Tautan-tautan Akses

Cek Fakta: Sanksi AS Menyasar China atas Tuduhan Kerja Paksa di Xinjiang


Menara pengawas yang diduga merupakan komplek fasilitas penahanan etnis Uyghur terlihat di Artux di Prefektur Kizilsu di wilayah Xinjiang, China barat laut, 19 Juli 2023.
Menara pengawas yang diduga merupakan komplek fasilitas penahanan etnis Uyghur terlihat di Artux di Prefektur Kizilsu di wilayah Xinjiang, China barat laut, 19 Juli 2023.
Global Times

Global Times

“Juru bicara Kementerian Perdagangan China menekankan bahwa Beijing dengan tegas menentang ‘kerja paksa’ dalam bentuk apa pun dan tidak ada praktik kerja paksa di Daerah Otonomi Uygur Xinjiang di China barat laut.”

SALAH

Amerika Serikat terus berupaya menghentikan aliran (produksi) barang-barang yang dibuat dengan apa yang disebut oleh Washington sebagai praktik kerja paksa di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang di barat laut China.

Pada tanggal 22 November 2024 lalu, Departemen Keamanan Dalam Negeri AS mengumumkan telah menambahkan 29 perusahaan China lagi ke dalam Daftar Entitas Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur, atau UFLPA, sehingga jumlah perusahaan yang masuk daftar hitam menjadi 107. Presiden AS Joe Biden menandatangani UFLPA menjadi undang-undang pada bulan Desember 2021.

"Tindakan penegakan hukum hari ini memperjelas — Amerika Serikat tidak akan menoleransi kerja paksa pada barang-barang yang memasuki pasar kami," kata wakil menteri kebijakan, Robert Silvers, yang menjabat sebagai ketua Gugus Tugas Penegakan Hukum Ketenagakerjaan Federal.

Kementerian Perdagangan China (MOFCOM), menanggapi sanksi tersebut dengan menuduh AS telah menggunakan situasi hak asasi manusia di Xinjiang sebagai dalih untuk melakukan intimidasi dan pemaksaan ekonomi.

“Juru bicara Kementerian Perdagangan [MOFCOM] menekankan bahwa China dengan tegas menentang ‘kerja paksa’ dalam bentuk apa pun dan tidak ada praktik kerja paksa di Daerah Otonomi Uygur Xinjiang, China Barat Laut,” demikian laporan surat kabar Global Times milik Partai Komunis China pada tanggal 26 November.

“AS, tanpa bukti yang kredibel, menggunakan hukum domestiknya untuk menjatuhkan sanksi hanya karena perusahaan China mengambil bahan baku dari wilayah Xinjiang atau mempekerjakan pekerja Xinjiang.”

(Tuduhan Beijing) itu tidak benar.

Pelapor khusus Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Tamoya Obokata, menyimpulkan pada bulan Agustus 2022 bahwa pemerintah China telah menjadikan etnis minoritas di Xinjiang sebagai sasaran kerja paksa.

"Berdasarkan penilaian independen terhadap informasi yang tersedia, termasuk pengajuan oleh para pemangku kepentingan, penelitian akademis independen, sumber terbuka, kesaksian korban, konsultasi dengan para pemangku kepentingan, dan laporan yang diberikan oleh Pemerintah, Pelapor Khusus menganggap wajar untuk menyimpulkan bahwa kerja paksa di antara suku Uighur, Kazakh, dan etnis minoritas lainnya di sektor-sektor seperti pertanian dan manufaktur telah terjadi di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang di China," lapor Obokata.

Laporan-laporan berikutnya telah menambah bukti yang mendukung tuduhan bahwa China tidak hanya melanjutkan tetapi juga memperluas penggunaan kerja paksa di Xinjiang.

Pada bulan Oktober, Pusat Studi Pertahanan Lanjutan yang berpusat di Washington, atau C4ADS, sebuah kelompok penelitian, melaporkan penggunaan kerja paksa Uighur di industri farmasi China.

C4ADS mengatakan perusahaan-perusahaan farmasi China telah melakukan sejumlah pelanggaran di Xinjiang. Dugaan pelanggaran tersebut termasuk keterlibatan dalam program pemindahan tanah secara paksa, penggunaan kerja paksa Uighur dan Kazakh dalam pembuatan produk-produk farmasi, dan menjadikan orang-orang Uighur sebagai subjek pengujian obat-obatan dan prosedur medis tanpa persetujuan.

Laporan tersebut mengutip kesaksian oleh Qelbinur Sidiq, seorang yang menggambarkan dirinya sebagai "korban kamp konsentrasi China," yang diberikan kepada Pengadilan Uighur yang berpusat di London pada tahun 2021.

Sidiq mengatakan pihak berwenang memberikan suntikan kepada para tahanan untuk menghentikan siklus menstruasi mereka, dan menyuruh mereka minum obat-obatan acak, yang juga mengendalikan siklus menstruasi mereka.

"Beberapa narapidana mengalami efek samping seperti pendarahan hebat akibat suntikan dan pil," kata Sidiq.

Kesaksian itu sesuai dengan tuduhan yang lebih luas bahwa China telah menjalankan program sterilisasi yang didukung negara yang menargetkan wanita Uighur, yang menurut para kritikus memenuhi definisi genosida Perserikatan Bangsa-Bangsa.

C4ADS melaporkan bahwa 76 produk farmasi yang diekspor dari China hanya diproduksi di Xinjiang, memperingatkan bahwa dunia bergantung pada "banyak produk farmasi penting" yang diproduksi di sana.

C4ADS mengatakan tidak satu pun dari 43 perusahaan farmasi berlisensi, yang memproduksi 661 produk di Xinjiang, muncul dalam daftar UFLPA.

C4ADS mengatakan setidaknya dua perusahaan farmasi yang berbasis di Xinjiang terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan AS, yang berarti, "perusahaan-perusahaan ini diberi wewenang untuk mengimpor ke Amerika Serikat."

C4ADS mengatakan di bawah UFLPA, diasumsikan bahwa barang apa pun yang dibuat di Xinjiang dilakukan dengan kerja paksa, yang melarang masuknya barang-barang tersebut ke AS.

DHS hanya menambahkan satu perusahaan farmasi ke Daftar Entitas UFPLA bulan lalu — Sichuan Yuanan Pharmaceutical Co. Tidak ada perusahaan farmasi lain yang muncul dalam daftar tersebut.

Sementara itu, laporan bulan Februari dari Adrian Zenz, seorang peneliti yang telah banyak menulis tentang Uighur di China, menemukan bahwa Beijing tengah memperluas program Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemindahan Tenaga Kerja. Program tersebut telah memungkinkan Beijing untuk melanjutkan penggunaan kerja paksa tanpa harus menjadikan penduduk Xinjiang sebagai sasaran penahanan paksa, sebuah praktik yang telah menuai kecaman global.

Zenz mengatakan China akan terus memperluas program pemindahan kerja paksa tahun depan, sejalan dengan Rencana Lima Tahun ke-14 Xinjiang untuk Promosi Pekerjaan.

Dalam laporan bulan Juni 2022, Zenz berpendapat bahwa "pemindahan tenaga kerja Xinjiang menjadi sangat koersif" pada saat yang sama ketika program penahanan massal untuk Uighur dimulai pada tahun 2017.

Beijing secara konsisten menyerang Zenz sebagai "seorang Kristen sayap kanan" yang ingin memfitnah Partai Komunis China.

Pemerintah China menjatuhkan sanksi kepada Zenz pada tahun 2021 karena sangat merugikan "kedaulatan dan kepentingan China."

C4ADS mengutip Zenz dalam laporan mereka. Begitu pula Obokata, pelapor khusus PBB untuk bentuk-bentuk perbudakan kontemporer.

Laporan Obokata mengutip pelanggaran di sektor pertanian dan manufaktur, dengan mengatakan bahwa otoritas China telah menjadikan pekerja sebagai sasaran "pengawasan berlebihan, kondisi hidup dan kerja yang kasar, pembatasan pergerakan melalui penahanan, ancaman, kekerasan fisik dan/atau seksual, dan perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan martabat lainnya."

Pelanggaran tersebut, dalam beberapa kasus, "dapat dianggap sebagai perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan," kata laporan itu.

Para pakar dan media independen mengatakan China, pemimpin global dalam produksi kapas, telah memaksa warga Uighur dan etnis minoritas lainnya untuk memetik kapas di Xinjiang.

Para peneliti telah mengungkap bukti serupa yang melibatkan industri tenaga surya China.

Sekitar dua minggu setelah rilis laporan Obokata, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia merilis laporan komprehensif tentang perlakuan terhadap warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya di China.

Laporan tersebut menyatakan ada indikasi bahwa skema ketenagakerjaan dan ketenagakerjaan China "tampaknya bersifat diskriminatif atau melibatkan unsur pemaksaan." Laporan tersebut juga menyimpulkan bahwa otoritas China mungkin terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang.

XS
SM
MD
LG