Devi Asmarani tidak pernah menyangka jika tulisan-tulisannya dan upaya mendirikan situs web bernuansa pop tetapi serius mengupas isu-isu perempuan, termasuk isu non-konvensional yang jarang disentuh media, akan membuatnya menjadi pemenang penghargaan SK Trimurti 2018.
“Pengakuan ini menurut saya luar biasa karena menjadi pengakuan bagi perlunya media alternatif seperti Magdalene yang merepresentasikan perempuan secara keseluruhan, dengan berbagai keunikan dan isu yang masih terabaikan,” demikian ujar Devi ketika dihubungi VOA melalui telepon Sabtu (8/9) pagi dari London.
“Dan kedua, ada pengakuan bahwa masih dibutuhkan perspektif yang diusung Magdalene. Saya bersama teman-teman di Magdalene merasa ‘humble’ dengan penghargaan ini,” ujarnya.
Magdalene.co Dinilai Tawarkan Perspektif Baru
Di tengah sengitnya pertarungan media, Devi bersama sahabatnya Hera Diani mendirikan dan membangun media online yang menawarkan perspektif baru di luar batasan gender dan budaya yang selama ini dikenal.
“Kami menyalurkan suara feminis, pluralis dan progresif, juga mereka yang tidak takut untuk berbeda, terlepas dari jenis kelamin, warna kulit, atau preferensi seksual. Kami ingin terlibat, bukan mengasingkan,” demikian kata pengantar situs web Magdelene.co yang digagasnya.
“Tidak sekadar isu perempuan, tetapi juga persinggungan dengan isu agama dan politik identitas di tengah meningkatnya konservatisme dan intoleransi,” ujar Mariana Amirudin, Komisioner KOMNAS Perempuan yang menjadi salah satu juri penghargaan AJI ini.
Mantan wartawan the Jakarta Post dan koran Singapura, the Straits Times, dikenal aktif menulis dan memberikan pelatihan jurnalistik berperspektif perempuan melalui Magdalene.co. Devi juga salah satu pengajar di Jakarta Post Writing Center.
“Ada dua ‘topi’ yang saya pakai, yang pertama sebagai editor Magdalene, yang kedua sebagai pengajar di Jakarta Post Writing Center. Dalam kapasitas sebagai editor Magdalene saya suka mengajar tentang isu gender dan keberagaman gender, untuk wartawan dan praktisi media, juga mahasiswa dan publik lain,” ujar Devi.
AJI Terima Masukan dari Masyarakat
Aliansi Jurnalis Indonesia AJI memberikan penghargaan SK Trimurti ini sejak 2008 sebagai upaya mengenang dan menghormati perjuangan pahlawan nasional dan sekaligus wartawan perempuan, Soerastri Karma Trimurti, atau akrab dikenal sebagai SK Trimurti.
Nominasi calon penerima dilakukan secara terbuka dengan menerima masukan masyarakat dan mempertimbangkan beberapa kriteria lain, seperti isu yang diperjuangkan, lokasi dan durasi dimana isu tersebut diperjuangkan dan lain-lain. Secara khusus tahun ini tim juri yang beranggotakan aktivis AJI, wartawan dan komisioner KOMNAS Perempuan itu mempertimbangkan situasi maraknya intoleransi, pentingnya keberagaman dan masifnya penggunaan media digital.
Diantara lima calon yang dinominasikan, Devi Asmarani dinilai paling unggul. Terlebih karena Devi -- bersama Hera Diani – kemudian juga melebarkan cakupan lewat medium podcast, yang diyakini semakin menginspirasi dan mendidik masyarakat luas pada isu-isu gender dan keberagaman gender.
Budaya Patriarki, Tantangan Utama Kesetaraan Gender
Dalam pembicaraan melalui telpon, Devi tidak memungkiri tantangan yang senantiasa dihadapinya ketika mempublikasikan tulisan atau memberi pelatihan isu-isu berperspektif perempuan.
“Terus terang masyarakat Indonesia masih sangat patriarkis, dan ironisnya ini masih sangat terasa di dunia jurnalistik yang seharusnya menurut saya jauh lebih progresif dibanding yang lain,” ujar Devi.
Devi mencontohkan peristiwa yang dialaminya ketika mengajar tentang penggunaan kata-kata atau kalimat yang tidak pantas ketika meliput dan menulis tentang kekerasan seksual terhadap perempuan. Alih-alih mendapat reaksi positif, Devi justru diprotes oleh salah seorang wartawan senior yang menilai penggunaan kata-kata dan kalimat tersebut biasa saja.
“Bagi saya tantangannya ada di sini bahwa wartawan sekalipun, apalagi wartawan perempuan, masih belum memiliki perspektif perempuan,” kata Devi.
Namun, kata Devi, dia tetap optimis karena sudah timbul kesadaran baru di kalangan wartawan muda tentang isu-isu tersebut. Perkembangan itu, lanjut Devi, bisa jadi karena para wartawan muda sendiri sudah lelah melihat perempuan senantiasa diobjektifikasi, atau arahan liputan yang tidak berpihak pada perempuan, tidak merepresentasikan atau mengangkat harkat perempuan.
“Mereka mulai bersuara. Saya kira tantangan ini bakal selalu ada, dan karena itu kita tidak boleh berhenti untuk melawan,” ujar Devi mengakhiri pembicaraan dengan VOA. [em]