Tautan-tautan Akses

Demonstran di Jakarta, Tuntut Myanmar Bebaskan 2 Wartawan Reuters


Sepuluh wartawan Indonesia berdemonstrasi dengan mengikat tangan dan meletakkan kartu tanda pengenal wartawan, memprotes vonis terhadap dua wartawan Reuters di Myanmar. (Foto: VOA/Fathiyah)
Sepuluh wartawan Indonesia berdemonstrasi dengan mengikat tangan dan meletakkan kartu tanda pengenal wartawan, memprotes vonis terhadap dua wartawan Reuters di Myanmar. (Foto: VOA/Fathiyah)

Aliansi Jurnalis Independen dan Forum Jurnalis Freelance mengecam pemenjaraan dua wartawan Reuters di Myanmar. Mereka meminta kedua wartawan tersebut dibebaskan.

Pengadilan di Yangon, Myanmar, Selasa lalu (4/9) menjatuhkann vonis masing-masing tujuh tahun terpada dua wartawan kantor berita Reuters, Wa Lone (32 tahun) dan Kyaw Soe Oo (28 tahun).

Majelis hakim menyatakan Lone dan Soe Oo terbukti bersalah melanggar Undang-undang Rahasia Negara, yang diberlakukan sejak zaman penjajahan, dengan ancaman hukuman 14 tahun. Menurut rencana vonis diputuskan pekan lalu, namun ditunda menjadi Selasa minggu ini, karena ketua majelis hakim sakit.

Kasus yang menjerat kedua wartawan Reuters di Myanmar tersebut menarik perhatian masyarakat internasional yang menilai hal ini sebagai ujian di tengah upaya transisi demokrasi, pasca pemerintahan junta militer selama puluhan tahun.

Banyak yang menaruh harapan pada pemimpin kelompok oposisi yang juga menerima anugerah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, ketika ia dipilih menduduki puncak pemerintahan tahun 2016 lalu. Tetapi banyak yang kini kecewa karena Suu Kyi tak bicara sedikit pun tentang pembantaian etnis Muslim-Rohingya di negara bagian Rakhine yang mendorong lebih dari 700.000 warga terpaksa mengungsi ke Bangladesh.

Sebagai bentuk solidaritas, jurnalis di beragam negara berunjuk rasa menolak hukuman penjara terhadap dua wartawan Reuters tersebut. Mereka mendesak Lone dan Soe Oo segera dibebaskan, karena mereka hanya melaksanakan tugas jurnalistik dan tidak boleh dipidanakan.

Demonstrasi yang sama juga berlangsung pada Jumat (7/9), di depan Kedutaan Besar Myanmar, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sekitar sepuluh wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengenakan kaos hitam, berorasi dan menggelar secarik karton dengan tulisan dari spidol.

Koordinator unjuk rasa, Fira Abdurachman, menegaskan wartawan tidak boleh dipenjara hanya karena hasil karya jurnalistiknya. Dia menambahkan protes ini merupakan yang pertama.

"Ini adalah aksi solidaritas. Ini adalah keprihatinan kami atas penangkapan dan pemenjaraan terhadap dua wartawan Reuters yang ada di Myanmar. Penangkapan dan pemidanaan itu adalah bentuk dari kriminalisasi jurnalis di Myanmar," jelas Fira.

Menurut Fira, demonstran memakai kaus hitam tidak saja sebagai lambang belasungkawa atas kasus yang menimpa kedua wartawan Reuters itu, terapi juga simbol matinya kebebasan pers di Myanmar.

Fira menekankan perkara yang kini menimpa kedua wartawan itu tidak lagi sekadar persoalan dalam negeri Myanmar, tetapi dunia. Ia menyerukan ASEAN untuk turun tangan.

Kasus ini bermula dari laporan investigasi Lone dan Soe Ooo tahun lalu mengenai pembantaian 10 laki-laki etnis Muslim-Rohingya yang dibantai pasukan keamanan Myanmar. Keduanya ditangkap Desember lalu karena dinilai memiliki dokumen-dokumen rahasia negara terkait insiden itu.

Setelah ditangkap dan menjalani interogasi, Lone dan Soe Oo mengaku mendapat siksaan. Keduanya beberapa kali mengajukan permohonan supaya dibebaskan dengan uang jaminan, namun ditolak. Pan Ei Mon, istri dari Lone, baru melahirkan anak pertama mereka. Tapi sampai kini Lone belum dapat melihat dan menggendong putrinya itu. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG