Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengubah kebijakan luar negerinya dari yang tadinya mengarah ke Amerika Serikat kini ke musuh-musuh Amerika Serikat pada masa Perang Dingin, China dan Rusia, sebuah langkah yang kemungkinan membuahkan bantuan yang melimpah bagi negara Asia Tenggara yang sedang berkembang itu.
Duterte mengatakan bulan lalu, negaranya akan menolak bantuan militer Amerika Serikat dalam kegiatan patroli di kawasan Laut Cina Selatan yang disengketakan, dan memerangi kelompok pemberontak Muslim di bagian selatan negara itu. Kepada wartawan presiden berusia 71 tahun itu mengatakan, pekan lalu, Filipina akan membangun aliansi dengan China dan Rusia.
China pernah mengatakan ingin melangsungkan pembicaraan dengan pemerintah Duterte, yang mulai menjabat 30 Juni lalu untuk menyelesaikan isu kedaulatan maritimnya. Duterte kemudian mengirim utusannya ke Hong Kong Agustus lalu untuk mulai membuat perubahan. Carl Baker, Direktur Forum Pasifik CSIS, mengatakan, China kemungkinan akan menyediakan pendanaan prasarana untuk proyek-proyek yang sangat dibutuhkan Filipina.
Beijing telah membantu pembangunan prasarana di kawasan-kawasan miskin di Asia Tenggara, mulai dari pembangunan jalur kereta senilai 6 miliar dolar di Laos hingga kilang minyak pertama di Kamboja, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa Filipina kemungkinan yang berikutnya.
Duterte juga mengatakan, Filipina akan berhenti bekerjasama dengan Angkatan Laut Amerika Serikat dalam melakukan patroli di kawasan Laut Cina Selatan yang disengketakan, setelah dua tahun melangsungkan latihan gabungan. Ia juga meminta para penasehat militer Amerika Serikat untuk meninggalkan Mindano, pulau di selatan Filipina di mana pasukan Filipina telah meningkatkan usahanya memerangi para pemberontak Muslim sejak Juli lalu. [ab/lt]