Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan penurunan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 bukan akibat memburuknya penegakan hukum kasus korupsi. Melainkan karena persoalan perizinan dan birokrasi.
Menurut Mahfud, kinerja penegakan hukum dalam kasus korupsi selama tiga tahun terakhir sudah luar biasa. Ia mencontohkan kinerja Kejaksaan Agung dalam menangani kasus korupsi besar, seperti kasus korupsi pada Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) dan Asuransi Jiwasraya.
"Kejaksaan Agung itu seperti melakukan amputasi terhadap tangan pemerintah sendiri. Orang pemerintah banyak yang ditangkap," tutur Mahfud secara daring, Jumat (3/2).
Karena itu, ia mengatakan pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan mempersiapkan instrumen hukum lain untuk mempercepat kinerja dan kontrol terhadap birokrasi. Selain itu, kata dia, pemerintah juga akan membangun digitalisasi untuk mencegah korupsi.
"Rasanya kalau kita di eksekutif, kita sudah habis-habisan. Dan buktinya naik penegakan hukum. Tapi korupsi itu ketika pembuatan undang-undang dan peradilan," tambahnya.
Kata Mahfud, pemerintah juga sedang mengajukan rancangan undang-undang (RUU) tentang Perampasan Aset Tindak Pidana untuk memberantas korupsi di Tanah Air. Namun, RUU ini masih menunggu persetujuan DPR.
RUU lain yang diharapkan mencegah korupsi yaitu RUU Pembatasan Uang Kartal. Menurut RUU tersebut, warga hanya bisa bertransaksi tunai tanpa melalui bank maksimal Rp 100 juta. Transaksi di atas batas maksimal itu harus dilakukan melalui bank untuk memudahkan pelacakan dan memperkecil potensi korupsi.
LSM Bantah Penegakan Hukum Korupsi Membaik
Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko mengatakan penegakan hukum memiliki andil yang besar dalam penilaian IPK. Sebab, para responden atau pengusaha membutuhkan kepastian hukum.
Wawan memaparkan penegakan hukum tidak hanya terbatas pada operasi tangkap tangan (OTT) atau penangkapan terduga koruptor. Namun, hal tersebut merupakan rangkaian dari penyelidikan, penyidikan, pengadilan, hingga eksekusi putusan. Karena itu, menurutnya, pernyataan Mahfud soal peningkatan penegakan hukum kurang tepat.
"Hari ini aparat penegak hukum korupsi kita, Polri, Jaksa, dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) memiliki SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara. Red). Ini yang membuat ketidakpastian hukum," ujar Wawan kepada VOA, Sabtu (4/2/2023).
Wawan juga mengkritik kebijakan digitalisasi yang kurang persiapan. Misalnya, persoalan etika aparatur negara yang memungkinkan praktik korupsi masih terjadi, meski proses perizinan dilakukan secara digital.
Kata Wawan, pemerintah seharusnya membuat terobosan regulasi jika RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal pembahasannya macet di DPR. Apalagi saat ini sudah memasuki tahun politik yang mungkin akan membuat kedua RUU itu sulit disahkan.
Misalnya dengan membuat peraturan pemerintah sebagai pengganti sementara (perpu) kedua RUU tersebut.
Senada, peneliti lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti-korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) Dicky Anandya mengatakan penegakan hukum atas kasus korupsi tidak dapat hanya dilihat dari kinerja Kejaksaan Agung. Melainkan juga harus melihat KPK dan Polri. Berdasarkan data ICW, ketiga lembaga tersebut hanya menangani 533 kasus korupsi dari 2.217 target kasus korupsi sepanjang 2021.
"Minimnya kinerja aparat penegak hukum tidak terlepas dari politik legislasi yang dibuat pemerintah dan DPR. Seperti revisi UU KPK," jelas Dicky kepada VOA, Sabtu (4/2/2023).
Data ICW juga menyebutkan sepanjang 2021 terdapat 1.078 terdakwa yang divonis dengan pasal korupsi kerugian keuangan negara. Namun, para terdakwa rata-rata hanya diganjar hukuman 3 tahun 5 bulan penjara. Singkatnya masa hukuman dinilai tidak dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi.
Sebelumnya, Transparency International meluncurkan hasil Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) untuk tahun pengukuran 2022. Hasilnya, skor IPK Indonesia turun empat poin dari 2021 menjadi 34, dan merupakan penurunan terburuk sepanjang era reformasi. Dengan hasil itu, Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei.
Skor IPK Indonesia ini masih jauh di bawah rata-rata negara di Asia-Pasifik, yaitu 45. Di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat tujuh dari 11 negara, di bawah Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam, dan Thailand. [sm/ft]
Forum