Ketika Nam Hyun-jin pertama kalinya mempunyai anak lima tahun yang lalu, dia merasa tidak yakin Korea Selatan adalah negara yang tepat untuk membentuk keluarga yang lebih besar. Tetapi bonus kelahiran sebesar $70,000 yang diberikan dari tempat ia bekerja, Booyoung Group, mengubah pandangan itu.
Pada 2023, Korea Selatan menempati posisi terendah angka kelahiran di seluruh dunia, tetapi data awal yang dirilis pekan ini menunjukkan bahwa angka kelahiran mengalami peningkatan tahun lalu.
Nam, yang mungkin merupakan bagian dari tren ini dan mempunyai dua anak tanpa ada penyesalan, mengatakan bahwa perusahaan yang mendukungnya telah memberi kepastian bahwa statusnya sebagai seorang ibu tidak akan mengganggu karirnya.
“Budaya perusahaan saya, yang mendorong untuk mempunyai lebih banyak anak, memberikan bantuan yang luar biasa. Masyarakat secara umum sekarang juga turut mendorong kelahiran, dibandingkan lima tahun lalu ketika anak pertama kami lahir,” kata Nam.
Tidak hanya perusahaan Nam saja, perusahaan lain dan pemerintah pun turut memiliki andil. Korea Selatan kini memberi keringanan pajak untuk bonus kelahiran dan insentif lain yang mendukung pertumbuhan keluarga.
Upaya kolektif ini nampaknya telah menunjukkan hasil. Perubahan angka kelahiran pada pekan ini menunjukkan, untuk pertama kalinya selama sembilan tahun, tingkat populasi sedikit bertambah – dari 0,72 pada 2023 menjadi 0,75 pada tahun 2024.
Memang tidak banyak, tapi tetap saja merupakan secercah harapan untuk sebuah negara yang sedang menghadapi potensi krisis populasi. Upaya Korea Selatan melawan penurunan angka kelahiran juga sama halnya terlihat di beberapa negara maju lainnya seperti Jepang dan Italia, di mana angka kelahiran tetap rendah terlepas dari intervensi pemerintah.
Direktur Statistik Korea, Park Hyun-jung mengatakan pada Rabu (26/2) bahwa lebih banyak pasangan yang menikah setelah tertunda akibat pandemi, dan mereka melihat adanya pergeseran sentimen positif terhadap kelahiran.
Melihat momentum ini, pemerintah Korea Selatan berharap bisa menjaganya dengan menetapkan target ambisius: meningkatkan angka kelahiran menjadi 1 kelahiran untuk setiap perempuan pada tahun 2030. Sejumlah insentif pun digulirkan, termasuk di antaranya pemotongan pajak sebesar $350 per orang untuk pasangan pengantin baru hingga 2026.
Namun, profesor kesejahteraan sosial di Seoul Women’s University, Jung Jae-hoon, menyampaikan kritik bahwa insentif yang diberikan tidak cukup.
“Harus ada pergeseran paradigma, ke arah yang lebih demokratis, struktur keluarga dengan kesetaraan gender, dengan membentuk sistem pengasuhan anak secara luas di masyarakat dan manajemen perusahaan yang ramah keluarga,” ujar Jung.
Beberapa anak muda Korea Selatan yang diwawancari kantor berita Reuters pun merasa skeptis. Mereka melihat peran sebagai orang tua sebagai beban finansial dan mengkhawatirkan keamanan karir.
“Di Korea, kami perlu mengeluarkan banyak uang untuk bisa memiliki anak atau menikah, sangat sulit bagi para keluarga. Oleh karenanya, saya rasa (mempunyai anak) tidak terlalu disambut di masyarakat Korea.”
Masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa ini membalikkan keadaan krisis populasi. Pemerintah mengatakan bahwa mereka akan terus mendorong setiap perusahaan untuk terbuka tentang kebijakannya terhadap para orang tua.
Mulai tahun ini, setiap perusahaan yang ada di dalam daftar harus melaporkan statistik pengasuhan anak kepada otoritas, dan setiap usaha kecil bisa mengklaim insentif jika mereka turut membantu keluarga seperti Nam. [th/jm]
Forum