Aborsi, kepemilikan senjata api, dan agama merupakan isu-isu yang kerap memicu perhatian luas publik. Hakim-hakim agung konservatif yang dicalonkan Donald Trump ketika menjabat sebagai presiden, kini menunjukkan kehadirannya di Mahkamah Agung dengan mengajukan pembahasan isu-isu sosial yang telah menjadi target kelompok sayap kanan selama puluhan tahun.
Selama bertahun-tahun, kelompok konservatif yang frustrasi – termasuk beberapa hakim – mengkritisi hakim agung yang mayoritas merupakan tokoh yang ditunjuk oleh Partai Republik, karena tidak melakukan cukup banyak hal atau menyampaikan masalah yang menurut mereka membutuhkan perhatian serius pengadilan.
Kini dari sembilan hakim di Mahkamah Agung, ada tiga hakim agung yang berasal dari kelompok konservatif yang sebelumnya ditunjuk Trump. Hakim konservatif yang sudah lebih lama bertugas – seperti Samuel Alito dan Clarence Thomas – dapat mengumpulkan lima suara dan mengambil keputusan, bahkan tanpa suara hakim ketua John Roberts.
Hakim-hakim yang ditunjuk Trump “tidak saja mewakili pergeseran ideologi tetapi juga peralihan kekuasaan. Ada lima hakim di kanan Roberts,” ujar Profesor Kent Greenfield di Boston College Law. “Ini artinya hakim ketua tidak lagi mengontrol mahkamah itu.”
Tujuh bulan setelah hakim Amy Coney Barrett bergabung di Mahkamah Agung, mayoritas hakim konservatif telah mengeluarkan serangkaian perintah yang berpihak pada pemimpin agama yang menantang pembatasan sosial terkait Covid-19. Dalam beberapa kasus Barrett memberikan suara yang kelima. Roberts enggan untuk mengubah keputusan pejabat terpilih dalam kasus-kasus ini, dan sebelum meninggal pada September 2020 lalu hakim agung Ginsburg juga mempertahankan pembatasan terhadap upacara keagamaan.
Yang lebih signifikan adalah masalah perang budaya yang kemungkinan besar akan diputuskan oleh pengadilan pada musim semi 2022, menjelang pemilihan paruh waktu Kongres.
Para hakim, Senin (17/5), mengumumkan bahwa mereka akan mendengar kasus aborsi, yang dapat mengubah putusan atau malah menghapus hak aborsi yang telah diambil 50 tahun lalu.
Bulan lalu para hakim agung ini pun telah setuju untuk memutuskan apakah warga Amerika memiliki hak konstitusional untuk membawa senjata di depan umum untuk membela diri.
Di sisi lain ada tantangan langsung untuk langkah afirmatif dalam soal penerimaan di perguruan tinggi, dalam kasus yang melibatkan Universitas Harvard, yang meminta pengadilan membatalkan putusan tahun 2003 tentang faktor ras sebagai salah satu pertimbangan dalam penerimaan mahasiswa. Pemungutan suara untuk menyidangkan kasus itu diperkirakan berlangsung sebelum libur musim panas yang panjang.
Keputusan untuk menyidangkan kasus itu hanya membutuhkan empat suara dan tidak ada jaminan akan hasilnya. Namun khusus yang terkait kepemilikan senjata api dan aborsi, mahkamah dengan susunan hakim yang tidak terlalu konservatif melewatkan kesempatan untuk menyidangkan isu-isu kontroversial ini. [em/jm]