Tautan-tautan Akses

Human Rights Watch Desak Obama Bahas Papua dengan SBY


Human Rights Watch menilai kedatangan Presiden Barack Obama ke Bali (18/11) tepat untuk membahas masalah HAM di Papua dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Human Rights Watch menilai kedatangan Presiden Barack Obama ke Bali (18/11) tepat untuk membahas masalah HAM di Papua dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Human Rights Watch menilai kedatangan Presiden Barack Obama ke Bali dalam rangka KTT ASEAN Plus dan KTT Asia Timur pekan ini, penting dan tepat untuk kembali membicarakan isu penegakan Hak Asasi Manusia, terutama di Papua dan Papua Barat.

Organisasi pemantau HAM yang berkantor pusat di New York, Amerika Serikat itu, mendesak Presiden Obama untuk mempertanyakan kurangnya tanggungjawab aparat keamanan, yang masih menggunakan kekerasan kepada rakyat sipil di Papua dan Papua Barat.

Dalam siaran pers yang dikirimkan hari Kamis, Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Asia, Elaine Pearson, mengatakan Obama memiliki kekuatan untuk mengubah nasib rakyat Papua, sesuai dengan komitmennya saat berkunjung ke Jakarta, November 2010, bahwa Papua adalah bagian dari NKRI, dan militer tidak boleh menggunakan kekerasan ekstra untuk menghadapi masyarakat sipil Papua, demi tegaknya hukum dan HAM.

Pearson menilai, “Presiden Obama harus mengaskan, bahwa selama tentara yang melakukan kekerasan hanya dipenjara beberapa bulan, sementara aktivis pro perdamaian dipenjara bertahun-tahun, maka tampaknya tidak ada keadilan untuk Papua.“ Dalam hal ini, yang dimaksud Pearson adalah Filep Karma, aktivis Papua yang dijatuhi 15 tahun penjara karena menuntut Papua Merdeka, pada Desember 2004.

“Presiden Obama harus mendesak Presiden Yudhoyono agar bersedia melepaskan seluruh tahanan politik Papua, demi meraih kepercayaan rakyat Papua,“ kata Pearson selanjutnya.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), Haris Azhar, kepada VOA, Jumat berpendapat, keterlibatan Amerika Serikat tidak bisa dilepaskan karena konflik selalu memanas di areal pertambangan Freeport, milik Amerika Serikat.

“Ini konflik masa lalu, dari tahun 60-an. Jadi harus ada terobosan besar untuk menyelesaikan Papua dan Amerika bisa mengambil peran penting sebagai negara maju dan memberikan kontribusi. Lewat Freeport, Amerika ikut menikmati emas Papua. Ada kewajiban moral, ekonomi, dan hukum, untuk mendorong adanya agenda kesejahteraan dan keadilan di Papua. Misalnya, bagaimana membuat komisi kebenaran dan memperbaiki kondisi manusia dan lingkungan di Papua hari ini, dan agenda pembangunan ke depan,” papar Haris Azhar.

PT Freeport dikabarkan mengeluarkan anggaran khusus, untuk mengamankan instalasi penting di kawasan pertambangan emas, di kabupaten Mimika itu. Jumlahnya sangat besar, mencapai 14 Juta Dollar Amerika Serikat. Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo membenarkan informasi tersebut. Polisi yang bertugas kabarnya menerima Rp1.250.000 per hari.

Ketika mengunjungi Komnas HAM tahun lalu, kaum perempuan Papua mengaku kekerasan sering terjadi sejak pertambangan itu beroperasi.

Sementara TNI membantah telah melakukan “extra judicial killings” atau pembunuhan tanpa peradilan kepada warga sipil. Pangdam XVII Cenderawasih, Mayjen TNI Erfi Triassunu, menegaskan TNI menjalankan tugas sesuai Undang-Undang. Banyak bantuan diberikan TNI, di luar menjaga keamanan.

“Peran TNI di sana (Papua dan Papua Barat) sesuai UU No. 34 Tahun 2004, bahwa kita adalah operasi militer selain perang yaitu membantu pemerintah daerah, misalnya untuk bencana alam, dan sebagainya. Intinya dalam melaksanakan apapun, dalam menghadapi gejolak di Papua kami siap membantu Polri. Kemudian kami juga punya misi “Bhakti TNI” di daerah-daerah terpencil dan terbelakang, juga menjaga perbatasan Papua dengan negara lain,” demikian penjelasan Mayjen TNI Erfi Triassunu.

XS
SM
MD
LG