Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah mengimbau masyarakat di kota Palu untuk mengurangi aktivitas berenang di sekitar Teluk Palu untuk mengurangi risiko erangan buaya muara. Seekor buaya muara belum lama ini, Minggu (13/12) menggigit lengan seorang warga kota Palu yang sedang berenang di Pantai Talise. Warga itu selamat namun harus menjalani perawatan karena luka gigitan yang serius.
Kepala BKSDA Sulawesi Tengah, Hasmuni Hasmar dalam sebuah diskusi virtual mengatakan pihaknya juga telah melakukan pemasangan papan peringatan bahaya buaya tersebut.
“Imbauan untuk pengurangan aktivitas terhadap masyarakat pada tempat atau habitat-habitat yang sering munculnya satwa buaya, khususnya di Palu,” kata Hasmuni Hasmar dalam diskusi virtual Libu Ntodea yang digelar oleh Bappeda Kota Palu, Rabu (23/12/2020). Diskusi itu bertema “Perlunya Managemen Mitigiasi Konflik Buaya-Manusia."
Dia mengakui BKSDA Sulteng juga telah mengeluarkan izin penangkaran buaya, sehingga empat ekor buaya yang ditangkap dalam dua bulan terakhir telah ditaruh di tempat itu, termasuk seekor buaya betina pada 27 November 2020 yang ditangkap saat terjebak di parkiran sebuah pusat perbelanjaan di Kota Palu. Buaya sepanjang 2,9 meter itu diduga hendak mencari tempat bertelur.
Buaya Muara berada di urutan 173 dalam daftar satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Wikipedia menyebutkan buaya muara (Crocodylus porosus) adalah jenis buaya terbesar di dunia yang hidup di sungai-sungai dan di dekat laut di daerah tropis Asia Selatan, Asia Tenggara dan Australia. Panjang tubuhnya biasanya antara 4,5 sampai 5,5 meter, namun bisa mencapai lebih dari 6 meter. Bobotnya bisa mencapai lebih dari seribu kilogram.
Wardin, seorang nelayan di pantai Talise mengatakan bulan Desember ini, buaya muara semakin sering terlihat berenang di sekitar pantai tempat para nelayan menempatkan perahu. Keberadaan buaya-buaya itu menurutnya sangat membahayakan kegiatan nelayan.
“Nelayan maunya pihak terkait supaya ditangkap itu buaya, dipindahkan karena membahayakan bagi nelayan-nelayan. Sering muncul, siang malam muncul," ungkap Wardin bersama nelayan lainnya, Sabtu (19/12).
Kehilangan Habitat
Fadly Y. Tantu, dosen Managemen Sumber Daya Perairan Fakultas Peternakan dan Perikanan Univeristas Tadulako mengungkapkan konflik buaya dan manusia di kota Palu dikarenakan satwa liar itu kehilangan habitat mereka karena kegiatan pembangunan dalam lima tahun terakhir. Pembuatan tanggul sungai untuk mencegah banjir telah membuat buaya kehilangan tempat bersarang.
“Pembangunan di Palu itu sangat gencar, termasuk pembangunan dalam rangka penataan ekosistem sungai. Penataan untuk mendapatkan keindahan-keindahan dari kota. Pembuatan tanggul-tanggul di sekitar sungai, ini mulai terjadinya konflik-konflik itu, karena manusia mengambil habitat dari buaya itu, sehingga buaya di Teluk Palu itu kehilangan rumahnya," tukas Fadly.
Dikatakannya pembangunan pemukiman dan tanggul telah menghilangkan daerah rawa-rawa, termasuk ekosistem bakau (mangrove), tempat berkembang biaknya ikan dan kepiting, yang menjadi makanan utama buaya.
Fadly Y Tantu menjelaskan sampai 2017, buaya memiliki sarang di wilayah muara sungai Palu, namun tempat itu telah rusak akibat tsunami di Teluk Palu pada 28 September 2018. Pembangunan tanggul laut sepanjang 7,2 kilometer di sepanjang pesisir Teluk Palu untuk menahan banjir rob dan ombak sejak akhir 2019, membuat satwa liar itu bergerak lebih jauh, meninggalkan habitat utama mereka.
Mitigasi dengan Kegiatan Pengawasan Buaya
Sudaryanto Lamangkona, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Palu menilai dalam jangka pendek perlu dilakukan kegiatan pengawasan pergerakan buaya di wilayah pesisir Teluk Palu,terutama untuk melindungi aktivitas nelayan di 13 kelurahan. Memiliki garis pantai sepanjang 41 kilometer, pesisir Teluk Palu juga memiliki banyak lokasi yang digunakan masyarakat untuk kegiatan berenang dan rekreasi.
“Sayang sekali kalau keindahan Teluk Palu itu bisa menjadi rusak, tidak lagi menjadi impian orang untuk bisa merasakan bagaimana nikmatnya berenang hanya karena terancam keselamatan mereka, ketika berenang ada buaya," katanya.
Jumlah buaya di sungai Palu diperkirakan sekitar 60 ekor, termasuk satu ekor buaya berkalung ban yang kemunculannya pada 2016 menyita perhatian luas publik. Upaya melepaskan kalung ban melibatkan ahli menangkap buaya dalam dan luar negeri pada awal tahun ini terpaksa dihentikan karena pandemi Covid-19. [yl/ab]