Tautan-tautan Akses

Jerawat Terkait Dengan Peningkatan Risiko Depresi


Seorang perempuan sedang membantu pacarnya memencet jerawat di sebuah jalan di Shanghai, 24 April 2012.
Seorang perempuan sedang membantu pacarnya memencet jerawat di sebuah jalan di Shanghai, 24 April 2012.

Pada tahun pertama setelah dokter memberitahu pasien mengenai kulit berjerawat, risiko para pasien untuk didiagnosis dengan gangguan depresi parah naik hingga 60 persen, dibandingkan dengan populasi umum, sebuah studi menunjukkan.

Dokter kulit dan dokter spesialis lain yang merawat penderita jerawat juga harus memperhatikan gejala-gejala suasana hati pasien. Para dokter harus memutuskan apakah memulai perawatan atau memberikan rujukan konsultasi psikologis, bila terlihat tanda-tanda depresi, kata para penulis pada British Journal of Dermatology.

"Ide untuk studi ini berasal dari studi kami lainnya yang baru saja dipublikasikan. Studi itu meneliti beberapa efek obat jerawat jenis isotretinoin (Accutane). Selama beberapa tahun, telah ada beberapa laporan bahwa isotretinoin (Accutane) dihubungkan dengan berbagai gangguan psikiatrik,” kata penulis utama, Isabelle Vallerand, kepada Reuters Health melalui email.

“Dalam ulasan sistematis kami yang baru saja dipublikasikan tidak menemukan peningkat risiko gangguan-gangguan psikiatrik di kalangan orang-orang yang diobati dengan isotretinoin, namun kami ingin tahu bila jerawat kemungkinan menambah masalah kejiwaan,” kata Vallerand, seorang peneliti dari Departemen Imu Kesehatan Masyarakant di Fakultas Kedokteran Cumming, Universitas Calgary, Kanada.

Jerawat adalah gangguan pada kulit yang paling umum di Amerika, termasuk komedo, bintil, dan kista yang biasanya tumbuh di wajah, bahu, punggung, dada dan tangan bagian atas. Riset-riset sebelumnya menemukan bahwa dua pertiga pasien dengan keluhan jerawat adalah orang dewasa, bukan remaja, dan depresi umum ditemukan. Sekitar 10 persen pasien perempuan dengan keluhan jerawat juga mengalami beberapa gejala depresi.

Baca: WHO: Mayoritas Penderita Depresi Tak Dapat Perawatan Memadai

Meski memang dipahami bahwa jerawat bisa menimbulkan efek negatif pada suasana hati, kata Vallerand, tim peneliti ingin meneliti apakah memang ada peningkatan risiko “depresi klinis yang sebenarnya.”

Dengan menggunakan data catatan kesehatan Inggris yang besar, mereka menganalisa informasi pasien berusia 7-50 tahun, memfokusikan pada 134.437 orang dengan diagnosis baru jerawat dan 1.731.608 pasien yang sama tanpa jerawat.

Setelah mengikut kedua kelompok selama 15 tahun, para peneliti menemukan bahwa diantara pasien berjerawat, kemungkinan terkena gangguan depresi berat adalah 18.5 persen. Sedangkan populasi umum adalah 12 persen. Risiko paling tinggi terjadi di tahun pertama setelah diagnosis baru jerawat dan kemudian berkurang, kata para penulis itu mencatat.

“Kami menemukan bahwa jerawat meningkatkan risiko berkembang menjadi depresi klinis sebanyak 63 persen pada tahun pertama, setelah diagnosis kulit berjerawat dan risiko ini tetap meningkat selama 5 tahu setelah diagnosis awal jerawat,” kata Vallerand.

Seorang dokter kulit sedang menyuntik jerawat seorang klien di klinik perawatan kulit, di sebuah mall di Quezon City, Metro Manila, 22 Mei 2013.
Seorang dokter kulit sedang menyuntik jerawat seorang klien di klinik perawatan kulit, di sebuah mall di Quezon City, Metro Manila, 22 Mei 2013.

Secara keseluruhan, penderita jerawat memiliki risiko depresi berat lebih tinggi 46 persen, dibandingkan dengan gurp pembanding. Jumlah penderita jerawat perempuan lebih banyak daripada laki-laki, dan perempuan cenderung terkena depresi.

Para penulis tidak memiliki pengetahuan mengenai tingkat keparahan jerawat para penderita, tapi mereka berspekulasi semakin parah jerawat yang diderita, semakin meningkatkan risiko depresi.

Baca: Gunungkidul dan Bunuh Diri: Antara Mitos dan Depresi

“Meski sudah bertahun-tahun diketahui bahwa orang-orang yang berjerawat mungkin punya suasana hati yang kurang baik akibat kondisi kulit mereka, ini studi pertama yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa jerawat tidak sekedar penyakit kulit. Jerawat punya dampak penting pada kesehatan jiwa, dalam bentuk depresi klinis,” kata Vallerand.

“Kami merasa para tenaga kesahan yang menangani pasien berjerawat harus paham bahwa jerawat adalah faktor risiko untuk berkembang menjadi gangguan depresi berat dan mereka harus memberikan semangat kepada pasien yang menderita jerawat agar tidak sungkan memberitahu masalah kejiwaan kepada para dokter, karena hal ini harus ditanggapi dengan serius.”

Para dokter yang merawat pasien dengan kondisi kulit berjerawat harus membantu memberikan intervensi kesehatan mental kepada para pasien yang menderita depresi, bila diperlukan, Vallerand menambahkan. [fw/au]

XS
SM
MD
LG