Tony Soemarno mengungkapkan rasa syukurnya ketika akhirnya mendapatkan dana kompensasi dari pemerintah. Tony sendiri merupakan salah satu korban langsung bom JW Marriot I yang terjadi pada 5 Agustus 2003 silam.
Meski menunggu 17 tahun lamanya, ia tetap berterima kasih kepada pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, dan instansi terkait seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sehingga para korban terorisme masa lalu akhirnya mendapatkan dana kompensasi ini.
Ketika ditanya, apakah nominal dana kompensasi ini sebanding? Tony menjawab tentu tidak sebanding dengan penderitaan yang ia alami selama ini.
“Sebetulnya kompensasi ini kalau mau jujur bicara tidak bisa menggantikan apa yang kita alami sesudah kita terkena musibah ini. Siapa yang mau dibayar dengan uang penderitaan mental maupun fisik? Saya pikir tidak ada yang mau. Ini hanya kompensasi seperti ganti rugi dan ini jelas-jelas sudah ada di UU bahwa korban tindak kekerasan terorisme itu adalah sepenuhnya tanggung jawab negara. Jadi pelaksanaan ini, alhamdulilah saya menyambut baik,” ujarnya kepada VOA.
Akibat kejadian ini, Tony harus dirawat selama sembilan bulan lamanya di rumah sakit, karena luka di tubuhnya mencapai 60 persen. Ia pun harus rela kehilangan mata pencahariannya, di bidang minyak dan gas (migas), karena fisik yang sudah tidak memungkinkan.
“Ya betul sejak itu saya sudah tidak bisa bekerja lagi, jadi saya mencari nafkah dengan part time sana sini, saya kehilangan main job saya, tangan saya hancur, punggung saya, kepala saya, dan banyak korban yang lebih parah dari saya. Itulah yang katakan tadi, korban ini tidak bisa digantikan dengan kompensasi seperti itulah. Ada beberapa kawan saya yang kakinya putus, dan sebagainya. Tapi tetap saya sungguh berterima kasih kepada pemerintah,” tuturnya.
Meski sudah 17 tahun lamanya, sampai saat ini Tony mengaku masih teringat dengan kejadian ini. Masih melekat jelas dalam ingatan, ketika dirinya hendak mengadakan lunch meeting dengan kliennya di hotel tersebut kemudian musibah ini terjadi tepat pada pukul 12.55 WIB.
Sebelum dana kompensasi ini, Tony menjelaskan bahwa ia sudah mendapatkan bantuan medis psikologis dari pemerintah. Walaupun hanya tiga bulan, ia tetap bersyukur bisa mendapatkan bantuan psikologis tersebut untuk bisa memperbaiki kesehatan mentalnya pasca kejadian terorisme tersebut.
Bagi Tony sendiri, dana kompensasi tersebut menimbulkan harapan baru untuk bisa melanjutkan hidup yang lebih baik ke depannya. Ia pun akan menggunakan kompensasi ini dengan sebaik-baiknya.
“Mudah-mudahan uang ini berguna untuk kita semua di hari tua. Jadi untuk membantu usaha, supaya ada sedikit bantuan,” ujar Tony.
Suami Pamit Cari Nafkah, Pulang Menjadi Mayat
Tidak terbayangkan sedikit pun di benak Endang Isnanik bahwa ia akan kehilangan suaminya secara tiba-tiba. Sang suami, Aris Munandar merupakan korban bom Bali I yang terjadi 12 Oktober 2002 di Legian, Kuta, Bali.
Kepada VOA, Endang mengatakan sang suami yang berprofesi sebagai supir kendaraan transportasi ini memang setiap hari mencari penumpang di Sari Club yang merupakan tempat kejadian tindak terorisme tersebut. Pada saat kejadian, Aris sedang tertidur pulas di mobilnya, sehingga tidak sempat melarikan diri, dan akhirnya meninggal di tempat.
“Alhamdulilahnya karena di dalam mobil jadi jasadnya utuh. Ya dibandingkan, maksudnya bukannya kita bersyukur dengan kepergian beliau, engga. Artinya bersyukur itu ada yang lebih tidak ditemukan sama sekali jasadnya, itu kan lebih nyesek untuk keluarga. Alhamdulilah masih melihat jasad beliau pada saat itu,” ungkap Endang.
Ibu tiga anak ini bersyukur, setelah menunggu selama kurang lebih 18 tahun akhirnya mendapatkan dana kompensasi dari pemerintah, meskipun uang sebesar apapun tidak bisa menggantikan penderitaan yang ia dan anak-anak alami selama ini. Endang pun mengucapkan terimakasih kepada pemerintahan yang dipimpin Jokowi, juga BNPT dan LPSK yang akhirnya mewujudkan ini semua.
“Dengan adanya kompensasi ini kita bersyukur bukan berarti kita melihat uangnya itu, engga. Kita siapa sih yang mau meninggal dituker uang, gak ada yang pernah mau. Bukan berarti dengan dapat uang kita senang, itu engga. Tetap saja tidak sebanding dengan penderitaan kami, tidak sebanding, tapi kami bersyukur itu wujud dari kepedulian pemerintah kepada kami. Kami bersyukur sekali,” paparnya.
Sepeninggal sang suami, Endang pun otomatis harus mencari nafkah untuk menghidupi dirinya dan ketiga anaknya. Dengan bantuan dari pihak swasta yang memberikan pelatihan menjahit, kini Endang pun berprofesi menjadi penjahit untuk membiayai hidup sehari-hari. Dengan kondisi sakit reumatik, hanya pekerjaan ini yang bisa ia lakukan. Beruntung, ketiga anaknya pun mendapatkan beasiswa dari pihak swasta, sehingga bisa menyelesaikan pendidikan sampai ke bangku kuliah.
Sampai detik ini, perasaan trauma ujarnya masih melekat di dalam dirinya. Ia takut kehilangan orang-orang yang ia sayangi. “Takut kehilangan, karena kehilangan itu menyakitkan. Kadang-kadang saya suka takut. Artinya pernah kehilangan yang tiba-tiba, di luar dugaan. Jadi suami pergi cari nafkah, pulang sudah menjadi mayat. Ini benar-benar membekas di hati saya. Jadi kadang-kadang saya suka takut kalau anak-anak pergi gak bilang, saya suka parno, padahal baik-baik saja,” jelasnya.
Endang pun mengaku sudah memaafkan pelaku teror yang merenggut nyawa suaminya, karena menurutnya cara itulah yang terbaik untuk melanjutkan hidupnya dengan tenang.
Dana kompensasi ini, kata Endang akan ia dan keluarganya pergunakan dengan sebaik-baiknya, apalagi kondisi keuangannya cukup terganggu akibat adanya pandemi Covid-19. “Bayar-bayar tanggungan saya, pakai modal usaha. Kalau untuk beli rumah kan gak cukup. Mudah-mudahan bermanfaat, kami juga akan berhati-hati memakainya supaya bermanfaat, karena pemerintah itu ngasihnya untuk membantu kami juga,” tuturnya.
Jokowi Serahkan Kompensasi Rp39 Miliar Kepada Korban Terorisme
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyerahkan langsung dana kompensasi sebesar Rp39,20 miliar kepada 215 korban terorisme dan ahli waris dari korban yang telah meninggal dunia. Korban-korban tersebut terkait dengan 40 peristiwa tindak pidana terorisme masa lalu.
“Hari ini, tadi sudah disampaikan Bapak ketua LPSK, bahwa pembayaran kompensasi sebesar Rp39,20 miliar secara langsung pada 215 korban terorisme dan ahli waris dari korban yang telah meninggal dunia dan yang telah teridentifikasi dari 40 peristiwa masa lalu,” ungkap Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (16/12).
Jokowi menjelaskan dana kompensasi tersebut merupakan bentuk kepedulian dan tanggung jawab negara kepada para korban yang telah menunggu selama puluhan tahun lamanya.
Pertama Kali Korban Tindak Pidana Terorisme Dapat Kompensasi
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menjelaskan peristiwa penyerahan dana kompensasi ini merupakan tonggak sejarah, terutama bagi korban atau penyintas tindak pidana terorisme masa lalu yang telah menunggu selama kurang lebih 20 tahun.
“Ini adalah peristiwa yang sangat bersejarah bagi bangsa ini karena inilah kali pertama negara memberikan kompensasi kepada para korban terutama tindak pidana korban terorisme masa lalu,” ungkap Hasto.
Adapun dana kompensasi yang diberikan untuk korban meninggal dunia adalah sebesar Rp250 juta, sementarakorban dengan kategori luka berat Rp210 juta, korban dengan kategori luka sedang Rp115 juta dan korban dengan kategori luka ringan sebesar Rp75 juta.
Lanjutnya, penyerahan dana kompensasi ini akan terus diberikan hingga Juni 2021. Sampai saat ini masih terdapat ratusan korban tindak pidana terorisme yang masih dalam inventaris dan dalam proses penyelesaian untuk kemudian diberikan dana kompensasi. [gi/ab]