Tautan-tautan Akses

Hari Jerapah Sedunia


Beberapa ekor jerapah memandang keluar dari andangnya saat bayi jerapah yang baru lahir dan ibunya dipisahkan dari jerapah lainnya di Kebub Binatang Alipore, di Kolkata, 7 Juni 2018 (foto: AFP Photo/Dibyangshu Sarkar)
Beberapa ekor jerapah memandang keluar dari andangnya saat bayi jerapah yang baru lahir dan ibunya dipisahkan dari jerapah lainnya di Kebub Binatang Alipore, di Kolkata, 7 Juni 2018 (foto: AFP Photo/Dibyangshu Sarkar)

Tanggal 21 Juni diperingati sebagai Hari Jerapah Sedunia – merayakan hewan ikonik Afrika yang berleher panjang itu. Tetapi populasi jerapah telah menurun tajam dan para peneliti mengingatkan bahwa dalam waktu dekat hewan itu dapat punah. Di bagian utara Kenya sebuah program konservasi berupaya melindungi jerapah asli yang dikenal karena pola belangnya yang khas.

Di Afrika Timur, jerapah yang anggun itu adalah salah satu hewan paling populer di Afrika. Meskipun populer, hewan-hewan yang dikenal sebagai jerapah Somalia ini, belum pernah dikaji secara mendalam, sehingga tidak diketahui dengan baik. Apa yang sejauh ini diketahui adalah bahwa populasi mereka dalam 30 tahun terakhir ini anjlok drastis, dari sekitar 40 ribu ekor menjadi kurang dari sembilan ribu ekor saja saat ini.

Di bagian utara Kenya, sebuah program konservasi yang diprakarsai Kebun Binatang San Diego, Amerika bersama dengan beberapa mitra internasional lain, berupaya mempelajari lebih jauh tentang jerapah dan bagaimana melindungi mereka. Para peneliti ini mempelajari pola migrasi hewan ini, habitat, kebiasaan makan dan interaksinya dengan hewan-hewan lain. Kepala tim peneliti program ini, Symon Masiaine, mengatakan.

“Awalnya jerapah ini ditemukan di Kenya, Ethiopia dan Somalia. Jumlahnya sudah benar-benar turun di semua tempat itu. Saya kira bahkan di Somalia kini hampir tidak ada sama sekali. Populasi yang masih tersisa ditemukan di bagian utara Kenya,” ujar Symon Masiaine.

Salah satu alasan anjloknya populasi jerapah adalah karena perburuan gelap.

“Ada orang-orang yang membunuh jerapah dan menjual dagingnya di toko-toko. Alasan lain mengapa jumlah populasi jerapah menurun adalah jeratan yang lagi-lagi selaras dengan perburuan juga. Alasan lainnya adalah karena meningkatnya populasi manusia,” lanjut Symon Masiaine.

Satu tim yang beranggotakan 12 penjaga lokal mengawasi sekitar 400 hewan tertinggi di dunia itu. Alat pelacak atau GPS yang bertenaga surya dipasang pada 11 jerapah.

“Kami berkeliling, hingga tiba di mana jerapah berada, mengambil sejumlah foto, menghitung, melihat koordinat GPS; mulai dari dimana mereka ditemukan, apa yang mereka lakukan dan medan apa yang mereka hadapi,” papar Symon Masiaine.

Warga lokal juga menyadari pentingnya melindungi jerapah yang juga mendorong pariwisata. Pemimpin masyarakat setempat, Meja Leprikine, mengatakan.

“Kami mulai melihat adanya manfaat satwa liar. Butuh waktu beberapa saat untuk memahami manfaat-manfaat ini,” ujar Meja Leprikine.

Para peneliti berharap upaya konservasi yang diperbarui di Afrika ini dapat membantu menyudahi hilangnya hewan-hewan anggun ini sehingga dapat dinikmati oleh generasi mendatang. [em/al]

XS
SM
MD
LG