Dua minggu terakhir ini berbagai gangguan keamanan yang terkait kehidupan umat beragama terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Pengrusakan rumah ibadah Tanjung Balai; persekusi terhadap tokoh agama di Tangerang dan Bandung, serangan terhadap jemaat yang sedang beribadah di Yogyakarta, dan yang terbaru pengrusakan rumah ibadah di Tuban, Jawa Timur. Pengrusakan pada 13 Februari ini diduga dilakukan orang yang mengalami masalah kejiwaan, meskipun polisi masih mendalami motif pelaku.
Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol. Frans Barung Mangera mengatakan, “Yang kita selidiki adalah motifnya. Dia melakukan pengrusakan kaca itu kenapa. Berikan waktu pada kepolisian untuk menyelidiki motif ini, karena dua orang ini sementara khan luka tangannya.”
Baca juga: Serangan terhadap Gereja di Sleman, Lima Luka-luka
Pengamat isu radikalisme yang juga pengajar di UIN Sunan Ampel Surabaya Ahmad Zainul Hamdi mengatakan peristiwa-peristiwa yang terjadi baru-baru ini memiliki pola yang sama, termasuk pelaku yang diduga mengalami gangguan kejiwaan. Ada keinginan untuk menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, ujarnya. Termasuk menimbulkan isu bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia PKI, atau isu pembunuhan dukun santet oleh Ninja di Banyuwangi.
“Mulai dari Jawa Barat, Jakarta, Sleman, kemudian ada di Tuban, itu polanya sama, tiba-tiba saja orang gila, kemudian yang diincar itu adalah tokoh agama, atau hal-hal yang ada kaitannya dengan agama. Jelas sekali yang disasar sebetulnya hendak membangkitkan keresahan masyarakat, maka masyarakat akan mengembangkan satu praduga tertentu, siapa ini yang melakukan? Kemudian otak di belakangnya itu akan memunculkan, oh siapa. Kalau misalkan di Banyuwangi itu adalah Ninja, mungkin sekarang yang akan diletupkan adalah PKI bangkit, ini jelas ada kaitannya dengan tahun politik 2019,” kata Zainul.
Dugaan adanya kepentingan politik terkait pilkada 2018 dan pilpres 2019 ini juga dibenarkan Airlangga Pribadi, pengamat dan pengajar Ilmu Politik di FISIP Universitas Airlangga Surabaya. Menurutnya peristiwa-peristiwa itu tampaknya diarahkan pada upaya mendelegitimasi pemerintah.
“Sejauh apa yang sudah terjadi itu kelihatannya kan membuat instabilitas, mendorong pada instabilitas politik, yang kemudian arahannya itu untuk mendorong pada proses delegitimasi pada pemerintahan. Ketika Indonesia sedang memasuki fase-fase politik yang sangat intens, dan ujung-ujungnya kelihatannya juga bisa jadi mengarah pada upaya untuk melakukan upaya delegitimasi terhadap pemerintahan. Artinya anggapan bahwa pemerintahan tidak bisa menjaga situasi politik yang lebih kondusif,” ujar Airlangga.
Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD), Aan Anshori mengungkapkan, meski kasus pengrusakan masjid di Tuban berbeda dengan penyerangan gereja di Sleman, Aan tidak menampik adanya indikasi politik dalam peristiwa-peristiwa itu. Untuk itu ia meminta tokoh agama dan masyarakat bersatu melawan radikalisme dengan memperkuat kerukunan antar umat beragama.
“Situasi Pilkada serentak yang akan dihadapi oleh banyak kabupaten/kota terutama di Jawa Timur dan di Jawa Tengah, itu memang menjadi lahan yang subur bagi kelompok-kelompok intoleran untuk menghembuskan isu ini sebagai isu yang bernuansa perpecahan. Dan masyarakat mesti harus waspada, tokoh-tokoh lintas agama, dan juga Imam, Romo, Pendeta, Kiai, itu juga mesti harus bersatu padu di berbagai wilayah, untuk tidak ada provokasi dengan masalah ini,” tukas Anshori.
Aan Anshori menyerukan kepada pemerintah dan semua elemen masyarakat, untuk menguatkan karakter generasi muda yang menghargai nilai-nilai kebangsaan dan kebhinnekaan, khususnya melalui dunia pendidikan. Sekaligus meningkatkan pengawasan terhadap kelompok yang dicurigai kerap memicu aksi intoleran.
“Salah satunya adalah memastikan pengajaran di sekolah, dan juga pemantauan terhadap kelompok-kelompok yang selama ini aktif mengkampanyekan intoleransi, dan juga tidak segan-segan menggunakan cara kekerasan, kelompok tersebut itu juga harus diawasi,” tambahnya. [pr/em]