Sejak diluncurkan di Jakarta pada September 2017 lalu, aplikasi Tik Tok menjadi salah satu aplikasi paling diminati remaja di Indonesia, khususnya anak-anak berusia 11-13 tahun.
Aplikasi yang merupakan bagian dari Bytedance Inc, perusahaan internet raksasa China, di negeri itu dikenal sebagai Douyin. Sebagaimana aplikasi pertemanan lain di media sosial, semula dimaksudkan untuk menjadi wahana berbagi foto atau video yang menghadirkan polah tingkah anak-anak yang dinilai “lucu.”
Beberapa pengguna, antara lain Bowo Alpenliebe yang baru berusia 13 tahun, mendadak digandrungi hanya karena menggoyangkan dua jari mengikuti irama lagu di video pendek yang diunggahnya di aplikasi itu. Ribuan remaja seusianya berkumpul di acara-acara yang menghadirkannya di berbagai pusat perbelanjaan.
Ribuan Aduan Tik Tok
Tetapi seiring mencuatnya popularitas aplikasi itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI menerima hampir tiga ribu pengaduan mengenai perilaku dan konten Tik Tok, yang sebagian dinilai mengandung unsur pornografi, pelecehan norma sosial dan agama.
Dihubungi VOA melalui telpon, Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty mengatakan laporan yang masuk sebagian besar khawatir dengan pelibatan anak-anak dalam media sosial yang tanpa batas. Pihak yang melapor bukan hanya masyarakat, tapi juga kalangan professional.
“Entah apa yang ada di pikiran yang membuat video-video pada aplikasi itu. Yang pasti, kelihatan bahwa mereka yang main aplikasi itu memandang eksistensinya di media sosial sangat penting sekali dibanding dalam kehidupan sehari-hari,” kata Sitti.
Baca juga: Ancam Blokir WhatsApp, Indonesia Tertibkan Konten Mesum di Internet
Kementerian Komunikasi dan Informatika yang memang telah mencermati aplikasi ini pun bergerak cepat. Setelah berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak PPA dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI, Selasa siang, Kominfo menutup aplikasi Tik Tok itu.
Dalam pernyataan persnya, Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara mengatakan akses layanan baru akan dibuka, jika sudah dibersihkan dari konten negatif.
Literasi Digital
Langkah cepat Kominfo ini diapresiasi banyak kalangan, tetapi sebagian menilai itu saja tidak cukup karena aplikasi serupa dapat dengan mudah muncul dan disambut baik masyarakat.
Pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia Dr. Firman Kurniawan kepada VOA mengatakan, yang dibutuhkan saat ini adalah literasi digital karena ada ketidaksiapan menanggapi perkembangan teknologi digital.
Firman mengatakan perkembangan aplikasi teknologi digital, pengembang konten dan konsumen konten tidak seragam. Pengembang aplikasi dan konten sangat maju, sementara konsumen konten masih tergagap-gagap.
``Belum paham yang satu, sudah muncul yang lain. Akibatnya, mereka gagap juga memanfaatkan aplikasi itu untuk hal-hal yang berguna, apalagi media sosial yang sifatnya digital itu berbeda dengan medium konvensional,’’ kata Firman.
Berbeda dengan media konvensional di mana hanya aplikasi yang berguna yang bisa dimanfaatkan atau dikonsumsi publik, lanjut Firman, di dunia digital, mereka yang memproduksi sesuatu yang buru tetapi konsisten, malah bisa terkenal dan diterima publik.
``Misalnya, apa yang kita kenal sebagai haters, mereka tumbuh dan menjadi terkenal karena ke-haters-annya. Ini keunikan media digital,” papar Firman.
“Semua mendapat tempat dan dikenal publik bukan karena sesuatu yang baik saja, tetapi juga yang buruk. Ini yang mungkin terlambat disadari oleh ekosistem digital, termasuk pemerintah.”
Jadi, kata Firman, PR bersama masyarakat Indonesia adalah membangkitkan literasi digital yang masih ketinggalan sekali.”
Baca juga: Indonesia Cabut Blokir Aplikasi Telegram
Meskipun menilai kampanye literasi digital sudah terlalu terlambat, Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty menilai hal ini tetap harus dicoba.
“Jika literasi digital baru dilakukan sekarang, memang sudah sangat terlambat. Tapi tetap harus dilakukan agar tidak semakin parah. Saya kira muara semua ini ada di keluarga,” kata Sitti.
Dr. Firman Kurniawan sepakat dengan hal itu. Keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat harus mendapatkan pemahaman literasi digital, katanya.
“Terbukti di rumah, orang tua kadang-kadang tidak paham dengan implikasi medium digital. Anaknya yang masih balita rewel, disodori gadget supaya tenang,” kata Firman. “Ketika anaknya tenang, ia merasa berhasil, tetapi tidak memikirkan implikasi lebih lanjut : kecanduan, perkembangannya terlambat dan lain-lain. Dan, ketika sudah terlanjur, mereka bilang ‘perkembangan teknologinya terlalu cepat, saya tidak sempat mengawasi.’”
Padahal, lanjut Firman, bila mereka dibekali dengan literasi digital yang cukup, mereka sudah tahu umur berapa yang bisa menggunakan medium digital, tahu bahwa tidak semua konten positif, dan tahu bagaimana mengawasi.
Literasi digital yang paling utama digalakkan menurut Firman adalah soal batasan usia pengguna suatu aplikasi dan durasi penggunaan.
Firman menunjukkan bagaimana Tik Tok tidak pedulikan batasan umur. Ketika media sosial lain menetapkan batasan penggunanya 18 tahun atau 21 tahun, Tik Tok malah menurunkan batasan usia menjadi 12 tahun.
“Walhasil, sosok seperti Bowo Alpenliebe yang berusia 13 tahun itu jadi populer. Ia tidak bisa disalahkan karena ketika menggunakan aplikasi ini sudah melewati batasan usia yang disyaratkan,” kata Firman.
“Tetapi apa anak usia 13 tahun itu sudah memiliki pertimbangan yang matang untuk menggunakan aplikasi secara bermanfaat? Apakah ia mampu menepis ketika di-bully dan sebagainya?. Akhirnya menimbulkan kerepotan dengan batasan umur yang terlalu muda ini,” ujar Firman menambahkan.
Hal senada disampaikan pengamat media sosial Nukman Lutfie lewat Twitter.
Berkembang pesatnya media sosial sedianya diikuti dengan kerangka kebijakan dan regulasi untuk mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi, sehingga media sosial tetap memberi dampak positif bagi warga dan bukan sebaliknya. [em/al]