Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) melaporkan Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) karena menetapkan larangan berdemonstrasi di sejumlah titik di Kota Gudeg itu tanpa melakukan konsultasi publik.
ARDY menilai adanya maladministrasi dalam proses penyusunan Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka, yang tidak melibatkan publik.
Juru bicara Ardy, Yogi Zul Fadhli, mendesak Ombudsman menindaklanjuti laporan mereka, sesuai tugas dan wewenang lembaga ini yang diatur undang-undang.
“Sesuai dengan undang-undang, ada banyak hal bisa dilakukan, misalya melakukan investigasi kemudian Ombudsman juga bisa memberikan rekomendasi dan saran kepada kepala daerah. Banyak kewenangan dan tugas yang bisa dilakukan Ombudsman terkait laporan masyarakat soal maladministrasi,” ujar Yogi kepada VOA. ARDY beranggotakan aktivis dari 47 lembaga dan gerakan.
Pergub yang dikeluarkan pada 4 Januari 2021 itu menetapkan. lima kawasan yang dikecualikan sebagai lokasi demonstrasi, yaitu Istana Negara Gedung Agung, Keraton Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, kawasan Kotagede, dan kawasan Malioboro.
Jika ada demo pun, hanya bisa digelar setidaknya 500 meter dari pagar terluar kawasan itu. Bagi para aktivis, penutupan sejumlah kawasan sebagai arena demonstrasi itu bagai kabar buruk karena tempat untuk menyuarakan pendapat di kota itu main terbatas.
“Kita tidak tahu selama ini draftnya, rancangannya. Kami juga cek teman-teman LBH, beberapa lembaga demokrasi di Yogyakarta lain, juga tidak dilibatkan sama sekali,” kata Tri Wahyu KH, salah satu aktivis ARDY.
Padahal, sudah jelas diatur dalam undang-undang bahwa salah satu azas kebijakan adalah keterbukaan. Setiap kebijakan harus didahului proses perencanaan dan pembahasan yang terbuka pada publik. Langkah itu, kata Wahyu, menjadi makna konstitusi sebagai negara demokrasi hukum, bukan negara kekuasaan.
ARDY juga akan membuat laporan ke Komnas HAM, terkait dugaan pelanggaran HAM, terutama hak berpendapat.
Kemungkinan Maladministrasi
Kepala ORI Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, Budi Masthuri, memastikan lembaganya sudah melakukan verifikasi dan validasi pemenuhan syarat formil dan materil. ORI kemudian akan mendiskusikan apakah akan ada tindak lanjut atau tidak ke proses pemeriksaan.
Ketika ditanya apakah ada maladministrasi yang mungkin terjadi, Budi mengiyakan kemungkinan itu.
“Proses penyusunannya bisa mengandung dimensi pelayanan publik, sehingga apabila ada pengabaian terhadap prosedur, mekanisme dan tahapan yang seharusnya, bisa saja itu mengandung maladministrasi,” ujar Budi.
Budi menegaskan pihaknya akan memberikan saran kepada Sultan setelah proses pemeriksaan dan analisa selesai.
“Selain soal prosedur, mekanisme dan tahapan, Ombudsman juga dapat memeriksa berdasarkan isi Pergub. Output-nya bisa saran, berkenaan revisi dan lainnya terhadap peraturan,” lanjut Budi.
Gugatan PTUN
Pemda DIY berkilah, aturan ini dikeluarkan dengan dasar yang kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 dan Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional. Ada pula Keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/MP/2016 tentang Penetapan Obyek Vital Nasional di Sektor Pariwisata. Pasal 9 Ayat (2) UU No 9 Tahun 1998, menyatakan bahwa penyampaian pendapat di muka umum tidak boleh dilakukan di obyek vital nasional.
Dikonfirmasi terpisah, Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X mengaku dirinya hanya melanjutkan keputusan menteri yang sudah ada.
“Saya itu harus menindaklanjuti surat menteri,” ucapnya di Yogyakarta, sambil mempersilahkan para pihak untuk menggugat keputusan itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
“Saya di TUN saja, sehingga kepastian itu ada di pengadilan. Soalnya kalau saya tidak melaksanakan, juga salah. Melaksanakan juga dianggap tidak demokrastis, sudah di TUN saja, tidak masalah,” lanjutnya.
Problem Serius bagi Demokrasi
Lima lokasi yang dilarang dalam Pergub tersebut adalah tempat-tempat strategis yang menjadi langganan para aktivis di Yogyakarta.
Gedung Agung menjadi tempat menginap presiden ketika berkunjung ke Yogyakarta dan sekitarnya. Keraton Yogyakarta adalah tempat tinggal Sultan HB X sekaligus gubernur, sedangkan Kadipaten Pakualaman menjadi kediaman Paku Alam X sebagai wakil gubernur. Di Malioboro ada dua pusat aksi biasa digelar, yaitu DPRD DIY dan Kantor Gubernur DIY. Dengan larangan ini, praktis demonstran tidak akan bisa mendekat ke presiden, gubernur, wakil gubernur dan bahkan wakil rakyat sekalipun.
“Ini menjadi persoalan serius karena kita sama-sama tahu bahwa jantung kekuasaan yang hakekatnya kemudian luput dari pengawasan publik, terletak di sejumlah lokasi tersebut,” kata Yogi Zul Fadhli.
Yogi meyakini, ketika kawasan yang biasanya menjadi lokasi demonstrasi itu menjadi tertutup, aspirasi masyarakat akan sangat terbatas.
Dengan menutup saluran aspirasi, Gubernur sedang mempertontonkan watak aslinya sebagai penguasa anti-kritik, padahal Sultan Yogya itu dalam sejumlah kesempatan menegaskan bahwa dirinya terbuka terhadap kritik.
“Tentu kami mencatat betul pernyataan itu, karena menurut kami itu pernyataan yang sangat berarti dari seorang Gubernur DIY yang juga Raja Kraton Yogyakarta,” tegas Wahyu.
Wahyu mengatakan meski disebut pengendalian, dia khawatir bahwa sebenarnya yang terjadi adalah pelarangan. Oleh karena itu, ARDY juga akan membuat laporan ke Komnas HAM, terkait dugaan pelanggaran HAM, terutama hak berpendapat.
Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2019 menyebut, indeks demokrasi Indonesia di DIY mengalami penurunan di tiga variable. Ketiganya adalah kebebasan berpendapat, kebebasan dari diskriminasi dan variabel partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan.
“Pergub ini makin memperkuat penurunan itu,” tandas Wahyu. [ns/ft]