpres 53 ini juga menegaskan bahwa penegakan HAM bukan hanya mencakup penghormatan dan perlindungan hak sipil dan politik saja. Penegakkan HAM juga mencakup pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Terutama menyasar pada kelompok rentan yang bukan hanya perlu kita lindungi, tetapi juga kita penuhi hak-haknya,” jelasnya.
Ia juga menyadari bahwa pemenuhan hak asasi di bidang sosial, ekonomi dan budaya cukup terganggu dengan adanya pandemi COVID-19. Maka dari itu, katanya, pemerintah juga berusaha untuk memenuhi hak-hak masyarakat tersebut dengan mengendalikan situasi pandemi yang sudah diklaim cukup stabil pada saat ini.
Jebakan UU ITE
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak luput dari perhatian Jokowi dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia ini. Ia memahami berbagai kegelisahan dan kekhawatiran masyarakat terhadap sanksi pidana UU ITE tersebut. Maka dari itu, pihaknya telah memerintahkan Kapolri untuk selalu mengedepankan edukasi dan langkah persuasif dalam penanganan perkara UU ITE.
“Jangan ada kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat. Atas dukungan DPR saya telah memberikan amnesti terhadap Ibu Baiq Nuril, dan Bapak Saeful Mahdi yang divonis melanggar UU ITE. Namun saya juga ingatkan, bahwa kebebasan berpendapat harus dilakukan secara bertanggung jawab, kepada kepentingan masyarakat yang lebih luas,” tegasnya.
Selain itu, perlindungan data pribadi juga menjadi perhatian serius dari pemerintah karena merupakan satu hal yang juga tidak bisa dipisahkan dari HAM. Jokowi pun telah menginstruksikan Kementerian Informatika dan Komunikasi (Kemenkominfo) untuk segera menuntaskan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi bersama dengan DPR, agar perlindungan hak asasi masyarakat dan kepastian berusaha di sektor digital dapat terjamin.
Pembentukan Komite Khusus Kasus Pelangaran HAM Berat
Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik meminta pemerintahan Presiden Jokowi membentuk sebuah Komite khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme non yudisial atau di luar hukum.
Ia mengatakan, pemerintah dan juga pihak Komnas HAM juga terus mencari penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM Berat yang berkeadilan bagi para korban sesuai dengan UU no 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
“Kami juga mengharapkan kebijakan dari Bapak Presiden, untuk membentuk satu Komite atau yang sejenis untuk menangani penyelesaian non yudisial kasus-kasus HAM berat tertentu yang dimungkinkan menggunakan mekanisme tersebut,” ungkap Taufan.
Lebih lanjut ia mengatakan, pihak Komnas HAM sampai saat ini terus menerima laporan terkait pelanggaran HAM akibat konflik agraria. Perlahan namun pasti konflik tersebut, menurutnya, bisa diatasi dengan pendistribusian lahan perhutanan sosial. Meski begitu, langkah tersebut tetap memerlukan penguatan dasar hukum sehingga bisa menjadi landasan bagi kebijakan reforma agraria yang lebih sistematis dan berbasis HAM.
Kekerasan dari aparat penegak hukum masih menjadi catatan yang paling penting bagi situasi HAM di Indonesia. Komnas HAM, katanya, masih terus menerima laporan mengenai kekerasan dan penyiksaan dari aparat , padahal Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan dan perbuatan kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat manusia pada tahun 1998.
“Pendidiikan HAM bagi kepolisian dan TNI akan terus ditingkatkan oleh Komnas HAM, bekerja sama dengan kedua institusi tersebut, kita membutuhkan Polri dan TNI yang kuat, profesional, namun tetap menghormati prinsip dan norma HAM. Pemenagngan sistem pemidanaan Lembaga permasyarakatan dan rumah tahanan juga diperlukan dan harus menjadi komitmen kita bersama sehingga penegakkan hukum bisa lebih baik lagi ke depannya,” jelasnya.
Taufan juga menyoroti penyelesaian konflik di Papua yang menurutnya memerlukan terobosan berupa dialog dengan seluruh elemen masyarakat yang sebenarnya sudah dilakukan, namun belum membuahkan hasil yang signifikan.
“Pendekatan dialog damai ini mesti diletakkan di depan, diiringi dengan akselerasi pembangunan yang berbasis HAM, dan penghormatan harkat dan martabat orang Papua,” tegasnya.
Janji Manis Jokowi
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menilai pidato Jokowi dalam Hari HAM Sedunia tersebut hanyalah janji manis.
Dalam siaran pers yang diterima oleh VOA, Wahyudi mengatakan pernyataan Presiden umumnya hanya mengulangi apa yang telah disampaikannya pada Hari HAM Sedunia tahun lalu tanpa diikuti upaya konkret untuk mewujudkannya.
Meski demikian, Wahyudi mengapresiasi langkah pemerintah dalam menindaklanjuti penyidikan terhadap dugaan kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua, pada tahun 2014. Ia menegaskan diperlukan kedalaman involusi dalam upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
“Involusi ini selain ditujukan dari banyaknya hasil penyelidikan Komnas HAM atas dugaan pelanggaran HAM yang berat, yang belum ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung, juga pilihan kebijakan lainnya, seperti pemberian penghargaan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres. Langkah di atas, juga sama sekali belum menyinggung arah penyelesaian dari berbagai dugaan kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Sedangkan rencana pembentukan kebijakan politik di tingkat kepresidenan, terkait dengan pengungkapan kebenaran untuk pelanggaran HAM masa lalu, sejauh ini belum menunjukkan progres yang signifikan, sehingga sulit untuk kemudian berharap akan realisasi janji tersebut,” jelasnya.
Wahyudi juga menyoroti pernyataan presiden terkait dengan UU ITE, dimana ditegaskan jangan ada lagi kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat. Namun, menurutnya pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan banyaknya kasus yang terkait dengan kebebasan berekspresi, khususnya kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah.
Selain itu, maraknya kasus intimidasi terhadap aktivis dan jurnalis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah selalu diikuti dengan adanya serangan digital seperti peretasan dan doxing yang telah menciptakan efek jeri (chilling effect) bagi kebebasan berpendapat.
“Situasi tersebut tergambar cukup mengkhawatirkan dalam laporan berbagai lembaga, yang menunjukkan terus menurunnya kualitas kebebasan (termasuk berinternet), dan kualitas demokrasi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir,” pungkasnya. [gi/ab]