Lantunan Syiir Tanpo Waton karya Gus Dur menggema di Auditorium Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Senin (5/2) malam, tempat penyelenggaraan acara Ziarah Budaya Sewindu Haul Gus Dur. Lebih dari seribu orang menghadiri acara yang diadakan untuk memperingati sewindu atau delapan tahun meninggalnya Gus Dur.
Bukan sebuah kebetulan, jika Sanata Dharma, sebuah universitas Katolik, menjadi tempat berkumandang syiir itu. Sebagai bapak bangsa yang mengajarkan pentingnya keberagaman, wajar jika Sanata Dharma merasa perlu terlibat dalam peringatan itu.
Syiir adalah puisi berirama yang dinyanyikan. Isinya adalah petuah kehidupan. Syiir Tanpo Waton ditulis oleh Gus Dur dalam bahasa Jawa, dan seolah menjadi sari pati ajarannya. Gus Dur mengajak umat belajar agama hingga ke hakikat, dan tidak sekadar pandai membaca kitab suci. Gus Dur meminta umat tidak memiliki rasa dengki, hidup rukun, dan tidak mudah mengkafirkan sesama.
Karena pendiriannya itulah, kata Rektor Sanata Dharma, Johanes Eka Priyatma, Gus Dur dikenang sebagai pejuang kebhinekaan. Gus Dur terus membimbing Indonesia agar setia pada jati diri sebagai bangsa yang beragam. Bhinneka Tunggal Ika, ujar Eka, adalah kata suci bagi Gus Dur.
Sayangnya, kini Indonesia sarat politik kepentingan sesaat, yang diwarnai perebutan kekuasaan politik dan kepentingan demi uang. Di saat inilah, Indonesia menunggu kelahiran generasi Gus Dur yang baru.
“Hari ini kita bersyukur karena punya kesempatan emas, bukan hanya untuk mengenang Gus Dur yang merupakan guru, bapak dan teladan bangsa, tetapi juga memiliki kesempatan untuk saling memikirkan dan menularkan semangat juang Gus Dur,” kata Johanes.
“Gus Dur pun akan bahagia kalau sebagian besar dari kita, terutama anak muda, berani menjadi Gus Dur muda untuk zaman ini. Kita semua merindukan Gus Dur muda yang dengan gagah berani mengambil sikap tegas tanpa kompromi,” kata Johanes menambahkan.
Acara itu menampilkan berbagai hiburan, mulai dari tari tradisional dari berbagai daerah, pertunjukan lawak, hingga doa bersama lintas agama. Kenangan atas Gus Dur itu dikemas dalam acara yang menggembirakan, tetapi tanpa melupakan ajaran Gus Dur yang dihadirkan melalui cerita orang-orang yang mengenalnya.
Mahfud MD, mantan menteri ketika Gus Dur menjadi presiden dan salah satu orang dekatnya, bercerita berbagai peristiwa yang dia lalui bersama Gus Dur. Peristiwa-peristiwa di mana Gus Dur secara langsung atau tidak langsung menyampaikan ajarannya. Misalnya soal pluralisme, kata Mahfud, yang diibaratkan Gus Dur sebagai tinggal di rumah besar dengan banyak kamar.
Gus Dur mengibaratkan setiap kamar digambarkan dihuni oleh pemeluk masing-masing agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Di kamar itu, ujar Mahfud, setiap orang bebas bertindak sesuai aturan kamar masing-masing. Namun, begitu keluar dari kamar dan berkumpul di ruang keluarga, semua harus tunduk pada kesepakatan bersama.Indonesia adalah ruang besar itu, yang telah dibentuk oleh pendahulu bangsa dengan kebesaran hati. Indonesia tidak bisa diubah tata kehidupannya dengan aturan dari satu kamar saja.
“Ada kamar Islam, kamar Hindu, kamar Katolik, kamar Kejawen, biarkan saja. Tetapi ketika kita ketemu di lapangan perjuangan, politik, kenegaraan bernama Indonesia, kita harus bersama. Itulah yang disebut Gus Dur sebagai pluralisme,” kata Mahfud.
Mahfud juga mengenang Gus Dur sebagai pribadi yang tegas. Jika dia menganggap pilihan langkahnya benar, maka Gus Dur akan memperjuangkan itu apapun risikonya. Tidak hanya dalam kehidupan sosial beragama di Indonesia, namun juga dalam ranah politik. Sikap itu lah yang membuat Gus Dur jatuh di tengah masa kepresidenannya.
Mahfud bercerita ketika masyarakat ramai soal Masjid Ahmadiyah di Bogor, yang dirusak, Gus Dur mendatangi orang-orang yang melakukan perusakan dan memarahi mereka. Walau tindakan Gus Dur memicu kemarahan FPI, beliau tetap tenang, kenang Mahfud.
“Waktu dia menjadi presiden, kalau dia mau bicara, ya dia tidak menghitung resiko politiknya, dia dimarahi, dimusuhi, dijatuhkan, nggak apa-apa. Karena saya, kata Gus Dur, bicara benar,” kenang Mahfud
Tentu saja, tidak ada yang lebih memahami Gus Dur dibanding istrinya, Sinta Nuriyah Wahid. Perempuan yang dinikahi Gus Dur pada 11 Juli 1968 itu memahami betul, hidup Gus Dur telah dihabiskan untuk merawat kebhinekaan di Indonesia.
“Dalam upaya untuk merajut, merawat dan menjaga berbagai macam kebudayaan, Gus Dur melakukannya dengan dialog, interaksi, komunikasi secara intens baik secara verbal dalam forum-forum maupun tulisan di media massa dan buku-buku. Gus Dur juga melakukannya melalui laku hidupnya sendiri,” kata Sinta Nuriyah di depan hadirin.
Sinta Nuriyah, yang bersama Gus Dur membesarkan empat anak, menilai salah satu yang menarik dari Gus Dur adalah kemampuannya untuk mendamaikan perbedaan. Juga kesabaran Gus Dur merawat dan melayani berbagai ragam perbedaan kebudayaan yang ada di Indonesia. Upaya itu dilakukan tidak hanya untuk kebudayaan besar dan mayoritas, namun juga bagi ke budaya kelompok minoritas dan bahkan yang sudah tersingkirkan.
“Sebagian besar hidup Gus Dur diabdikan untuk merajut sekaligus merawat dan menjaga perbedaan kebudayaan yang ada di Indonesia. Karena bagi Gus Dur kebudayaan merupakan cermin dasar dari kemanusiaan. Artinya manusia akan bisa menegakkan harkat dan martabatnya kalau dia masih berkebudayaan,” kata Sinta Nuriyah.
Rangkaian acara peringatan sewindu haul Gus Dur sudah diselenggarakan sejak awal Januari lalu. Secara keseluruhan, ada 66 lokasi peringatan di seluruh Indonesia dengan beragam kegiatan keagamaan maupun kebudayaan. Ziarah Budaya ini adalah puncak peringatan, dan diharapkan menjadi tonggak mengenang Gus Dur dan semangatnya merawat kebhinekaan di Indonesia.