Tautan-tautan Akses

Literasi Digital Cegah Radikalisme dan Terorisme


Saring Sebelum Sharing, upaya BNPT mengajak generasi muda mencegah radikalisme dan terorisme melalui internet, 2 Agustus 2018. (Foto: VOA/Nurhadi)
Saring Sebelum Sharing, upaya BNPT mengajak generasi muda mencegah radikalisme dan terorisme melalui internet, 2 Agustus 2018. (Foto: VOA/Nurhadi)

Dunia digital di Indonesia dinilai sedikit lebih bersih saat ini dari konten negatif, meski tidak sepenuhnya bersih. Salah satunya karena tindakan tegas pemerintah.

Penangkapan sejumlah pengelola Saracen, perusahaan jasa penyedia konten kebencian di internet setahun yang lalu berbuah manis. Meski belum ada penelitian resmi dan detail, setidaknya jumlah konten negatif di Internet sedikit berkurang. Apalagi, belakangan aparat hukum bertindak tegas, dengan menangkap siapapun yang menyebarkan berita bohong yang meresahkan dan ujaran kebencian di Internet.

Pengamat komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, Wisnu Martha Adiputra menyampaikan itu sesudah berbicara dalam forum "Saring Sebelum Sharing" yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT) di Yogyakarta, Kamis, (2/8) siang.

“Tingkat darurat itu sudah turun sedikit, hoaks masih ada, fake news masih ada. Ujaran kebencian yang turunnya lumayan, tidak seperti dulu. Pencegahannya dengan literasi digital. Literasi itu sebenarnya bagaimana kita memahami konten media. Jadi ini lebih ke individu. Sayang literasi media cetak kita kurang. Padahal, orang yang sudah bisa membaca media cetak, dia biasa melihat konten yang panjang dan berpikir, di media digital sekarang itu tulisannya singkat-singkat,” kata Wisnu Martha Adiputra.

Literasi media masyarakat Indonesia seakan melompat. Belum cukup matang memahami media cetak, kini mereka harus berhadapan dengan media digital. Proses itu membuat literasi digital masyarakat buruk.

Wisnu menambahkan, dalam beberapa waktu terakhir, isu agama masih sangat dominan sebagai bahan perdebatan warganet. Isunya kadang-kadang tidak terkait dengan ajaran agama, tetapi mengenai peristiwa-peristiwa tertentu yang dikaitkan dengan sentimen keagamaan. Selain itu, melihat polanya memang tidak ada organisasi besar yang memayungi penyebar konten negatif di Internet.

“Pelaku kini justru tersebar, dan beroperasi di dua ranah dominan, yaitu media sosial dan kolom komentar dalam berita-berita di media online,” kata Wisnu.

Dia menekankan, perlu ada penanganan terhadap kecenderungan ini, terutama karena Indonesia akan menghadapi Pilpres dan Pileg tahun depan. Wisnu menghargai media online yang memoderasi komentar dalam berita-berita mereka. Namun, tetap ada celah yang bisa dimanfaatkan warganet, yang ingin menyebar konten negatif.

Andi Intang Dulung dari BNPT dalam kesempatan ini menekankan fokus BNPT kepada generasi muda, karena data menunjukkan kelompok umur ini yang selalu direkrut dalam tindak terorisme. Di sisi lain, anak muda pula yang paling akrab dengan dunia digital. BNPT telah menyelenggarakan sejumlah kegiatan kreatif bagi generasi muda, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap sektor pendidikan, mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

“Konsep kita ke depan, bagaimana kita mengikutsertakan guru-guru di tingkat bawah, di tingkat pendidikan usia dini, karena ternyata banyak pelaku yang sebetulnya ada di guru-guru. Kenapa kalau sudah ada di guru paham radikalisme itu kemudian diajarkan ke anak didik itu sangat berbahaya, karena idola anak-anak adalah guru-guru mereka itu,” jelasnya.

Kepala Sub Direktorat Pemberdayaan Masyarakat BNPT, Andi Intang Dulung. (Foto: VOA/Nurhadi)
Kepala Sub Direktorat Pemberdayaan Masyarakat BNPT, Andi Intang Dulung. (Foto: VOA/Nurhadi)

Kondisi itu tidak berbeda jauh dengan lingkungan perguruan tinggi, di mana mahasiswa yang cenderung radikal banyak ditemukan di perguruan tinggi di mana ada banyak dosen radikal di sana. Faktornya, kata Andi Intang, adalah karena dosen leluasa memberikan pemahaman radikal itu melalui berbagai cara dalam proses pendidikan.

“Kami akan petakan pada 2019 potensi semacam itu. Tetapi data tahun 2015 di Jabodetabek banyak sekolah yang tidak mau menaikkan bendera dan anak-anak tidak menghafal Pancasila. Bukan anak sekolah yang melakukan itu, tetapi karena guru-gurunya,” imbuhnya.

Andi Intang juga menggarisbawahi pentingnya peran media dalam upaya menekan tindak terorisme dengan menyebar konten positif. Dalam kasus terakhir, Andi Intang mengkritisi sejumlah media yang menyebarkan video yang disebut sebagai jenazah teroris yang utuh setelah sekian lama dimakamkan. Tanpa klarifikasi yang memadai, penyebaran berita semacam itu sangat berbahaya karena akan dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat.

Ahmad Djauhar dari Dewan Pers secara khusus meminta media, terutama media onlinedi Indonesia untuk tidak mengutamakan bisnis. Media massa juga harus memahami, bahwa konten negatif yang mendorong pada radikalisme atau terorisme sangat berbahaya.

Literasi Digital Cegah Radikalisme dan Terorisme
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:11 0:00

“Media itu lahir untuk memperjuangkan rasa kemanusiaan. Terorisme menghancurkan rasa kemanusiaan yang sudah dibangun bangsa sejak lama, karena itu pers dan Dewan Pers tidak bisa membiarkan itu terjadi,” kata Djauhar.

Di sisi yang lain, dia menilai penting upaya membangun kesadaran dan literasi media bagi masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat sendiri yang bisa memilih, dan menolak untuk membaca media-media yang cenderung menyebarkan konten negatif, terutama hanya karena mengejar uang. Media partisan, kata Djauhar, bahkan tidak layak disebut sebagai media. [ns/lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG