Selama menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 2019-2020, Indonesia sudah satu kali kebagian menjadi Presiden Dewan Keamanan yakni selama Mei 2019. Indonesia akan mendapat giliran lagi menjadi Presiden Dewan Keamanan pada Agustus 2020.
Salah satu isu utama yang menjadi fokus selama Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan adalah reformasi di lembaga internasional berpengaruh itu.
Dalam media gathering di Jakarta, Senin (16/12), Direktur Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian Alphyanto Ruddyard menegaskan Indonesia akan terus mendorong dilakukannya reformasi Dewan Keamanan.
Ruddyard menambahkan bahwa arsitektur Dewan Keamanan merupakan bentukan 1945 dan sudah berpuluh tahun karena itu harus ada reformasi. Semua organisasi internasional mengalami proses reformasi, demikian pula dengan Dewan Keamanan yang mesti melakoni proses serupa.
Menurut Ruddyard, proses ke arah reformasi Dewan Keamanan sudah berjalan dan negosiasinya mulai akan berlangsung. Dia mengatakan selama menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan, Indonesia mempunyai kewajiban moral lebih besar untuk dapat mendorong terjadinya reformasi di lembaga tersebut. Proses reformasi Dewan Keamanan dilakukan atas persetujuan lima anggota tetap, yakni Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, dan Cina.
Ada lima hal yang menjadi inti dari reformasi Dewan Keamanan, yaitu mengenai status keanggotaan. Kategori ini akan membahas siapa yang menjadi anggota permanen dan siapa menjadi anggota tidak tetap. Kemudian soal perwakilan dari masing-masing kawasan. Akan dibahas mengenai berapa jumlah sebaiknya dari masing-masing kawasan.
Poin ketiga adalah tentang hak veto dan hubungan kerja sama. Apakah kalau ada anggota tetap yang baru juga akan mendapat hak veto atau tidak. Juga soal bagaimana hubungan kerja antara Dewan Keamanan dengan Majelis Umum. Selama ini, kalau ada isu yang tengah oleh Dewan Keamanan, isu tersebut tidak boleh dibahas dalam Majelis Umum. Hal kelima adalah mengenai berapa jumlah anggota Dewan Keamanan.
"Kalau dari analisa kita, dari semua paket yang lima ini, penghambatnya satu atau mungkin dua, yaitu mengenai apakah anggota tetap (Dewan Keamanan) ditambah atau tidak. Ini yang membelah betul negosiasi. Yang kedua terkait dengan masalah veto," kata Ruddyard.
Ia tidak bisa memastikan kapan lima poin paket reformasi Dewan Keamanan tersebut bisa terwujud.
Reformasi DK PBB Sejalan dengan Amanat Konstitusi Indonesia
Dihubungi melalui telepon, pengamat hubungan internasional di Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah menjelaskan semangat untuk mereformasi Dewan Keamanan sejalan dengan amanat konstitusi, yakni ikut membantu menciptakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi. Sebab sistem berlaku di Dewan Keamanan selama ini tidak membantu ke arah sana di mana lima negara anggota tetap berlebihan menggunakan hak vetonya.
"Sudah tiba saatnya reformasi karena struktur yang ada sekarang adalah struktur yang dibuat pasca Perang Dunia Kedua tahun 1945, sudah lebih dari 70 tahun silam. Padahal dunia saat ini sudah berada pada suatu lingkungan yang sangat berbeda. Kalau dulu lingkungannya masih suasana perang, sekarang lingkungannya bukan perang, tetapi kerja sama dan kompetisi," ujar Rezasyah.
Rezasyah menambahkan Indonesia sudah sejak 1990-an melakukan studi mengenai reformasi Dewan Keamanan PBB. Badan Pengkajian dan pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri sudah mensosialisasikan ide ini di dalam negeri, yaitu struktur hak veto sudah tidak demokratis lagi karena negara-negara sudah berkembang semakin maju dan struktur Dewan Keamanan tidak mewakili peradaban di luar Eropa dan China.
Struktur Dewan Keamanan yang ada sekarang, lanjutnya, tidak memperhatikan negara-negara berdasarkan luas wilayah, pembangunan demokrasi yang sejalan dengan nilai-nilai tradisional, dan tidak memperhatikan potensi negara-negara yang sudah menolak perang, seperti Jepang dan Jerman.
Terait hak veto, Rezasyah mengakui sangat sulit untuk menghapus hak veto yang selama ini dimiliki oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan. Dia mengusulkan agar Indonesia membawa gagasan menambah formasi hak veto berdasarkan keanggotaan baru yang dipilih berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, peradaban, demokrasi, pembangunan di dunia. Sehingga Indonesia, Jepang, Australia, Jerman, dan Brasil bisa mendapat giliran mendapat hak veto [fw/em]