Masjid Nurul Fikri di Kecamatan Gedebage, Bandung, tampak seperti rumah ibadah pada umumnya. Namun di sinilah Bank Sampah Nurul Fikri berkantor dan beroperasi melayani hampir 1.000 KK di dua RW.
Bank sampah ini merupakan bagian dari “Kang Pisman” (kurangi, pisahkan, manfaatkan), program pengolahan sampah Pemerintah Kota Bandung. Bandung menghasilkan 1.600 ton sampah per hari dengan 10 persennya merupakan sampah plastik.
Namun, program “Kang Pisman” saja tidak mampu menarik perhatian warga. Karena itu, bank sampah Nurul Fikri mencari cara supaya menghasilkan lebih banyak uang, ujar Sekretaris Bank Sampah NF, Fauzi.
“Nah, kami memikirkan bagaimana caranya menyejahterakan SDM ini. Supaya dia tidak (pindah) ke yang lain. Kadang-kadang kan orang bilang ‘ah ngurusin sampah gini aja duitnya juga tidak ada’. Akhirnya kan bubar. Kami tidak mau seperti itu,” terangnya saat ditemui di Bank Sampah Nurul Fikri.
Sejak berdiri Desember 2018, bank sampah ini telah mengumpulkan hampir 1 ton material, terdiri dari 600 kg dus, 200 kg plastik, dan sampah-sampah lain. Para pengurus sempat berencana untuk mengolah sampah plastik menjadi bijih yang bernilai tinggi. Namun, Ketua Bank Sampah Nurul Fikri, Badru Hidayat, mengatakan paving block justru lebih ringkas.
“Jadi angan-angan itu plastik itu dijadikan bijih plastik. Ternyata uraian pekerjaannya terlalu rumit dan memerlukan biaya banyak. Tapi kalau paving block, sederhana, padat, dan bisa cepat jadi uang,” kata Badru, yang Ketua DKM Nurul Fikri, menjelaskan.
Itulah ketika akhirnya warga memutuskan membuat paving block dari sampah plastik. Produksi pertama mereka adalah tiga buah paving block sebagai contoh untuk diperlihatkan kepada Walikota Bandung. Semua dilakukan dengan otodidak, menggunakan peralatan yang dimiliki warga.
Sejumlah Pihak Mulai Produksi Paving Block dari Plastik
Produksi paving block dari limbah plastik sudah mulai dilakukan di beberapa kota di Indonesia. Pada 2017, warga Purbalingga, Jawa Tengah, membuat paving block pertamanya secara swadaya. Disusul dengan pemuda Karang Taruna di Demak, Jawa Tengah, yang memproduksi paving block dengan cara serupa.
Pada 2018, produksi dengan skala lebih besar muncul di Purbalingga. CV Sipbangga bekerja sama dengan sejumlah bank sampah di kota tersebut. Perusahaan ini pun mendapat kucuran dana dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk pengembangan usaha.
Sementara di Garut, Jawa Barat, prajurit TNI Kodim 0611 Garut memproduksi paving block atas inisiatif komandannya. Namun produksi mereka tidak untuk dikomersialkan.
Produksi paving block plastik pada umumnya sederhana. Dimulai dengan memanaskan limbah plastik di dalam wajan atau tungku hingga mencair, ditambahkan pasir atau bahan campuran lain, kemudian dicetak dan didinginkan. Paving block dari plastik berbobot setengah dari yang biasa.
Sejumlah universitas pun mulai melatih warga di sejumlah daerah untuk bisa menciptakan paving block itu. Kampus ini antara lain Politeknik Negeri Manado dan Universitas Cendrawasih, Papua. Para peserta kemudian dibekali modal dan jaringan pemasaran untuk paving block buatannya.
Warga Butuh Dukungan untuk Produksi Masif
Namun belum semua kelompok masyarakat mendapat akses pemasaran dan dukungan modal. Anggota Bank Sampah NF, Moch. Musyafak, berharap pemerintah kota membeli paving block mereka untuk proyek pembangunan.
“Diharapkan kalau nanti ada dari pemerintah, kita minta saja targetnya taman-taman kota. Kita produksi sebanyak-banyaknya. (Bahan) kita bisa serap dari bank sampah lain,” ujarnya.
Di samping itu, Bank Sampah NF mengharapkan dukungan pemerintah supaya bisa meningkatkan skala produksinya.
“Tinggal pemerintah membantu, atau pihak-pihak swasta membantu bagaimana kita mendapatkan fasilitas untuk mendapatkan pekerjaan itu. Orang-orang yang lagi semangat ini perlu di-support supaya tidak putus di jalan,” ungkap Fauzi.
Pihaknya tengah merancang bengkel kecil yang menghubungkan penampungan limbah plastik dengan ketel pengolahan. Ketel itu terhubung dengan cerobong setinggi 2,5 meter dan bak air untuk menangkap asap. Badru memperkirakan butuh dana 25 juta untuk mendirikan tempat produksi ini.
“Bukan, kami belum siap tenaga kerja atau teknologi. Kami belum siap, tinggal cari dana untuk merealisasikan proyek tersebut. Lahan sudah siap. Nanti kan tinggal bikin tungku juga cerobong ke atasnya,” jelas Badru lagi.
Dia memperkirakan bengkel tersebut bisa memproduksi 400-500 paving block per minggu. Dengan skala produksi itu, tenaga operasional Bank Sampah NF bisa mendapatkan upah setara UMR Kota Bandung senilai Rp 3,3 juta. Saat ini, tenaga operasional hanya mendapatkan Rp 500 ribu per bulan.
“Judulnya sampah, orang banyaknya gengsi. Tapi kalau gengsinya ditutup materi, gengsinya hilang,” tutup Badru. [rt/em]