Tautan-tautan Akses

Indonesia Membutuhkan Pendidikan Agama Islam yang Pluralis


Mantan penceramah paham radikal, Khairul Ghazali (atas), memberikan ceramah di Pesantren Al Hidayah, Sei Mencirim, Sumatra Utara, 22 Juli 2017. Khairul mendirikan pesantren itu untuk anak-anak tersangka pelaku teror. (Foto: AP/Binsar Bakkara)
Mantan penceramah paham radikal, Khairul Ghazali (atas), memberikan ceramah di Pesantren Al Hidayah, Sei Mencirim, Sumatra Utara, 22 Juli 2017. Khairul mendirikan pesantren itu untuk anak-anak tersangka pelaku teror. (Foto: AP/Binsar Bakkara)

Secara umum, bangsa Indonesia hidup dalam suasana rukun dan damai. Bangsa ini bahkan menjadi model pengelolaan keberagaman budaya dan agama. Namun, ada pula sejumlah penelitian yang menunjukkan, beberapa bagian dalam masyarakat yang mengalami perubahan sudut pandang terkait hal ini.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, mengutip hasil penelitian PPIM Jakarta untuk memperkuat pendapat ini. Penelitian itu sendiri menyorot meningkatnya sikap dan perilaku intoleran di kalangan murid Sekolah Menengah Umum (SMU).

Abdul Mu’ti dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Abdul Mu’ti dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

“Intoleransi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain materi pendidikan agama Islam, pengaruh paham Islamisme guru agama, kinerja pemerintah dan media internet,” kata Mu’ti.

Paparan itu dia sampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Acara pada Rabu (2/9) ini digelar secara sederhana, dengan dihadiri sejumlah tokoh seperti mantan wakil presiden Jusuf Kalla, Menko PMK Muhajir Effendi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Wakil Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, dan tokoh-tokoh dari Muhammadiyah, NU serta Persekutuan Gereja Indonesia (PGI).

Abdul Mu’ti dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Abdul Mu’ti dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Pendidikan Agama Menjadi Faktor

Sebagai Guru Besar Pendidikan Agama Islam, Mu’ti selanjutnya menyampaikan sejumlah faktor yang menyebabkan intoleransi tumbuh. Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah, kata dia, lebih banyak diisi materi aqidah, fiqih dan akhlak formal, sementara muatan toleransi dan kehidupan kebangsaan sangat sedikit. Para guru agama juga cenderung intoleran dan semangat Islamisme yang tinggi.

Intoleransi, kata Mu’ti, juga tumbuh di tengah kekecewaan terhadap kinerja pemerintah terkait keadilan sosial dan penegakan hukum. Begitupula internet, dimana ada lebih banyak konten bercorak ekslusif dan intoleran yang diakses siswa.

Karena itulah, Mu’ti mengusulkan model PAI pluraris dengan dasar ketuhanan, kebebasan, keterbukaan, kebersamaan dan kerja sama. Corak ini diharapkan mampu membentuk siswa yang berjiwa pluralis dan inklusif.

Indonesia Membutuhkan Pendidikan Agama Islam yang Pluralis
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:34 0:00

“Murid yang berjiwa pluralis diharapkan dapat menjadi aktor dan pelopor dalam membangun kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, yang rukun dan damai di tengah pluralitas budaya, suku dan agama, berdasarkan atas ajaran dan nilai-nilai pluralisme di dalam Islam,” tambah Mu’ti.

Untuk melaksanakan model PAI pluralis, lanjut dia, diperlukan pembaruan kebijakan, pendekatan, pembelajaran kurikulum dan evaluasi. Sesuai ketentuan Sisdiknas nomor 20 tahun 2003, pendidikan agama diberikan sesuai agama murid dan diajarkan oleh guru yang seagama. Namun menurut Mu’ti, kebijakan tersebut tidak terlaksana karena faktor kebijakan administrasi, keterbatasan anggaran dan ideologi.

Selain itu, kebijakan penyelenggaraan pendidikan agama yang diatur dalam PP 55 tahun 2007 dan PMA 16 tahun 2010 membatasi ruang lingkup pendidikan agama. Hanya ada enam agama yang diajarkan, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan aliran kepercayaan. Selain itu, ada pula ketentuan dimana sebuah kelas agama baru dapat diselenggarakan jika jumlah siswa satu agama minimal 15. Peraturan ini, kata Mu’ti mengabaikan hak penganut agama minoritas seperti Bahai, Sikh, Yahudi dan lainnya. Kedua aturan tersebut membutuhkan perubahan.

Kontekstual di Indonesia

Fajar Rizal Ul Haq dari Maarif Institut menilai, paparan Abdul Mu’ti sangat relevan dengan situasi saat ini. Indonesia membutuhkan paradigma pendidikan agama Islam yang pluralistik, yang mengakui perbedaan, menghargai keragaman dan memberikan ruang kepada yang berbeda untuk hidup secara damai.

Siswa-siswi dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) Islamiyyah-Plosogenuk, SD Kristen Petra, SD Katolik Wijana, dan sejumlah anak SD anggota jemaat GKJW Bongsorejo, bermain bersama sambil menanti waktu berbuka puasa (Foto: VOA/Petrus Riski).
Siswa-siswi dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) Islamiyyah-Plosogenuk, SD Kristen Petra, SD Katolik Wijana, dan sejumlah anak SD anggota jemaat GKJW Bongsorejo, bermain bersama sambil menanti waktu berbuka puasa (Foto: VOA/Petrus Riski).

Pendapat itu disampaikan Fajar dalam obrolan daring Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB), yang digelar untuk turut mengapresiasi jabatan Guru Besar yang disandang Abdul Mu’ti pada hari ini.

Mengutip hasil penelitian yang dilakukan lembaga riset Saiful Mujani, Fajar mengatakan Indonesia saat ini itu cenderung mengalami defisit demokrasi. Ada fenomena di mana pertumbuhan demokrasi itu justru diimbangi oleh munculnya intoleransi politik. Demokrasi semestinya memberikan hak yang sama kepada warga negara, dalam HAM dan konstitusi. Namun hal itu tidak berjalan di Indonesia.

“Disinilah urgensi pidatonya, untuk mengingatkan kembali bahwa pentingnya kita melakukan rekontekstualisasi Pendidikan Agama Islam minimal di lingkungan perguruan tinggi. Saya mengingatkan kembali kajiannya Munawir Sadzali, mengenai pentingnya aktualisasi Islam di Indonesia,” kata Fajar.

Sementara dosen di Universitas Hamka, Izza Rahman Nahrowi mengatakan, apa yang disampaikan Abdul Mu’ti mengingatkan kembali pentingnya Pendidikan Agama Islam sebagai media menyemai benih-benih toleransi.

“Di masyarakat kita yang majemuk tapi didominasi oleh umat Islam, tentunya Pendidikan Agama Islam menjadi sangat sentral,” ujarnya dalam obrolan JIB.

Ucapan Selamat Berbagai Pihak

Ucapan selamat yang disampaikan melalui rekaman video, datang dari berbagai pihak kepada Abdul Mu’ti atas capaian ini. Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta intelektual Muhammadiyah itu terus berkarya untuk kemajuan bangsa. Sementara Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menilai, Abdul Mu’ti adalah salah satu aktivis organisasi itu yang juga sukses secara akademis. Mu’ti juga mampu berperan di sektor keagamaan dan hubungan internasional secara baik.

Puan Maharani terpilih sebagai Ketua DPR RI periode 2019-2024 (Courtesy: Facebook).
Puan Maharani terpilih sebagai Ketua DPR RI periode 2019-2024 (Courtesy: Facebook).

Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, menjadi guru besar adalah kehormatan luar biasa bagi seorang pendidik seperti Abdul Mu’ti. Puan juga berharap, gelar ini menjadi amanah untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa.

Ucapan selamat juga datang dari Ignatius Kardinal Suharyo, mewakili Konferensi Wali Gereja Indonesia. Kardinal Suharyo berharap isi, pemikiran dan gagasan dari pidato pengukuhan guru besar Abdul Mu’ti, dapat disebarkan menjadi bahan perenungan bagi semua.

“Sehingga berkat gagasan yang disebarkan Pak Abdul Mu’ti, kehidupan beragama di Indonesia semakin berperan untuk membangun kebersamaan yang diwarnai persaudaraan sejati dan damai sejahtera,” ujar Kardinal Suharyo. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG