Caleg perempuan kerap menerima intimidasi, tidak saja ketika berada berhadapan langsung dengan konstituen di daerah-daerah pemilihan, tetapi juga lewat sosial media. Akankah kekerasan berbasis gender menyurutkan langkah mereka?
Taufik Hidayat, yang mengklaim sebagai caleg Partai Demokrat, hari Jumat (4/1) secara terang-terangan menyampaikan ancaman fisik lewat Twitter terhadap Tsamara Amany, caleg Partai Solidaritas Indonesia PSI.
“Jadi aktivis gak pernah, mudanya gak tahu ada di mana tapi banyak bacot, kalau gw perempuan udah gw tampar mulutnya bolak-balik,” cuit Taufik disertai screenshot foto Tsamara ketika memberikan “Kebohongan Award” pada hari yang sama.
Taufik Hidayat, yang menurut website KPU tercantum sebagai DCT Anggota DPRD DKI Pileg 2019 dari Partai Demokrat, tampaknya geram dengan “Kebohongan Award” yang diberikan Partai Solidaritas Indonesia PSI kepada beberapa tokoh di tim pemenangan Prabowo-Sandiaga Uno.
PSI Jumat siang memberikan anugerah itu kepada Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, dan Andi Arief karena beberapa pernyataan mereka yang tidak terbukti kebenarannya, yaitu soal selang cuci darah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, membangun tol Cipali tanpa utang, dan tujuh kontainer surat suara yang sudah tercoblos di Tanjung Priok.
Tsamara Amany membalas intimidasi itu dengan mencuit alamat PSI di Twitter “Kantor PSI : Jl. Wahid Hasyim No.194. Saya tunggu mas” disertai emoji tersenyum.
Ditambahkannya bahwa “saya tidak punya masalah dengan mereka yang beda pendapat. Tapi ancaman kekerasan terhadap perempuan harus dilawan dengan berani. Agar mereka tahu bahwa ancaman seperti itu tidak akan memunculkan ketakutan. Justru sebaliknya, akan membangkitkan keberanian.”
Akankah Intimidasi Surutkan Langkah Caleg Perempuan?
Kekerasan berbasis gender dalam pemilu, lewat berbagai bentuk, memang kerap dialami caleg perempuan. Kritik tidak semata ditujukan terhadap visi caleg perempuan, tetapi juga identitas gender mereka. Disampaikan lewat media sosial dan media mainstream seperti suratkabar, televisi dan radio; maupun ketika berhadapan langsung di daerah-daerah pemilihan.
Dwi Septiawati Djafar, caleg Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan, intimidasi dalam bentuk apapun tidak boleh dilakukan terhadap siapapun. Namun caleg untuk daerah pemilihan Jawa Barat VII yang mencakup Karawang, Bekasi dan Purwakarta itu mengatakan semua pihak hendaknya juga menjaga sikap dan berkompetisi secara sehat.
“Dalam suasana kompetisi yang cenderung makin memanas, hendaknya semua pihak dapat menjaga sikap dan perilaku yang mencerminkan saling menghormati, saling menghargai dan mengutamakan persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa,” ujarnya.
Maria Karsia, caleg Partai PDI-Perjuangan, yang kerap menemui tantangan ketika berhadapan langsung dengan konstituen di daerah-daerah pemilihan mengatakan kepada VOA, ia pantang menyerah.
“Tugas sudah saya emban. Pantang menyerah sebelum mencapai finish. Waktu tiga bulan lagi akan saya gunakan sebaik-baiknya untuk kampanye door-to-door dengan maksimal dengan mengunjungi ulang pemilih potensial saya di desa-desa dan dialog interaktif dengan komunitas – terutama kaum perempuan,” ujar perempuan berdarah Aceh yang akan bertarung di daerah pemilihan Aceh II, yang mencakup Aceh Timur, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Bireun, Aceh Tamiang, Kota Lhokseumawe dan Kota Langsa itu.
Ditambahkannya, ia siap melakukan edukasi politik yang beretika semaksimal mungkin “agar warga bisa melaksanakan tugas mereka sebagai warga negara, dengan menolak politik pragmatis dan money-politic yang tidak bermartabat.”
Sementara Dwi Septiawati Djafar, caleg PKS, mengatakan siap terjun sebagai caleg berarti harus siap mental menghadapi segala kemungkinan di lapangan.
“Jangan menyerah. Pantang mundur dan harus tegar seperti batu karang. Kuncinya bersandar pada kekuatan yang Maha Kuasa,” ujarnya. Lebih jauh caleg yang juga menjadi Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia KPPI itu juga menyerukan kepada semua caleg perempuan utuk tetap semangat. “Realita masyarakat yang belum berpihak pada perempuan justru menjadi tantangan untuk terus melakukan edukasi politik secara baik dan bijak pada masyarakat,” tegasnya.
Komnas Perempuan Serukan KPU & Bawaslu Pantau Kekerasan Berbasis Gender dalam Pemilu
Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu kepada VOA mengatakan sampai dua dekade reformasi, budaya politik Indonesia masih sangat maskulin, terutama yang berkaitan dengan politik praktis. Badan pimpinannya bahkan mencatat “trend menggunakan isu agama untuk kepentingan meningkatkan popularitas, yang semakin memperburuk situasi.” Menurutnya dalam situasi seperti ini caleg-caleg perempuan tentu akan lebih rentan kekerasan dan diskriminasi.
Untuk itu Azriana menggarisbawahi perlunya lembaga-lembaga pemantau pemilu menggunakan instrumen yang dapat memantau dan “menangkap diskriminasi dan kekerasan berbasis gender dalam pemilu.”
“KPU dan Bawaslu perlu siapkan mekanisme pencegahan dan penanganan, dari tingkat pusat hingga daerah, dengan sanksi tegas. Pendidikan politik untuk masyarakat perlu diperkuat, dilakukan secara sistemik dan masif, bukan sekedar pendidikan pemilih menjelang pemilu,” tegasnya.
Kekerasan Berbasis Gender Juga Dialami Caleg Perempuan di AS
Kekerasan berbasis gender dalam pemilu tidak hanya terjadi di Indonesia. Suratkabar New York Times Agustus 2018 lalu menerbitkan laporan panjang yang menceritakan bagaimana hebatnya kekerasan yang ditujukan kepada caleg-caleg perempuan pada pemilihan paruh waktu November 2014 dan dikhawatirkan terulang pada pemilihan paruh waktu November 2018. Dan hal itu memang terulang. Bahkan jauh setelah pemilihan paruh waktu itu selesai dan kandidat-kandidat terpilih duduk di Kongres.
Hal paling nyata adalah yang dialami anggota DPR faksi Demokrat dari negara bagian New York Alexandria Ocasio-Cortez. Dilantik menjadi anggota DPR tidak menyurutkan kritik tajam terhadapnya, bukan karena visinya, tetapi karena keperempuanannya. Video lama yang menunjukkan ia sedang menari bersama beberapa teman kuliahnya di Boston dirilis pada hari pelantikannya, suatu upaya yang tampaknya untuk mempermalukannya. Bukannya marah, Ocasio-Cortez justru memasang video ia sedang menari di depan kantor barunya di Capitol Hill.
“Saya dengar GOP (Partai Republik.red) menilai perempuan yang suka menari adalah skandal. Tunggu sampai mereka melihat anggota perempuan Kongres ini juga menari! Selamat berakhir pekan semua,’’ cuitnya lengkap dengan video berdurasi 11 detik.
Hari Minggu (6/1) seorang konsultan dan pakar strategi Partai Republik Ed Rollins mengecam Ocasio-Cortez sebagai “anak perempuan kecil bermulut besar.” Tak kenal menyerah, Ocasio-Cortez menyebut pernyataan itu bernuansa misoginis atau kebencian terhadap perempuan.
Ocasio-Cortez juga mendukung anggota DPR dari negara bagian Michigan Rashida Thlaib yang dikecam Presiden Donald Trump sebagai “sosok yang mempermalukan diri dan keluarga” karena menggunakan kata-kata kasar yang dinilai menghina Trump.
Kekerasan berbasis gender mungkin tidak akan surut, tetapi dengan semakin banyaknya perempuan yang memasuki dunia politik dan berani bicara lantang tentang hal ini, warga mulai mendapat pendidikan politik tentang persamaan hak dan kesetaraan, langsung dari wakil-wakil mereka. (em)