Departemen Luar Negeri AS menjadikan kemajuan kebebasan beragama sebagai prioritas kebijakan luar negeri dengan para penyintas penganiayaan agama yang mewakili Korea Utara, Rohingya, Uighur, dan Yazidi diundang untuk menekankan urgensi masalah tersebut pada sebuah konferensi pekan depan (16-18 Juli 2019) di Washington DC.
"Ini adalah program utama kebijakan luar negeri Amerika," kata Sam Brownback, duta besar AS untuk kebebasan beragama internasional.
Selama penjelasan singkat melalui telepon, ia menambahkan masalah tersebut belum mendapat perhatian yang cukup di seluruh dunia sementara penganiayaan agama meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Lebih dari seribu perwakilan dari kelompok agama dan masyarakat sipil, serta para menteri luar negeri, diharapkan berkumpul di Departemen Luar Negeri AS untuk membahas status kebebasan beragama di seluruh dunia.
Para penyintas sejumlah serangan baru-baru ini di sebuah sinagog di San Diego, masjid-masjid di Selandia Baru dan pemboman pada hari Paskah di Sri Lanka juga diperkirakan akan hadir.
Para pembicara di tingkat kementerian akan termasuk pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Nadia Murad, seorang perempuan Yazidi Irak yang telah mengadvokasi kelompok itu di Irak utara, dan pendeta evangelis Amerika Andrew Brunson, yang dibebaskan setelah dua tahun ditahan di Turki.
"Kita berupaya menggerakkan aksi. Kami ingin menyaksikan gerakan akar rumput global seputar kebebasan beragama," kata Brownback.
Utusan khusus AS itu mengatakan, pemerintah negara-negara yang ditetapkan Amerika sebagai Negara yang menjadi Keprihatinan Khusus (CPC) karena pelanggaran berat kebebasan beragama, termasuk China dan Myanmar tidak diundang pada konferensi itu karena memusatkan perhatian pada negara dan pemerintah yang berpandangan sama yang bercita-cita menuju kebebasan beragama. (my/al)