Ini adalah pengalaman Ramadan pertama bagi Iss Savitri Hafid di kantor pusat IMF di Washington DC. Di sini, wanita berjilbab asal Indonesia ini menjabat sebagai penasehat pada Kantor Direktur Eksekutif IMF.
Jumlah pegawai muslim di kantor pusat IMF kecil saja, kurang dari 10 persen dari sekitar 3.000 pegawai. Jumlah pegawai yang memakai jilbab pun bisa dihitung dengan jari. Meski demikian, Iss, yang sebelumnya bekerja di Bank Indonesia di Jakarta, tidak merasa kesulitan atau canggung berpuasa di lingkungan kerjanya sekarang.
Pasalnya, Divisi Diversity, unit yang mempromosikan keberagaman, di IMF mendorong pemahaman mengenai Ramadan kepada seluruh pegawai, dengan menyebarkan pamflet berisikan informasi tentang bulan suci tersebut.
Menurut Iss, pamflet itu membantu menciptakan iklim toleransi. Contohnya, dalam pelaksanaan rapat, atasan atau rekan kerja yang non-muslim akan maklum bila pegawai yang beragama Islam minta jadwal rapat di luar jam makan siang. Bahkan, pegawai non-muslim akan berusaha tidak makan di depan rekan kerjanya yang sedang berpuasa.
Iss mengatakan, “Di kantor ini, kita mempromosikan keberagaman, memahami perbedaan, jadi mereka ada flyer, memberi tahu kepada karyawan bahwa ini sedang Ramadan, jadi yang Muslim pasti akan puasa, jadi kalau ada rapat yang melibatkan mereka, jangan menyajikan makanan atau minimal tidak terlalu menunjukkan di depan mereka,”
Pamflet tentang Ramadan dibuat setebal 3 halaman oleh Divisi Diversity dan Komunitas Arab IMF. Pamflet itu juga berisi anjuran untuk memberi waktu istirahat selama 10 menit pada saat matahari terbenam untuk berbuka puasa dan sholat. Bahkan, ada juga anjuran untuk memberi dispensasi bila ada pegawai muslim yang hendak mengambil cuti untuk libur Idul Fitri.
Akan tetapi, kelonggaran waktu 10 menit untuk berbuka puasa sepertinya tidak memuaskan bagi Abdel-Rahman Zeiad, pegawai asal Mesir yang telah bekerja di kantor pusat IMF selama 2 tahun. Ia merindukan kebijakan jam kerja yang diperpendek selama Ramadan di tempat kerja sebelumnya di Mesir.
Ia mengatakan, “Mesir memotong jam kerja sebanyak 3 jam. Misalnya Anda datang telat satu jam dari biasanya, dan Anda pulang kerja 1,5 sampai dua jam lebih awal dari biasanya.”
Kurangnya fleksibilitas jam kerja juga dirasakan Sri Mulyani Indrawati, Direktur Pelaksana Bank Dunia yang pernah menjabat Menteri Keuangan Indonesia. Kondisi ini, ditambah dengan waktu berpuasa rata-rata 16 jam tiap hari di musim panas, dianggapnya sebagai tantangan paling berat. Meski demikian, Sri Mulyani melihat sisi positif bulan Ramadan di Washington DC, meskipun pada saat yang sama ia juga merindukan suasana bulan Ramadan di Indonesia.
“Di Washington tidak macet jadi masih bisa pulang pada saat buka puasa. Bahkan bisa terkontrol dengan aktivitas sesudah kantor kalau dibandingkan dengan di Indonesia yang mungkin kesibukannya jauh lebih tinggi. Yang dirindukan adalah buka puasa bersama, azan, mungkin kalau sahur di Indonesia banyak acara TV,” ujarnya.