JAKARTA —
Menteri Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar menyatakan hingga saat ini belum ada kota di Indonesia yang masuk kategori ramah terhadap anak, yaitu yang mengintegrasikan semua aspek kehidupan seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan dan taman bermain untuk menunjang kehidupan anak Indonesia.
“Kita memang ada kelas-kelasnya, kalau sudah kelas 5 misalnya baru dikatakan kota layak anak. Sampai sekarang baru sampai kelas 3, belum ada yang sampai ke kota layak anak,” kata Linda.
Pemerintah, ujarnya, berupaya untuk mengembangkan kabupaten/kota yang layak anak dengan target ada 100 kota seperti itu pada 2014.
“Kita minta bagaimana bisa dipercepat struktur-struktur kabupaten/kota tentang perlindungan perempuan dan perlindungan anak. Jadi itu satu hal yangkita harapkan mengikuti aturan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dengan demikian akan mempercepat indeks pembangunan manusianya akan meningkat, pemberdayaan gendernya juga meningkat dan indeks pembangunan gendernya meningkat sehingga Indonesia bisa kuat lagi,” ujarnya.
Kota dan kabupaten diharapkan dapat menciptakan lingkungan dan sarana pembinaan dan pengasuhan keluarga yang baik bagi anak-anak Indonesia. Selain itu, kata Linda, pemerintah juga terus memperluas akses pendidikan bagi anak-anak, salah satunya dengan memberikan operasional sekolah dan bantuan untuk siswa miskin.
Bantuan tersebut menurut Linda diberikan untuk memperbesar partisipasi pendidikan anak-anak pada kelompok kurang mampu khususnya di daerah terpencil dan kawasan nelayan. Pemerintah lanjutnya juga akan memperbaiki kesehatan anak-anak, ujarnya.
“Tetapi paling tidak sudah ada peraturan daerah-peraturan daerah yang mengatur bagaiamana hak-hak anak terpenuhi sehingga dampaknya siapapun yang menjadi bupati atau walikota karena ada perdanya itu akan aman bahwa harus melanjutkan aturan-aturan bagi proses tumbuh kembang anak dan perlindungan anak itu.”
Sementara itu, Direktur Lembaga Penelitian SMERU Asep Suryahadi menyatakan harus ada koordinasi lintas sektor yang baik agar kota layak anak di Indonesia bisa tercapai.
“Sebenarnya masalahnya klasik yang utama tetap ke masalah koordinasi dan integrasi dari program-program yang ada ini. Nah bagaimana nih supaya dikoordinasikan, diintegrasikan bahwa targetnya itu sama,” ujarnya.
“Kita memang ada kelas-kelasnya, kalau sudah kelas 5 misalnya baru dikatakan kota layak anak. Sampai sekarang baru sampai kelas 3, belum ada yang sampai ke kota layak anak,” kata Linda.
Pemerintah, ujarnya, berupaya untuk mengembangkan kabupaten/kota yang layak anak dengan target ada 100 kota seperti itu pada 2014.
“Kita minta bagaimana bisa dipercepat struktur-struktur kabupaten/kota tentang perlindungan perempuan dan perlindungan anak. Jadi itu satu hal yangkita harapkan mengikuti aturan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dengan demikian akan mempercepat indeks pembangunan manusianya akan meningkat, pemberdayaan gendernya juga meningkat dan indeks pembangunan gendernya meningkat sehingga Indonesia bisa kuat lagi,” ujarnya.
Kota dan kabupaten diharapkan dapat menciptakan lingkungan dan sarana pembinaan dan pengasuhan keluarga yang baik bagi anak-anak Indonesia. Selain itu, kata Linda, pemerintah juga terus memperluas akses pendidikan bagi anak-anak, salah satunya dengan memberikan operasional sekolah dan bantuan untuk siswa miskin.
Bantuan tersebut menurut Linda diberikan untuk memperbesar partisipasi pendidikan anak-anak pada kelompok kurang mampu khususnya di daerah terpencil dan kawasan nelayan. Pemerintah lanjutnya juga akan memperbaiki kesehatan anak-anak, ujarnya.
“Tetapi paling tidak sudah ada peraturan daerah-peraturan daerah yang mengatur bagaiamana hak-hak anak terpenuhi sehingga dampaknya siapapun yang menjadi bupati atau walikota karena ada perdanya itu akan aman bahwa harus melanjutkan aturan-aturan bagi proses tumbuh kembang anak dan perlindungan anak itu.”
Sementara itu, Direktur Lembaga Penelitian SMERU Asep Suryahadi menyatakan harus ada koordinasi lintas sektor yang baik agar kota layak anak di Indonesia bisa tercapai.
“Sebenarnya masalahnya klasik yang utama tetap ke masalah koordinasi dan integrasi dari program-program yang ada ini. Nah bagaimana nih supaya dikoordinasikan, diintegrasikan bahwa targetnya itu sama,” ujarnya.