Jumlah korban tewas dalam ledakan bom truk di Ibu Kota Mogadishu, Sabtu (14/10) kini melebihi 270 orang, serangan terburuk dalam sejarah Somalia.
Menteri Penerangan Somalia Abdirahman O. Osman memasang pesan di Twitter bahwa jumlah korban tewas kini mencapai 276 orang, sementara korban luka-luka mencapai 300 orang.
Dalam pesan lainnya, Osman mengatakan Kenya, Ethiopia dan Turki telah mengirim bantuan medis ke Somalia.
Demonstran yang marah turun ke jalan-jalan mengutuk Al Shabab. Kelompok militan yang kerap mengklaim serangan di Mogadishu itu sejauh ini masih bungkam. Tetapi pemerintah Somalia dan pakar teror yakin bahwa kelompok itu yang bertanggung jawab terhadap serangan di distrik yang sibuk di Mogadishu itu.
“Apakah mereka mengklaim atau tidak, tidak membawa perubahan apapun, kita tahu tindakan teror itu telah terjadi. Ini dilakukan Al Shabab,” ujar mantan pejabat intelijen Abdi Hassan Hussein kepada VOA. “Informasi yang kami dapatkan sejauh ini menunjukkan bahwa ini merupakan pekerjaan Al Shabab. Ini jelas pekerjaan mereka.”
Ratusan warga Minggu (15/10) berdemonstrasi di lokasi serangan itu dan mengutuk kelompok militan tersebut.
Sebagian demonstran menangis ketika tiba di lokasi kejadian dan menyaksikan dampak ledakan dahsyat tersebut. Ledakan truk yang membawa bom telah meluluhlantakkan kawasan paling indah di Mogadishu.
Di Washington DC, Departemen Luar Negeri Amerika mengutuk serangan itu “dengan terminologi yang paling keras.”
“Menanggapi tindakan pengecut dan tidak berperikemanusiaan ini, Amerika akan tetap berdiri bersama pemerintah Somalia dan warganya, dan sekutu-sekutu kami untuk memerangi terorisme dan mendukung upaya mencapai perdamaian, keamanan dan kemakmuran,” Departemen Luar Negeri AS dalam pernyataan tertulis.
Mohamed Yusuf, seorang dokter di rumah sakit Medina, menggambarkan ledakan yang terjadi sekitar pukul 3.20 sore waktu setempat itu.
“Kami sedang bersiap pulang ketika terdengar ledakan sangat dahsyat. Kami sangat terkejut. Dalam waktu lima menit banyak ambulans datang membawa korban luka-luka,” ujar Yusuf. “Kami juga menerima begitu banyak mayat, dalam jumlah yang belum pernah kami saksikan sebelumnya. Rumah sakit kekurangan peralatan intensif. Kami memang mendapat dukungan dari ICRC tetapi tetap kurang,” kata Yusuf menambahkan. [em]