Ibu Andini, warga Bondolharjo, Banjarnegara di Jawa Tengah paham betul bagaimana posisi perempuan korban kekerasan di sekitar tempat tinggalnya. Sudah menjadi semacam tradisi untuk menutupi tindakan kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak. Jika pun ada upaya untuk melaporkan ke aparat desa, tujuannya justru untuk melakukan perdamaian.
“Karena di sini, kalau ada masalah seperti itu, seperti kekerasan para perempuan, itu kan dibilang sebagai aib. Jadi, kalaupun dari korban itu ada yang meminta pertolongan kepada perangkat desa, itu juga dilakukan secara diam-diam. Dan jika memang mereka maunya itu berdamai, ya perangkat desa melakukan mediasi untuk menjembatan permasalahan itu, sehingga masalah itu tidak sampai tersebar keluar," ujarnya.
Kondisi ini tentu tidak ideal, apalagi di banyak kawasan pedesaan Banjarnegara yang jauh dari pusat kota. Akses terhadap bantuan hukum sangat kurang, dan kesadaran untuk memperkarakan tindakan kekerasan masih belum ada.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mitra Wacana Women Crisis Centre berupaya merubah kondisi itu. Caranya dengan melakukan pelatihan kesadaran hukum, dimana Ibu Andini menjadi salah satu pesertanya. Tujuannya adalah menciptakan peraturan desa yang melindungi perempuan dan anak korban kekerasan.
Eka Septi Wulandari, manajer program Mitra Wacana di Banjarnegara kepada VOA mengatakan, program ini mendorong masyarakat membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Desa.
“Kita memang masih menggali potensi masalah yang ada, kemudian apa saja yang perlu untuk dimasukkan dalam pasal-pasal dan diatur dalam Peraturan Desa. Sebagai contoh, adalah adanya ketetapan jika ada korban kekerasan di desa, itu bagaimana pola penanganannya. Kita mendorong semua itu masuk dalam pasal-pasal Peraturan Desa. Selain itu, tentu kita mendorong lahirnya PPT Desa," ujarnya.
Pusat Pelayanan Terpadu Desa ini penting karena banyak kasus di Banjarnegara tak tertangani dengan baik. Layanan terpadu ini mengumpulkan peran tokoh masyarakat, mulai aparat desa, polisi, pemuka agama dan aktivis perempuan desa.
Desa bahkan didorong agar menggunakan sebagian dana yang dimiliki untuk menjalankan lembaga pelayanan yang paling dekat dengan masyarakat ini. Tujuannya adalah menekan aksi kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus terjadi.
“Di Banjarnegara itu ada banyak kasus. Yang terakhir ada gadis yang disekap selama lima hari di hutan. Kemudian ada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dimana perempuan tidak diberi nafkah oleh suaminya, sampai ditemukan pingsan di tengah hutan. Kasus ini seringkali terjadi di desa-desa yang ada di pedalaman, di gunung-gunung yang lokasinya jauh," katanya.
Salri Zulhendra, pegiat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang turut mengisi pelatihan mengaku langkah ini tidak akan mudah. Ada kendala budaya yang harus dihadapi, dimana masyarakat punya cara sendiri untuk menyelesaikan tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Cara ini sudah dipraktekkan bertahun-tahun. Buruknya, kata Salri, masyarakat kurang memahami bahwa cara kekeluargaan semacam itu justru menyuburkan tindakan kekerasan.
“Ini semua butuh penyesuaian-penyesuaian. Cara penyelesaian yang dipakai oleh masyarakat selama ini, itu sebenarnya juga tidak murni muncul dari masyarakat. Justru cara penyelesaian secara kekeluargaan itu, inisiatifnya lebih banyak muncul dari perangkat desa atau polisi di sektor kecamatan. Yang namanya masyarakat desa itu, ya sudah, kalau pamong desa sudah bicara, polisi sudah bicara, ya mereka tidak bisa menolak," katanya.
Salri menambahkan, dorongan agar masyarakat menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak lewat jalur hukum tidak bisa menuai hasil secara cepat. Selain langsung ke masyarakat, kesadaran juga harus dimiliki perangkat desa dan aparat kepolisian. Tindakan penyelesaian yang mendukung korban, dalam hal ini perempuan dan anak, harus diambil dengan tetap melindungi mereka agar terhindar dari kemungkinan tuduhan mengumbar aib keluarga.