Puluhan orang memadati bioskop West End Cinema di Washington DC Senin malam, menyimak pemutaran film dokumenter “40 Years of Silence : An Indonesian Tragedy”.
Berbeda dengan film dokumenter resmi “Pengkhianatan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia” atau disingkat “Pengkhianatan G-30S-PKI” yang semasa Presiden Soeharto berkuasa selalu diputar setiap tanggal 30 September oleh seluruh stasiun televisi nasional, film “40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy” mengangkat tragedi pembantaian itu dari empat sudut berbeda.
Keempatnya berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda, yaitu keluarga pengusaha Tionghoa, keluarga petani beragama Katholik dan Islam, anak pemimpin partai pro PKI di Bali dan seorang anak yang lahir pada era tahun 1990an tapi ikut menjadi korban.
Robert Lemelson – antropolog lulusan Universitas California menggarap film “40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy” ini sejak tahun 2002. Ia telah mewawancarai ribuan orang yang terkena stigmatisasi, intimidasi dan perlakuan sewenang-wenang karena dinilai terlibat gerakan komunisme atau pro-kiri. Banyak di antara korban ini bahkan anak-anak berusia 15-20 tahun yang sama sekali belum dilahirkan ketika tragedi itu terjadi, tetapi harus memikul dampaknya.
Empat puluh tujuh tahun setelah tragedi itu terjadi, berbagai pelanggaran HAM terhadap keluarga dan kerabat dari mereka-mereka yang dianggap terlibat gerakan komunisme atau pro-gerakan kiri masih terus terjadi. Seperti keterbatasan untuk bersekolah dan bekerja karena stigmatisasi yang dilekatkan pada mereka, pemberian tanda tertentu pada kartu tanda penduduk atau keharusan mengisi formulir tertentu untuk memastikan mereka “bersih lingkungan” – satu istilah yang digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya hubungan dengan komunisme atau Partai Komunis Indonesia.
Karena itu menurut Dr. Gadis Arivia – aktivis dan pendiri Yayasan Jurnal Perempuan – yang ikut menghadiri pemutaran film dan diskusi mengatakan di sinilah letak pentingnya film-film seperti ini. Tidak saja mengingatkan masyarakat Indonesia akan masa kelam dalam sejarah pergolakan politik negara, tetapi juga versi lain suatu peristiwa.
“Saya kira penting agar orang tidak lupa akan apa yang terjadi pada masa itu. Apalagi selama ini kita melihat film dari versi pemerintah, atau kalau pun ada versi lain – tidak selengkap film ini, yang mengangkat kisah empat keluarga dengan latar belakang yang sama sekali berbeda: Tionghoa, Kristen-Islam, Hindu-Bali dan anak muda yang tidak tahu menahu tapi tetap jadi korban karena ayahnya eks-tahanan politik. Saya menghargai Robert Lemelson yang melakukan riset dan mendokumentasikan semua kesaksian-kesaksian itu,” papar Gadis Arivia.
Ditemui seusai pemutaran film tersebut, Robert Lemelson menyatakan bahwa ia hanya ingin mengajak penonton melihat sisi lain tragedi 1965 itu. Terlebih karena saat ini muncul desakan dari masyarakat Indonesia agar KOMNAS HAM menyelidiki berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965 yang menewaskan antara 500 ribu hingga satu juta orang, maupun stigmatisasi pada seseorang atau sekelompok orang karena afiliasi, kepentingan politik atau pengaruh kelompok yang berbau SARA hingga saat ini.
KOMNAS HAM pada tanggal 4-5 Juni 2012 menyelenggarakan rapat paripurna untuk membahas hasil penyelidikan tersebut, namun menurut rencana baru akan dikeluarkan pada bulan Juli 2012.
Berbeda dengan film dokumenter resmi “Pengkhianatan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia” atau disingkat “Pengkhianatan G-30S-PKI” yang semasa Presiden Soeharto berkuasa selalu diputar setiap tanggal 30 September oleh seluruh stasiun televisi nasional, film “40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy” mengangkat tragedi pembantaian itu dari empat sudut berbeda.
Keempatnya berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda, yaitu keluarga pengusaha Tionghoa, keluarga petani beragama Katholik dan Islam, anak pemimpin partai pro PKI di Bali dan seorang anak yang lahir pada era tahun 1990an tapi ikut menjadi korban.
Robert Lemelson – antropolog lulusan Universitas California menggarap film “40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy” ini sejak tahun 2002. Ia telah mewawancarai ribuan orang yang terkena stigmatisasi, intimidasi dan perlakuan sewenang-wenang karena dinilai terlibat gerakan komunisme atau pro-kiri. Banyak di antara korban ini bahkan anak-anak berusia 15-20 tahun yang sama sekali belum dilahirkan ketika tragedi itu terjadi, tetapi harus memikul dampaknya.
Empat puluh tujuh tahun setelah tragedi itu terjadi, berbagai pelanggaran HAM terhadap keluarga dan kerabat dari mereka-mereka yang dianggap terlibat gerakan komunisme atau pro-gerakan kiri masih terus terjadi. Seperti keterbatasan untuk bersekolah dan bekerja karena stigmatisasi yang dilekatkan pada mereka, pemberian tanda tertentu pada kartu tanda penduduk atau keharusan mengisi formulir tertentu untuk memastikan mereka “bersih lingkungan” – satu istilah yang digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya hubungan dengan komunisme atau Partai Komunis Indonesia.
Karena itu menurut Dr. Gadis Arivia – aktivis dan pendiri Yayasan Jurnal Perempuan – yang ikut menghadiri pemutaran film dan diskusi mengatakan di sinilah letak pentingnya film-film seperti ini. Tidak saja mengingatkan masyarakat Indonesia akan masa kelam dalam sejarah pergolakan politik negara, tetapi juga versi lain suatu peristiwa.
“Saya kira penting agar orang tidak lupa akan apa yang terjadi pada masa itu. Apalagi selama ini kita melihat film dari versi pemerintah, atau kalau pun ada versi lain – tidak selengkap film ini, yang mengangkat kisah empat keluarga dengan latar belakang yang sama sekali berbeda: Tionghoa, Kristen-Islam, Hindu-Bali dan anak muda yang tidak tahu menahu tapi tetap jadi korban karena ayahnya eks-tahanan politik. Saya menghargai Robert Lemelson yang melakukan riset dan mendokumentasikan semua kesaksian-kesaksian itu,” papar Gadis Arivia.
Ditemui seusai pemutaran film tersebut, Robert Lemelson menyatakan bahwa ia hanya ingin mengajak penonton melihat sisi lain tragedi 1965 itu. Terlebih karena saat ini muncul desakan dari masyarakat Indonesia agar KOMNAS HAM menyelidiki berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965 yang menewaskan antara 500 ribu hingga satu juta orang, maupun stigmatisasi pada seseorang atau sekelompok orang karena afiliasi, kepentingan politik atau pengaruh kelompok yang berbau SARA hingga saat ini.
KOMNAS HAM pada tanggal 4-5 Juni 2012 menyelenggarakan rapat paripurna untuk membahas hasil penyelidikan tersebut, namun menurut rencana baru akan dikeluarkan pada bulan Juli 2012.