Pihak kepolisian Indonesia telah menggelar sidang kode etik untuk delapan anggotanya yang diduga bersalah dalam pembubaran Kongres Rakyat Papua ke III . Hasilnya delapan polisi tersebut hanya mendapat hukuman berupa teguran tertulis.
Ketua Komnas HAM, Ifdal Kasim kepada VOA di Jakarta, Selasa mengungkapkan kekecewaannya atas vonis ringan yang diberikan kepada delapan anggota polisi tersebut. Vonis ringan ini kata Ifdal tidak akan memberikan efek jera.
Penyalahgunaan wewenang oleh polisi seharusnya menurut Ifdal tidak dapat tuntas hanya sebatas pelanggaran kode etik saja tetapi harus ditindaklanjuti kedalam proses hukum pidana.
Menurutnya, hasil penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan adanya pelanggaran HAM dalam kasus pembubaran Kongres Rakyat Papua dapat dijadikan petunjuk oleh pihak kepolisian untuk menindaklanjuti kedalam proses hukum.
Ifdal Kasim mengatakan, "Efeknya adalah dia tidak membawa pengaruh bagi pencegahan karena hukuman yang diberikan itu sangat ringan. Hukuman itu lebih diwarnai solidaritas dan sebagainya dan kemudian tidak membawa implikasi bagi pencegahan kejadian serupa ini berulang lagi di waktu-waktu yang akan datang."
Hasil penyelidikan Komnas HAM beberapa waktu lalu menyatakan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadi tindakan berlebihan aparat yang berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia.
Bentuk-bentuk perbuatan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam peristiwa tersebut menurut Komnas HAM adalah perampasan hak hidup di mana tiga orang mengalami tindakan pembunuhan di luar putusan pengadilan.
Sementara, Direktur Program Imparsial, Al Araf menyatakan vonis ringan terhadap delapan anggota polisi tersebut menunjukkan bahwa kekerasan dan impunitas di Papua masih terus berlangsung.
Hal seperti ini kata Al-Araf tidak boleh dibiarkan. Menurutnya setiap pelanggar HAM harus diusut secara tuntas dan diberikan hukuman yang adil.
Al-Araf mengatakan, "Bahwa memang aparat pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh utuk menuntaskan kasus kekerasan dan kasus pelanggaran HAM. Nah ini menimbulkan persoalan serius dalam membangun kepercayaan masyarakat Papua terhdap pemerintah pusat. Hal-hal ini akan mempersulit penyelesaian konflik di Papua. Dan ini akan terus menjadi keruwetan bagi pemerintah pusat didalam menyelesaikan persoalan Papua. Karena pemerintah pusat sendirilah yang tidak memiliki kemauan politik sungguh-sungguh untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua, salah satunya pengentasan kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM."
Namun, juru bicara Mabes Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution membantah kepolisian tak menindak tegas anggotanya yang terbukti melakukan kekerasan. Menurutnya dalam mengadili anggotanya yang terlibat tindak kekerasan di Jayapura, kepolisian sudah menjalankan prosedur yang benar.
"Hakim Kode Etik memutuskan hukuman terhadap anggota sesuai dengan jabatan dan tanggung jawabnya dalam pelaksanaan tugas itu dan juga kesalahannya. Sehingga kepada anggota-anggota yang sudah diberikan hukuman disiplin menurut kami sudah adil dan sesuai ketentuan," demikian penjelasan Saud Usman Nasution.
Soal korban tewas yang oleh sebagian kalangan diduga akibat penganiayaan polisi, Saud Usman juga membantah tegas tudingan itu. Menurut Saud, setelah ketiga jenazah warga Papua diotopsi, terbukti bahwa ketiganya meninggal tidak pada saat kerusuhan Kongres Rakyat Papua terjadi.
Kongres Rakyat Papua ke III dibubarkan polisi, ketika menjelang penutupan para peserta kongres mendeklarasikan kemerdekaan Papua. Dalam kerusuhan itu, polisi menangkap lebih dari 300 orang dan menjadikan enam orang sebagai tersangka.