Tautan-tautan Akses

Cek Fakta: Junta Militer Myanmar Gembar-gemborkan Hak Palsu Sementara Pengadilan Militer Putuskan Hukuman Mati


Tenaga kerja migran Myanmar menginjak poster anggota junta militer Myanmar saat protes menentang kudeta militer dan menuntut dikembalikannya demokrasi, di Bangkok, Thailand, 1 Mei 2022. (REUTERS/Soe Zeya Tun)
Tenaga kerja migran Myanmar menginjak poster anggota junta militer Myanmar saat protes menentang kudeta militer dan menuntut dikembalikannya demokrasi, di Bangkok, Thailand, 1 Mei 2022. (REUTERS/Soe Zeya Tun)
Kementerian Luar Negeri Myanmar

Kementerian Luar Negeri Myanmar

Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan berhak mendapatkan perlindungan hak dan kebebasan fundamentalnya.

Salah

Pada 3 Juni, pengadilan yang dikendalikan militer Myanmar menolak banding yang diajukan mantan anggota parlemen Phyo Zeya Thaw dan aktivis demokrasi terkemuka Kyaw Min Yu (alias Ko Jimmy) untuk membatalkan hukuman mati mereka.

Phyo Zeya Thaw adalah anggota partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang digulingkan. Partai Liga Nasional untuk Demokrasi dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Ko Jimmy adalah pemimpin Kelompok Pelajar Generasi 88, yang pada tahun 1988 ikut ambil bagian dalam upaya mengakhiri kekuasaan militer di negara itu, namun gagal.

Kedua pria itu didakwa dengan tuduhan terorisme, dan pengadilan militer menjatuhkan hukuman mati pada mereka pada bulan Januari. Mereka dituduh, antara lain, mengoordinasikan serangan terhadap pasukan rezim.

Eksekusi di Myanmar biasanya terjadi dalam waktu 45 hari setelah pengadilan menjatuhkan hukuman mati, kata seorang pengacara veteran kepada Radio Free Asia, yang tidak mau disebut namanya.

Jika dilakukan, eksekusi tersebut akan menjadi yang pertama di Myanmar sejak 1970-an.

Kedutaan Besar AS di Myanmar mengeluarkan pernyataan yang mengatakan, “Amerika Serikat mengutuk keras rencana rezim militer Burma untuk mengeksekusi para pemimpin pro-demokrasi dan oposisi, yang menunjukkan rezim tersebut mengabaikan hak asasi manusia dan supremasi hukum.”

Negara-negara Barat lainnya mengeluarkan pernyataan serupa, dan mendapatkan bantahan dari Kementerian Luar Negeri Myanmar, yang mengklaim kedua pria itu “dihukum karena mendalangi kekerasan dan menghasut warga sipil yang tidak bersalah untuk melakukan kekerasan.”

Kementerian Luar Negeri Myanmar mengatakan "pernyataan tidak bertanggung jawab" dari Amerika Serikat, Prancis dan Uni Eropa mengenai hukuman tersebut "telah meningkatkan kekerasan" di Myanmar, dan menambahkan bahwa kedua pria itu telah melalui proses peradilan yang adil.

“Myanmar adalah negara yang merdeka dan berdaulat,” kata Kementerian Luar Negeri Myanmar. “Myanmar punya hak penuh untuk menjalankan otoritas konstitusionalnya. Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan berhak mendapatkan perlindungan hak dan kebebasan fundamentalnya. Myanmar menegaskan kembali bahwa peradilan di Myanmar independen dan menerapkan hukum yang sama untuk semua orang.”

Singkatnya, pernyataan itu salah. Faktanya, junta mengadili mereka di pengadilan militer tertutup, dengan proses yang tidak independen dan tidak terbuka untuk publik.

Warga Myanmar di New Delhi, India, memegang poster dalam sebuah protes menentang kudeta militer di Myanmar pada 22 Februari 2022. (Anushree Fadnavis/Reuters)
Warga Myanmar di New Delhi, India, memegang poster dalam sebuah protes menentang kudeta militer di Myanmar pada 22 Februari 2022. (Anushree Fadnavis/Reuters)

Banyak pengamat mengatakan bahwa supremasi hukum dan independensi peradilan tidak ada lagi di Myanmar sejak militer merebut kekuasaan pada Februari 2021. Perebutan kekuasaan itu berlangsung setelah partai yang dipimpin partai Suu Kyi memenangkan mayoritas parlemen dalam pemilu dan diperkirakan akan mengendalikan pemerintahan.

International Commission of Jurists (ICJ), kelompok yang terdiri dari hakim yang mengadvokasi supremasi hukum di seluruh dunia, berbagai kelompok hak asasi manusia dan sekretaris jenderal PBB adalah beberapa yang mengkritik junta.

Setelah hukuman mati untuk Phyo Zeya Thaw dan Ko Jimmy diputuskan, 199 organisasi masyarakat sipil serta LSM internasional dan lokal mengeluarkan pernyataan yang mengutuk perintah eksekusi tersebut.

Min Lwin Oo, seorang ahli hukum Myanmar yang berbasis di Norwegia, mengatakan mereka tidak mendapatkan proses persidangan yang adil.

“Pertama-tama, ini bukan persidangan yang adil karena [mereka] kehilangan hak hukum mereka untuk membela diri di pengadilan militer. [Mereka] juga kehilangan hak merekauntuk mendapatkan bantuan hukum selama proses banding,” kata Min Lwin Oo, kepada Voice of America bahasa Burma.

“Biasanya, proses banding untuk hukuman mati memakan waktu sekitar tiga hingga lima tahun melalui pengadilan yang berbeda dan dibutuhkan setidaknya empat hingga lima tahun untuk sampai ke pemimpin negara. Tetapi proses yang sangat cepat seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya.”

Nasib Phyo Zeya Thaw dan Ko Jimmy mengikuti pola yang sudah ada.

Pada hari yang sama ketika hukuman mati mereka diputuskan, dua pria lainnya diadili dan dijatuhi hukuman mati karena diduga membunuh seorang informan junta di Yangon.

Amnesty International dalam sebuah laporan yang dirilis pada 24 Mei menyebutkan bahwa telah terjadi “peningkatan penerapan hukuman mati yang mengkhawatirkan” di Myanmar sejak hukum darurat militer diberlakukan pada 15 Maret 2021.

Di bawah hukum darurat militer, warga sipil, termasuk pengunjuk rasa damai dan jurnalis, diadili di pengadilan militer.

Menurut kelompok hak asasi manusia yang berbasis di London, hampir 90 orang “dihukum mati secara sewenang-wenang” di Myanmar pada tahun 2021, “beberapa di antaranya diputuskan tanpa kehadiran terdakwa, yang dianggap sebagai cara untuk menargetkan lawan politik dan demonstran.”

Voice of America bahasa Burma melaporkan 113 orang telah menerima hukuman mati sejak kudeta karena diduga berperan dalam perlawanan bersenjata terhadap rezim militer.

Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York telah mendokumentasikan “sejarah panjang pengadilan militer di Myanmar yang meresahkan”. HRW mengatakan “aturan pembuktian dan prosedur yang berlaku di pengadilan sipil tidak berlaku” pada persidangan sebelumnya, yang “dilakukan secara tertutup.”

“Mereka yang diadili di pengadilan militer sudah hampir pasti akan divonis, terlepas dari validitas tuduhan terhadap mereka, dan persidangan diadakan di luar pengawasan publik ataupun komunitas internasional,” tulis HRW, menambahkan bahwa pengadilan militer sering kali mengeluarkan “hukuman yang jauh lebih berat” daripada pengadilan sipil.

HRW lebih lanjut mencatat bahwa pemimpin militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, “yang telah diberi sanksi oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, dan lainnya karena keterlibatannya dalam pelanggaran hak asasi manusia yang serius,” memiliki keputusan akhir untuk melaksanakan hukuman mati.

Pada bulan Februari, ICJ mengatakan “tidak ada aturan hukum atau independensi peradilan” di Myanmar pasca kudeta.

“Berdasarkan pemantauan ketat ICJ terhadap situasi dari dalam dan luar Myanmar, sekarang jelas tidak ada jalur hukum yang kredibel bagi ribuan orang di Myanmar yang telah menjadi sasaran penahanan sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan perlakuan buruk, pembunuhan, dan pemindahan paksa,” kata ICJ.

Ia menambahkan bahwa “peradilan sangat tunduk pada militer.”

ICJ mendokumentasikan berbagai pelanggaran, termasuk “penangguhan komprehensif habeas corpus dan perlindungan hukum hak asasi manusia lainnya,” dan “penyalahgunaan pengadilan militer, termasuk untuk mengadili warga sipil.” Persidangan itu sering kali menghasilkan ”keputusan hukuman mati atau hukuman penjara yang lama dengan kerja paksa.”

PBB juga ikut mengomentari putusan banding terhadap Phyo Zeya Thaw dan Ko Jimmy.

“Kami sangat khawatir dengan keputusan militer Myanmar untuk melanjutkan eksekusi dua aktivis pro-demokrasi setelah mereka menerima hukuman mati. Ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan seseorang sesuai dengan Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,” kata Stephane Dujarric, juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.

Asosiasi Bantuan Tahanan Politik nirlaba Myanmar mengatakan 1.909 orang telah dibunuh oleh militer sejak kudeta. Kelompok itu memperkirakan 14.046 orang telah ditangkap, dan 10.989 masih ditahan.

Myanmar saat ini terlibat dalam perang saudara. Rezim militer memerangi banyak kelompok etnis bersenjata dan Pasukan Pertahanan Rakyat – pasukan bersenjata Pemerintah Persatuan Nasional atau pemerintah di pengasingan.

Dewan Administrasi Negara atau junta militer bersikeras mempertahankan legitimasinya, meskipun merebut kekuasaan dari pemerintah yang dipilih secara demokratis. Junta bahkan menyangkal pemerintahannya sebagai “pemerintahan militer,” meskipun diketuai oleh Min Aung Hlaing, yang menggagas kudeta.

Junta militer menyebut dirinya sebagai kekuatan untuk mempertahankan stabilitas dalam perang melawan teroris. Junta militer menjustifikasi perebutan kekuasaannya melalui tuduhan adanya kecurangan dalam pemilu yang tidak berdasar dalam pemilihan parlemen di akhir tahun 2020.

Junta mengatakan pemilihan akan diadakan jika negara itu sudah damai dan stabil.

Padahal, keputusan militer untuk menggunakan kekuatan dalam membubarkan protes nasional yang damai terkait kudeta lah yang membuat orang mengangkat senjata.

XS
SM
MD
LG