Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengumumkan hasil penyelidikannya pada Senin (23/7) dengan menyatakan bahwa penghukuman secara sistematis pada mereka yang diduga sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa 1965/1966 merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Komnas HAM mendesak supaya para pejabat militer yang terlibat dibawa ke pengadilan.
Ketua Tim Penyelidikan Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM, Nur Kholis, dalam jumpa pers di kantornya menyatakan bahwa salah satu unit negara yang patut dimintai pertanggungjawaban adalah struktur Komando Pemulihan dan Keamanan (Kopkamtib) yang dipimpin oleh mantan presiden Soeharto, yang memimpin dari 1965 dan 1967, serta antara 1977 dan 1978.
Nur Kholis menjelaskan bahwa telah terjadi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa serta perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang. Menurutnya, perbuatan-perbuatan tersebut ditujukan terhadap yang diduga sebagai anggota atau simpatisan PKI. Semua peristiwa ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia kecuali Papua.
Nur Kholis mengatakan hasil penyelidikan Komnas HAM yang dilakukan selama empat tahun tersebut telah diserahkan pada Kejaksaan Agung pada 20 Juli lalu.
“Kami meminta agar hasil penyelidikan ini ditindaklanjuti secara hukum oleh Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 Bedjo Untung menyatakan keputusan Komnas HAM tersebut harus segera ditindaklanjuti ke mekanisme hukum agar para korban mendapatkan keadilan dan mendapatkan kepastian hukum
Bedjo Untung yang juga merupakan korban dari peristiwa tersebut mengaku hingga kini ia juga masih mendapatkan perlakuan diskriminatif dari negara seperti tidak mendapatkan kartu tanda penduduk.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut Bedjo, juga harus mengeluarkan Keputusan Presiden untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM ini di antaranya permintaan maaf kepada seluruh korban dan keluarganya baik yang telah meninggal maupun yang masih hidup.
“Apabila hukum dan politik tidak berpihak kepada korban, maka YPKP 65 akan melaporkan ini kepada mekanisme pengadilan internasional,” ujar Bedjo.
Sementara itu, kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Togarisman menyatakan pihaknya akan mempelajari hasil penyelidikan Komnas HAM itu apakah bisa ditindaklanjuti atau tidak.
Togarisman menjelaskan banyaknya hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus pelanggaran HAM yang tidak ditindaklanjuti Kejaksaan Agung disebabkan belum adanya pengadilan HAM Ad Hoc.
“Bahwa Kejaksaan ketika melakukan penyidikan yang nanti menjadi penuntutan, itu berdasarkan Undang-undang. Undang-undang tentang peradilan HAM itu UU No.26/2000. Sekarang terhdap peristiwa yang terjadi sebelum tahun 2000, kan itu masalah juga. Berarti untuk proses itu diperlukan peradilan HAM Ad Hoc,” ujarnya.
Setelah peristiwa Gerakan 30 Sept. 1965, ribuan orang, diperkirakan mencapai 500.000, yang dicurigai anggota PKI, dibunuh dan banyak yang lainnya dipenjara tanpa tuduhan yang jelas.
Komnas HAM mendesak supaya para pejabat militer yang terlibat dibawa ke pengadilan.
Ketua Tim Penyelidikan Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM, Nur Kholis, dalam jumpa pers di kantornya menyatakan bahwa salah satu unit negara yang patut dimintai pertanggungjawaban adalah struktur Komando Pemulihan dan Keamanan (Kopkamtib) yang dipimpin oleh mantan presiden Soeharto, yang memimpin dari 1965 dan 1967, serta antara 1977 dan 1978.
Nur Kholis menjelaskan bahwa telah terjadi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa serta perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang. Menurutnya, perbuatan-perbuatan tersebut ditujukan terhadap yang diduga sebagai anggota atau simpatisan PKI. Semua peristiwa ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia kecuali Papua.
Nur Kholis mengatakan hasil penyelidikan Komnas HAM yang dilakukan selama empat tahun tersebut telah diserahkan pada Kejaksaan Agung pada 20 Juli lalu.
“Kami meminta agar hasil penyelidikan ini ditindaklanjuti secara hukum oleh Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 Bedjo Untung menyatakan keputusan Komnas HAM tersebut harus segera ditindaklanjuti ke mekanisme hukum agar para korban mendapatkan keadilan dan mendapatkan kepastian hukum
Bedjo Untung yang juga merupakan korban dari peristiwa tersebut mengaku hingga kini ia juga masih mendapatkan perlakuan diskriminatif dari negara seperti tidak mendapatkan kartu tanda penduduk.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut Bedjo, juga harus mengeluarkan Keputusan Presiden untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM ini di antaranya permintaan maaf kepada seluruh korban dan keluarganya baik yang telah meninggal maupun yang masih hidup.
“Apabila hukum dan politik tidak berpihak kepada korban, maka YPKP 65 akan melaporkan ini kepada mekanisme pengadilan internasional,” ujar Bedjo.
Sementara itu, kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Togarisman menyatakan pihaknya akan mempelajari hasil penyelidikan Komnas HAM itu apakah bisa ditindaklanjuti atau tidak.
Togarisman menjelaskan banyaknya hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus pelanggaran HAM yang tidak ditindaklanjuti Kejaksaan Agung disebabkan belum adanya pengadilan HAM Ad Hoc.
“Bahwa Kejaksaan ketika melakukan penyidikan yang nanti menjadi penuntutan, itu berdasarkan Undang-undang. Undang-undang tentang peradilan HAM itu UU No.26/2000. Sekarang terhdap peristiwa yang terjadi sebelum tahun 2000, kan itu masalah juga. Berarti untuk proses itu diperlukan peradilan HAM Ad Hoc,” ujarnya.
Setelah peristiwa Gerakan 30 Sept. 1965, ribuan orang, diperkirakan mencapai 500.000, yang dicurigai anggota PKI, dibunuh dan banyak yang lainnya dipenjara tanpa tuduhan yang jelas.