Kota Singkawang di Provinsi Kalimantan Barat telah melangsungkan perayaan Cap Go Meh 2576 Kongzili tepat pada 12 Februari 2025. Bagi masyarakat etnis Tionghoa, Cap Go Meh merupakan puncak perayaan menyambut tahun baru Imlek pada malam ke-15.
Ritus Cap Go Meh Singkawang diawali dengan menghias setiap penjuru kota dengan ornamen khas Tionghoa. Disusul kemudian dengan pentas seni, pertunjukan replika shio, pawai lampion, ritual tolak bala, ritual ket sam thoi, altar lelang, dan parade tatung. Tatung adalah orang yang dirasuki oleh roh dewa-dewi dan kebal terhadap benda-benda tajam.
Ketua Panitia Pelaksana Cap Go Meh Singkawang, Bun Cin Thong, mengatakan Cap Go Meh pada tahun ular kayu ini diikuti oleh 746 peserta yang sebagian besar merupakan tatung.
“Sebagian besar dari Singkawang. Kalau dari Singkawang ada 600 lebih tatung. Ada juga dari luar kota, itu hanya sekitar 50 tatung.,” katanya, Rabu (12/2).
Bun Cin Thong menjelaskan sebelum hari puncak Cap Go Meh, tatung memiliki tugas se kong mun atau ritual cuci jalan. Ritus itu bertujuan untuk membersihkan setiap sudut kota dari penyakit dan roh jahat di Kota Singkawang. Tatung akan melintasi jalan-jalan mulai dari perkampungan hingga kota dan menuju kelenteng.
“Ini belum semua kelenteng ikut tatung. Kalau ikut semua bisa mencapai lebih dari seribu tatung., karena Singkawang adalah Kota Seribu Kelenteng,” jelas Bun Cin Thong.
Cap Go Meh Singkawang tidak hanya diikuti oleh etnis Tionghoa, tetapi juga suku Dayak. Ketua Dewan Adat Dayak Kota Singkawang, Stepanus Panus, mengatakan suku Dayak turut andil di Festival Cap Go Meh sejak tahun 2007. Mereka turut menampilkan budayanya mulai dari pakaian, aksesori, dan pernak-pernik khas lainnya.
“Etnis Dayak juga ikut berpartisipasi khususnya display budaya. Jadi, budaya Dayak mulai dari pakaian, aksesori, dan pernak-pernik. Ini membuktikan masyarakat Dayak di Singkawang mendukung kegiatan ini dari sisi budaya, bukan dari sisi ritual,” katanya.
Suku Dayak berpartisipasi dalam acara Cap Go Meh di Singkawang dengan menampilkan tatung yang memiliki ciri khas. Mereka sendiri sebenarnya tidak mengenal tatung dan biasa menyebut hal serupa itu dengan Nyangahatn.
“Pada dasarnya etnis Dayak tidak mengenal adanya tatung. Oleh karena itu, kami mengambil dari sisi display budaya. Itu pada dasarnya. Mereka bergabung menjadi satu. Jadi, esensinya kami ambil dari sisi budaya,” ungkap Stepanus.
Cap Go Meh Singkawang juga menjadi akulturasi budaya Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Akulturasi budaya itu membuat kebersamaan yang begitu hangat di Kota Singkawang.
“Singkawang dikenal dengan Kota Tidayu (Tionghoa, Dayak, dan Melayu). Jadi, kami ambil bagian itu karena perayaan Imlek dan Cap Go Meh ada kegiatan menghias kota, pentas seni, pawai lampion, dan puncaknya parade tatung di Cap Go Meh. Lalu, kebersamaan yang kami jaga. Karena dari budaya itu akan lahir kebersamaan,” ujar Stepanus.
Wisatawan asal Malaysia, Jake Kouwe, mengatakan perayaan Cap Go Meh Singkawang begitu berbeda dengan perayaan di tempat lainnya. Hal itulah yang membuat dirinya tertarik untuk melihat langsung Cap Go Meh Singkawang.
“Sangat berbeda ketika saya melihat (Cap Go Meh) di tempat lain. Ini (mungkin) adalah yang terbesar di Asia. Orang Tionghoa dan orang lokal melakukannya (Cap Go Meh) bersama,” ucapnya.
Pada hari puncak Cap Go Meh, para tatung akan melakukan parade dimulai dari titik kumpul yang telah ditentukan. Tak pelak, parade tatung menjadi magnet wisata di Kota Singkawang. Para tatung itu dihiasi dengan sin mo (penutup kepala), sin fuk (pakaian), sin kiaw (rumah dewa), jin (cap tatung), lam chung (lonceng), tho thiaw (tandu), sin khi (panji), dan beragam alat musik. [aa/uh]
Forum