Migrant Care menilai konsensus perlindungan dan promosi hak-hak pekerja migran yang dicapai dalam KTT ASEAN di Manila, tidak cukup memadai dan tidak signifikan menjadi instrumen perlindungan buruh migran ASEAN. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo dalam pernyataan tertulis yang diterima VOA hari Senin (13/11).
Setelah melalui proses pembahasan yang berlarut-larut untuk mewujudkan Deklarasi Cebu tentang perlindungan dan penguatan hak-hak pekerja migran yang dicapai sepuluh tahun lalu, para pemimpin ASEAN hari Senin (13/11) menandatangani “ASEAN Concensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers”.
Namun menurut Migrant Care, dibanding keputusan-keputusan mengikat lain yang dihasilkan lembaga-lembaga seperti Komisi Antar-Pemerintah ASEAN tentang HAM atau ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dan Komisi ASEAN Untuk Perlindungan dan Penguatan Hak Perempuan & Anak-anak atau ASEAN Commission on the Promotion and the Protection of the Rights of Women and Children (ACWC); tidak ada hal signifikan yang dihasilkan untuk melindungi buruh migran di ASEAN. Padahal buruh migran di ASEAN merupakan penggerak utama ekonomi di kawasan, dimana tiga dari sepuluh negara justru menerima remitansi terbesar di dunia dari sektor buruh migran, yaitu Indonesia, Filipina dan Vietnam.
Migrant Care menilai sudah saatnya para pemimpin ASEAN mengakui kontribusi signifikan itu dengan mendorong lahirnya aturan perlindungan dalam bentuk konvensi ASEAN yang secara hukum lebih mengikat. “Buruh migran di kawasan ASEAN mendambakan perlindungan sejati yang berkekuatan hukum untuk menggapai akses terhadap keadilan… kerentanan yang dihadapi buruh migran di kawasan ASEAN membutuhkan kehadiran dan perlindungan negara, yang hingga saat ini masih sangat terbatas,” demikian pernyataan Migrant Care. [em]