Tautan-tautan Akses

LSM Serukan Netralitas TNI dan Polri dalam Pilkada


Koalisi lima LSM, yaitu: Kontras, YLBHI, Perludem, Imparsial, serta ELSHAM secara terbuka menolak anggota TNI dan Polri yang masih aktif ikut bertarung dalam pemilihan kepala daerah. (Foto: VOA/Fathiyah)
Koalisi lima LSM, yaitu: Kontras, YLBHI, Perludem, Imparsial, serta ELSHAM secara terbuka menolak anggota TNI dan Polri yang masih aktif ikut bertarung dalam pemilihan kepala daerah. (Foto: VOA/Fathiyah)

Pilkada serentak tahun 2018 ini diwarnai majunya sejumlah kandidat yang memiliki latar belakang anggota TNI dan Polri. Sebagian dinilai telah memperlihatkan langkah politiknya sebelum mengundurkan diri. Sejumlah LSM menyerukan TNI dan Polri menjaga netralitas mereka dalam pilkada sehingga tidak mengganggu jalannya pesta demokrasi.

Pemilihan kepala daerah serentak tahun ini mendapat sorotan dari sejumlah kalangan terkait majunya beberapa perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang masih aktif dalam kedinasan. Dalam negara demokrasi, anggota TNI dan Polri aktif tidak boleh berpolitik karena bertugas menjaga pertahanan dan keamanan negara.

Oleh karena itu koalisi lima lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Imparsial, serta Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM), secara terbuka menolak anggota TNI dan Polri yang masih aktif ikut bertarung dalam pemilihan kepala daerah.

Dalam jumpa pers di kantor Kontras, Selasa (9/1), Koordinator Kontras Yati Andriyani mengakui keikutsertaan anggota TNI dan Polri dalam kontestasi bukan hal baru, namun dalam pemilihan kepala daerah tahun ini mengkhawatirkan karena mereka yang maju belum mengundurkan diri. Hal ini dinilai berbahaya bagi nilai-nilai kehidupan demokrasi, dapat mengancam isu-isu reformasi sektor keamanan, dan mengganggu profesionalisme TNI dan Polri.

Yati menjelaskan Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang menyatakan prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis. Sementara Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri menyatakan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Yati menyayangkan sikap perwira TNI dan Polri yang baru mengundurkan diri setelah tenggat waktu pendaftaran kandidat hampir habis, karena bukan tidak mungkin memanfaatkan sumber daya dan jaringan yang ada di institusi TNI dan Polri demi kepentingan pribadi. Yati menilai partai politik yang masih meminang calon kepala daerah dari anggota aktif TNI dan Polri menunjukkan kelemahan partai itu sendiri.

"Seharusnya kalau partai politik menjadi mesin demokrasi yang baik, dia bisa memberikan jalan terlebih dahulu untuk kader-kader terbaiknya. kedua, upaya-upaya partai politik dengan cara-cara seperti ini sama saja menggoda TNI atau Polri untuk kembali berpolitik secara praktis," tandas Yati.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengatakan dalam negara demokrasi, anggota TNI dan Polri secara prinsip tidak boleh berpolitik karena memiliki tugas utama yaitu menjaga pertahanan dan keamanan. Konsekuensinya, jika anggota TNI dan Polri ingin berpolitik maka harus mengundurkan diri lebih dulu. Al Araf menegaskan perlunya kepastian tidak ada mobilisasi penggunaan fasilitas TNI dan Polri untuk memenangkan kandidat dari kedua institusi tersebut.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merupakan salah satu partai yang juga mengusung perwira TNI dan Polri dalam pilkada serentak 2018. Wakil Sekjen PDIP Ahmad Basarah memastikan para perwiran TNI/Polri telah mengundurkan diri dari jabatannya. Perekrutan ini kata Basarah adalah cara partainya untuk menunjukan bahwa PDIP adalah partai yang terbuka.

"Bukan tertutup karena kita memberikan kesempatan pada siapapun kader-kader bangsa termasuk yang bersumber dari TNI dan Polri untuk kita rekrut sepanjang idiologi mereka sama dengan PDI perjuangan yaitu selesai dengan nasionalismenya, bangsa Indonesia yang dirumuskan oleh para the founding fathers, justru itu cara kami untuk melakukan asimilasikan dari sipil,militer, alim ulama, dosen, pengamat semua masuk karena kami mengklaim rumah besar bagi nasionalis," ujar Basarah.

Ditemui terpisah, Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin menegaskan bahwa sejumlah perwira Polri yang ikut dalam pilkada serentak 2018 telah mengundurkan diri dari Polri pada 5 Januari lalu. Ia menjamin netralitas Polri meskipun ada anggotanya yang ikut Pilkada.

"Sudah mengundurkan diri hari Jumat lalu (5 Januari) dan sudah diganti pada 5 Januari . Ketiga-tiganya sudah diganti . Dia sudah tidak ada jabatan . Kita ucapkan selamat. Jangan menyeret-nyeret anggota Polri untuk berpolitik praktis," jelas Syafruddin.

LSM Serukan Netralitas TNI dan Polri dalam Pilkada
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:19 0:00

Hal senada disampaikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, yang juga menggarisbawahi sikap menjaga netralitas dalam tahun politik ini.

Perwira tinggi TNI dan Polri yang maju dalam pemilihan kepala daerah tersebut diantaranya Pangkostrad Letnan Jenderal Edy Rahmayadi (calon Gubernur Sumatera Utara), Analis Kebijakan Utama Polri Inspektur Jenderal Anton Charliyan (kandidat Wakil Gubernur Jawa barat), Komandan Korem Wirabima 031 Riau Brigadir Jenderal Edy Natar Nasution (calon Gubernur Riau), Baintelkam Polri Inspektur Jenderal Safaruddin (kandidat Gubernur Kalimantan Timur), dan Komandan Korps Brimob Inspektur Jenderal Murad Ismail (calon Gubernur Maluku).

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengingatkan dalam pemilihan kepala daerah nanti, TNI dan Polri harus benar-benar netral secara politik. Kedua institusi itu tidak boleh terlibat dalam pertarungan politik praktis meski ada kandidat dalam pilkada berasal dari TNI dan Polri. Bawaslu menegaskan akan mengawasi dengan seksama sikap TNI-Polri dalam pilkada serentak tersebut. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG