Tautan-tautan Akses

Kemlu RI: Arab Saudi Sedianya Beri Notifikasi Eksekusi Zaini


Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal dalam jumpa pers tentang eksekusi Zaini Misrin di Arab Saudi.(Foto Courtesy: Kemenlu RI)
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal dalam jumpa pers tentang eksekusi Zaini Misrin di Arab Saudi.(Foto Courtesy: Kemenlu RI)

Zaini Misrin bin Muhammad Arsyad, warga negara Indonesia dipancung oleh pemerintah Arab Saudi, Minggu (18/3) setelah divonis bersalah karena membunuh majikannya, Abdullah bin Umar. Pelaksanaan hukuman pancung tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemerintah Indonesia dan memicu kemarahan otorita berwenang serta sejumlah LSM penggiat hak buruh migran.

Sejumlah LSM dan badan pemerintah tidak bisa menyembunyikan kemarahan mereka ketika berita hukuman pancung terhadap tenaga kerja Indonesia Zaini Misrin bin Muhammad Arsyad tersebar luas. Sebagian menuntut pemerintah Indonesia mengirim nota protes resmi, dan tak sedikit yang menyerukan agar Presiden Joko Widodo membatalkan rencananya melawat ke Arab Saudi, yang sedianya dilangsungkan Mei nanti.

Kemarahan ini terutama karena pemerintah Arab Saudi diketahui tidak pernah memberitahu eksekusi Zaini kepada keluarga maupun Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Ibu Kota Riyadh dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Kota Jeddah.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal dalam konferensi pers di Jakarta, Senin sore (19/3), mengakui pemerintah kaget karena tidak mendapat pemberitahuan atas hukuman pancung yang dilakukan hari Minggu (18/3) pada jam 11.30 siang waktu Makkah atau jam 15.30 WIB.

Iqbal menambahkan dirinya bersama wakil Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia (BNP2TKI), wakil dari Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bangkalan, dan kepala desa setempat telah mendatangi kediaman keluarga mendiang Zaini untuk menyampaikan belasungkawa dari pemerintah. Keluarga, menurut Iqbal, mengatakan telah mengikhlaskan eksekusi Zaini itu.

Menurut Iqbal, pemerintah Indonesia bisa memahami bahwa dalam aturan Arab Saudi tidak mewajibkan untuk memberitahu kepada perwakilan asing tentang jadwal eksekusi. “Namun sebagai negara bersahabat, sedianya pemerintah Saudi memberi notifikasi soal jadwal eksekusi Zaini,” tegas Iqbal. Apalagi pasca eksekusi Siti Zainab tahun 2015, di antara kedua negara telah ada nota kesepahaman agar pihak Saudi memberitahu keluarga melalui KBRI Riyadh atau KJRI Jeddah jika ada warga Indonesia yang akan dieksekusi.

Lebih lanjut Iqbal menjelaskan pada 29 Januari 2018, pengacara Zaini telah menyampaikan permohonan peninjauan kembali untuk kedua kalinya. Permohonan peninjauan kembali yang pertama dilakukan awal tahun lalu sudah ditolak. Satu bulan kemudian, tepatnya pada 20 Februari 2018, KBRI Riyadh menerima nota diplomatik dari Kementerian Luar Negeri Arab Saudi yang berisi pernyataan Jaksa Agung Arab Saudi Saud al-Mujib yang mempersilakan pengacara Zaini menyampaikan permohonan kepada pengadilan di Makkah untuk memanggil dan meminta kesaksian Abdul Aziz, penerjemah yang mendampingi Zaini saat menjalani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada 2004.

Iqbal mengatakan ada harapan kesaksian Abdul Aziz akan menjadi bukti baru yang akan memperkuat permohonan peninjauan kembali atas kasus Zaini. Pada 6 Maret 2018, pengacara sudah menyampaikan surat permohonan kepada pengadilan untuk memanggil dan mendengarkan kesaksian Abdul Aziz.

Baca juga: TKI Dipancung di Arab Saudi, Migrant Care Desak Jokowi Batalkan Lawatan

"Karena itu, pemerintah menyayangkan bahwa eksekusi itu dilakukan pada saat proses PK (peninjauan kembali) kedua baru dimulai. Jadi belum ada kesimpulan resmi terhadap PK kedua yang diajukan," kata Iqbal.

Zaini pertama kali berangkat ke Arab Saudi pada 1992 untuk bekerja sebagai sopir pribadi. Dia kembali ke Indonesia dan pada 1996 berangkat untuk kedua kalinya dan bekerja kepada majikan yang sama sebagai sopir pribadi, hingga dengan terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap majikannya, Abdullah bin Umar, pada 13 Juli 2004. Zaini ditangkap atas laporan anak kandung korban.

Pada November 2008, Mahkamah Umum Makkah memvonis Zaini dengan hukuman mati. Setelah menerima putusan tersebut, pengacara Zaini mengajukan banding dan dilanjutkan dengan kasasi. Namun pengadilan banding dan kasasi menguatkan vonis mati atas Zaini itu.

Iqbal menegaskan sejak kasus ini muncul pada 2004, pemerintah sudah melakukan hampir semua upaya untuk membebaskan Zaini. Tim perlindungan WNI di KJRI Jeddah dan KBRI Riyadh bahkan telah menjenguk Zaini di penjara sebanyak 40 kali.

Sejak 2011, pemerintah juga sudah menunjuk dua pengacara untuk mendampingi perkara Zaini. Pengacara pertama disewa selama 2011-2016 dan pengacara kedua yang masih bertugas hingga Zaini dieksekusi.

Pemerintah juga sudah tiga kali memfasilitasi keluarga untuk menemui ahli waris majikan, yakni satu kali di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dua kali saat Presiden Joko Widodo berkuasa. Namun hingga detik terakhir menjelang eksekusi, pihak ahli waris menolak memberi maaf kepada Zaini.

Sejak Zaini ditangkap, KJRI Jeddah dan KBRI Riyadh sudah mengirim 42 nota diplomatik. Duta besar Indonesia di Riyadh juga sudah menyurati tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat tinggi Saudi dalam upaya membebaskan Zaini dari hukuman mati.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono satu kali menyurati Raja Abdullah bin Abdul Aziz dan Presiden Joko Widodo dua kali menyurati Raja Salman bin Abdul Aziz. Keduanya meminta supaya Zaini dibebaskan dari hukuman pancung.

Iqbal menekankan pemerintah Indonesia hari ini sudah kembali menyampaikan nota protes kepada pemerintah Arab Saudi. Kementerian Luar Negeri juga sudah memanggil Duta Besar Saudi Untuk Indonesia Usamah bin Muhammad Abdullah, untuk meminta penjelasan mengenai eksekusi Zaini.

Sekretaris Utama BNP2TKI Hermono mengatakan 90 persen dari tenaga kerja Indonesia menghadapi perkara hukum di luar negeri adalah mereka yang berangkat secara ilegal. Karena itu, pemerintah memprioritaskan upaya pencegahan tenaga kerja ilegal ke luar negeri.

Karena itu, awal tahun lalu, sejumlah badan pemerintah dan kementerian menandatangani sebuah nota kesepahaman tentang kerja sama pencegahan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri secara ilegal. Kerja sama antar institusi pemerintah ini sudah memperlihatkan hasil cukup menggembirakan.

"Sejak Januari sampai Desember (2017), imigrasi menolak memberikan paspor kepada 5.960 karena mereka dicurigai akan bekerja secara non-prosedural (ilegal). Imigrasi pun sudah menolak untuk memberangkatkan 1.060-an warga kita yang akan berangkat keluar negeri untuk bekerja," jelasnya.

Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah, menyayangkan karena pemerintah yang terlambat memberikan pendampingan terhadap Zaini sejak dia ditangkap. Anis melihat ada proses hukum yang tidak jujur terhadap Zaini.

"Zaini Misrin menjalani proses hukum pertama pada 2004-2008 tidak ada pendampingan dari KBRI dan tidak ada pengacara, sehingga ada pemaksaan dalam pemberian keterangan selama BAP berlangsung. Dia tidak membunuh tetapi dipaksa memberikan keterangan bahwa dia membunuh," jelas Anis.

Anis Hidayah mendesak pemerintah untuk segera mengirim nota protes kepada pemerintah Arab Saudi terkait eksekusi mati terhadap Zaini Misrin yang dilakukan tanpa memberitahu terlebih dahulu kepada perwakilan Indonesia di negara itu atau pemerintah Indonesia.

Data Kementerian Luar Negeri menyebutkan sejak 2011 hingga saat ini ada 583 warga Indonesia di seluruh dunia terkena vonis hukuman mati. Dari jumlah itu, pemerintah berhasil membebaskan 392 warga Indonesia dari hukuman mati.

Baca juga: Tiga WNI Terancam Segera Dieksekusi Mati di Arab Saudi

Yang sudah dieksekusi hukuman mati, termasuk Zaini, mencapai tiga orang. Sementara yang masih ditangani karena telah divonis hukuman mati mencapai 188 orang.

Khusus di Arab Saudi, selama 2011-2018 ada 102 warga Indonesia terancam hukuman mati. Dari jumlah tersebut, 79 orang berhasil dibebaskan, tiga orang dieksekusi, dan 20 lainnya masih dalam penanganan.

Dari 20 warga Indonesia yang masih terancam hukuman mati di Arab Saudi, 15 orang atas dakwaan pembunuhan dan lima lainnya perkara sihir. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG