Ledakan dan tembakan senjata berat mengguncang ibu kota Sudan pada hari kelima pertempuran, Rabu (19/4), setelah gencatan senjata yang ditengahi secara internasional hanya berlangsung dalam waktu sangat singkat.
Kegagalan gencatan senjata itu menunjukkan bahwa dua jenderal yang bersaingan, yang berjuang untuk menguasai negara itu, bertekad untuk saling menghancurkan dalam konflik yang berpotensi berkepanjangan tersebut.
Warga Khartoum yang putus asa dan ketakutan, yang telah terperangkap selama berhari-hari di rumah mereka akibat kekerasan yang berkecamuk, terlihat mulai meninggalkan rumah mereka, kata sejumlah saksi mata.
Sejumlah warga mengatakan kepada Associated Press bahwa mereka melihat ratusan orang, termasuk perempuan dan anak, bergegas ke luar rumah mereka sambil membawa barang bawaan. Beberapa pergi dengan berjalan kaki, sementara yang lainnya berdesakan dalam kendaraan.
“Khartoum telah menjadi kota hantu,” kata Atiya Abdalla Atiya, sekretaris Sindikat Dokter, sebuah asosiasi dokter, yang masih berada di ibu kota.
Pertarungan kedua jenderal untuk mendapatkan kekuasaan telah membuat jutaan orang Sudan terlibat baku tembak, karena pasukan mereka telah bertempur habis-habisan sejak Sabtu dengan senapan mesin berat, artileri, dan serangan udara di lingkungan perumahan Khartoum, kota tetangganya Omdurman, dan kota-kota besar lainnya di negara itu.
Sedikitnya 270 orang telah tewas dalam lima hari terakhir, kata PBB, tetapi jumlah korban kemungkinan lebih tinggi, karena banyak mayat ditinggalkan di jalanan, dan tidak dapat dijangkau karena bentrokan kekerasan.
Gencatan senjata 24 jam seharusnya berlaku dari matahari terbenam hari Selasa hingga matahari terbenam hari Rabu. Itu adalah upaya paling konkret untuk memberikan jeda yang diharapkan dapat diperluas menjadi gencatan senjata yang lebih lama.
Kesepakatan itu dicapai setelah Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken berbicara secara terpisah melalui telepon dengan dua jenderal yang bersaingan, pemimpin angkatan bersenjata, Jenderal Abdel Fattah Burhan, dan kepala paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF), Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo.
Mesir, yang mendukung militer Sudan, serta Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang memiliki hubungan dekat dengan RSF, juga telah meminta semua pihak untuk mundur.
Tetapi pertempuran berlanjut segera setelah dimulainya gencatan senjata dan berlanjut sepanjang malam. Masing-masing pihak saling menyalahkan atas kegagalan tersebut. [ab/uh]
Forum