Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perubahan cukup signifikan dalam pola gerakan organisasi yang membawa ideologi transnasional. Menyadari bahwa ide-ide yang mereka usung memiliki jarak dengan masyarakat Indonesia, gerakan tersebut kini mencoba mencari konteks lokal. Peneliti Australian Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) Jordan Newton memaparkan hal itu dalam forum AICONICS, Selasa (21/10).
“Mereka memahami bahwa mereka telah dilihat sebagai ajaran dari luar, membawa ideologi asing atau ideologi transnasional. Jadi, mereka melakukan upaya lebih jauh untuk membawa ideologi itu dalam konteks Indonesia, dan menjadikannya lebih mudah dipahami oleh muslim Indonesia,” kata Jordan.
AICONICS adalah Adab-International Conference on Information and Cultural Sciences, yang diselenggarakan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tahun ini menjadi gelaran kedua seri konferensi tersebut, dan berlangsung pada 19-22 Oktober 2020.
Dalam paparannya, Jordan mengambil salah satu upaya gerakan ideologi transnasional untuk lebih mendekat ke masyarakat Indonesia, misalnya melalui film. Belum lama ini, film "Jejak Khilafah di Nusantara" dirilis dan memperoleh perhatian cukup baik dari masyarakat.
“Film ini menerima perhatian besar dari mereka yang bersimpati kepada Hizbut Tahrir Indonesia, dan dia berupaya menjelaskan konsep mengenai khilafah yang terdengar begitu asing dan menakutkan bagi kebanyakan muslim Indonesia. Mereka berupaya membuat orang Indonesia lebih bersimpati kepada ide mengenai khilafah,” lanjut Jordan.
Sejumlah penyesuaian juga dilakukan gerakan ini, misalnya penggunaan simbol seperti bendera Indonesia, slogan NKRI bersyariah, hingga perhatian pada Pancasila dengan pemusatan ide hanya pada sila pertama. Mereka, kata Jordan, mengadaptasi pesan aktivitasnya, agar lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
Satu Ideologi Beragam Wajah
Ideologi transnasional Islam, menurut Jordan, terinspirasi oleh konteks peristiwa di luar negeri. Ikhwanul Muslimin adalah gerakan pascakolonialisme di Mesir. Sedangkan Hizbut Tahrir dibentuk oleh komunitas pengungsi Palestina di Yordania. Kelompok Al Qaida atau ISIS didorong oleh adanya monarki dan pemerintah sekuler di Timur Tengah. Mereka mengkampanyekan keemasan masa lalu dunia Islam, sebagai solusi persoalan muslim saat ini.
Di Indonesia, ideologi ini diekspresikan dalam tiga model oleh penganutnya. Pertama adalah jaringan teroris yang melakukan aksi kekerasan. Jumlah mereka sangat sedikit dengan sumber inspirasi seperti Al Qaida, ISIS dan Darul Islam. Bentuk kedua adalah gerakan tanpa kekerasan, yang memiliki basis massa cukup besar dan sebagian ada di parlemen. Inspirasi mereka adalah Ikhawanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Sedangkan format ketiga, adalah gerakan nirkekerasan konservatif sosial, yang mempromosikan kembali nilai-nilai konservatif ke dalam masyarakat. Mereka adalah Salafi dan Wahabi.
Bagi Indonesia, lanjut Jordan, tantangan dari ketiganya datang dalam bentuk beragam. Teroris melakukan aksi kekerasan, kelompok kedua melakukan gerakan massa dan kelompok ketiga mengkampanyekan gaya hidup konservatif yang makin menarik bagi kalangan muda di Indonesia, dan populer dengan istilah hijrah.
Beberapa langkah dilakukan Indonesia sejauh ini, seperti pembubaran HTI tahun 2017, tuntutan hukum bagi tokoh tertentu, hingga penyaringan ideologi untuk mereka yang ingin menjadi PNS. Sementara di tingkat bawah, ada tindakan main hakim sendiri dari masyarakat berupa pembubaran pengajian dan penyebaran hoax mengenai kelompok-kelompok itu.
Jalan Tengah Muslim Indonesia.
Cendekiawan muslim, Prof Azyumardi Azra, menyebut muslim Indonesia sebenarnya sejak awal sudah selalu mengambil jalan tengah. Mayoritas tidak bersimpati kepada teologi literal yang kaku, tetapi juga tidak bisa menerima teologi liberal di sisi lain. Karena itulah, lanjut akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, mazhab Syafii adalah yang paling populer dibanding mazhab lain di Indonesia.
Bentuk sikap memilih jalan tengah itu, lanjut Azra, juga terlihat dari naiknya pamor Islam wasathiyah atau moderat. Modernisasi itu semakin terlihat pada awal abad 20, dengan perkembangan organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan sejumlah organisasi Islam lain.
“Muslim Indonesia sejak abad 17 selalu ada di tengah. Itulah mengapa sejak awal pengembangan Islam sampai sekarang, mereka mengikuti doktrin dan praktik Islam wasathiyah. Wasathiyah adalah yang modern,” kata Azra.
Azra juga mengakui, ada grup sangat kecil tetapi sangat militan dan bersuara keras di tengah aliran utama Islam di Indonesia. Grup kecil gerakan Islam ini memiliki orientasi ideologi transnasional, seperti yang dipaparkan Jordan Newton di atas. Kejatuhan Soeharto menjadi momentum bagi gerakan ini dengan memanfaatkan demokrasi yang memungkinkan mereka bergerak bebas. Azra memberi contoh, HTI yang diperkenalkan di Indonesia pada akhir abad 19, hanya bisa aktif setelah kejatuhan Soeharto.
Meski membenarkan paparan mengenai penguatan dan perubahan strategi Islam transnasional, Azra cenderung percaya bahwa Islam wasathiyah di Indonesia terlalu besar untuk dijatuhkan. Muhammadiyah dan NU, kata Azra, adalah dua sayap Islam Indonesia yang wasathiyah.
“Gerakan radikal ini tidak akan bisa merubah muslim Indonesia yang didukung oleh dua organisasi besar muslim. Muslim Indonesia sangat kuat, memiliki basis di lebih 30 ribu pesantren dan 28 ribu di antaranya dikelola kyai NU. Bagaimana mereka akan mengubah ini menjadi pesantren yang radikal. Apakah itu mungkin? Bagi saya itu tidak mungkin,” lanjut Azra.
Namun, tetap diperlukan upaya pencegahan agar ideologi transnasional itu tidak semakin menunjukkan pengaruh di Indonesia. Azra merekomendasikan lima langkah penting.
Pertama, adalah menguatkan Indonesia sebagai negara Pancasila. Kedua, Indonesia perlu memperdalam penerapan demokrasi agar mampu menjadi jawaban, agar masyarakat tidak beralih ke ideologi lain seperti totalitarianisme maupun sistem khilafah. Ketiga, menurut Azra diperlukan penguatan organisasi muslim arus utama. Dilanjutkannya, solusi keempat memperkuat peran perempuan dan kelima adalah melanjutkan reformasi sistem pendidikan Islam.
Dua pembicara lain juga berbicara dalam forum ini, yaitu Prof Dudung Abdurrahman dan Dr Nurul Hak, keduanya dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Dudung membahas moderasi Islam dalam sejarah sufisme di Indonesia. Sedangkan Nurul Hak memaparkan bagaimana moderasi Islam dan para kyai, dalam sebuah studi yang memotret hal itu di Tasikmalaya, Jawa Barat pada periode tahun 1945-1950.
Indonesia Kiblat Kajian Islam
Dekan Fakultas adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Dr. Muhammad Wildan mengatakan konferensi ini fokus pada empat bidang keilmuan, yaitu Bahasa dan Sastra Arab, Sejarah Kebudayaan Islam, Ilmu Perpustakaan dan Sastra Inggris. Konferensi diselenggarakan untuk memberi gambaran tren penelitian berperspektif global. Sejumlah pakar dari Mesir, Tunisia, Australia, Kazakhstan dan Indonesia sendiri hadir sebagai pembicara.
“Topik- topik yang didiskusikan kali ini tentu sangat relevan dengan kondisi masyarakat muslim global kontemporer. Sehingga AICONICS ini diharapkan mampu menampung dan menyumbangkan gagasan dari para ahli untuk menjawab persoalan global,” kata Wildan.
Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Phil. Al Makin berujar Indonesia sudah saatnya menjadi kiblat kajian keislaman dunia. Selama ini, kajian-kajian keislaman dunia masih dikuasai para sarjana dan ahli dari Timur Tengah.
“Tema-tema seminar The 2nd AICONICS ini cukup signifikan untuk mengangkat wajah Islam Indonesia ke dunia global. UIN Sunan Kalijaga sudah memulai upaya ini dari berbagai lini, termasuk dalam kegiatan-kegiatan riset, jurnal hingga kerjasama-kerjasama yang dilakukan dengan berbagai pihak,”papar Al Makin. [ns/ab]