Pada 27 Juli, koran milik Pemerintah China, Global Times, mengkritik cara Kanada mengatasi kebakaran lahan yang menurut koran itu menyebabkan kerusakan "yang tak terhitung" terhadap lingkungan hidup dunia.
Kanada sedang mengalami musim kebakaran lahan terburuk yang pernah tercatat. Ada sekitar 4.797 kebakaran aktif per 26 Juli yang meningkat 132% dari tingkat rata-rata 10-tahunnya.
Global Times mengatakan pihak berwenang Kanada sudah gagal mencegah dan memadamkan api kebakaran hutan hingga mengakibatkan masalah itu berkembang menjadi masalah gawat darurat lingkungan global. Koran itu memuji keefektifan China dalam menangani kebakaran hutan dan menggunakan data terkait untuk menggambarkan citra sebuah negara yang bertanggung jawab secara ekologis.
"Berdasar perkiraan, rata-rata emisi karbon dioksida tahunan yang disebabkan oleh kebakaran hutan di China dari 2000-2021 mencapai sekitar 15 juta ton, hanya menyumbang 0,2 persen dari emisi kebakaran hutan dunia, menunjukkan peran China yang bertanggung jawab sebagai sebuah negara besar."
Klaim itu menyesatkan.
Penggunaan data yang menunjukkan rendahnya emisi CO2 dari kebakaran hutan adalah upaya untuk menutupi peran China sebagai penghasil polutan utama di dunia dan bukan indikasi dampak China secara keseluruhan yang menghancurkan terhadap perubahan iklim.
Bank Dunia melaporkan pada 2022 bahwa China menghasilkan 27 persen dari karbon dioksida dan sepertiga dari emisi gas rumah kaca dunia. Amerika Serikat menyusul sebagai penghasil 14% karbon dioksida dunia, dan India di urutan ketiga dengan 8%.
"Tanpa kesuksesan China beralih ke ekonomi rendah karbon, mencapai tujuan-tujuan iklim global akan mustahil," kata Bank Dunia.
Alasan utama China puncaki daftar penghasil CO2 terbesar di dunia adalah ketergantungannya terhadap batu bara.
Pada 2021, Presiden China Xi Jinping berjanji untuk mengontrol ketat batu bara dan memangkas penggunaannya mulai 2026. Dengan demikian, emisi CO2 China akan mencapai puncak sebelum 2030.
Namun, pada 2022, China tidak mampu memenuhi permintaan energi yang tinggi yang disebabkan oleh cuaca ekstrem hingga mengakibatkan kurangnya pasokan listrik yang meluas. Sejak itu, China (kembali) mendorong persetujuan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara untuk mengatasi masalah-masalah kapasitas pasokan listrik.
Tren itu berlanjut tahun ini. Kelompok lingkungan hidup Greenpeace melaporkan bahwa pemerintah-pemerintah daerah di China menyetujui 20,45 gigawatts PLTU baru pada tiga bulan pertama 2023, naik dari 8,6GW pada periode yang sama 2022. Pada 2021, total pembangunan PLTU di China yang disetujui sebesar 18GW.
"Berlanjutnya ketidakefisienan dalam sistem energi China adalah jalan buntu," kata Greenpeace. "Dan hal itu berisiko menimbulkan bencana-bencana iklim, beban keuangan and mengunci kita ke dalam jalur (emisi) karbon tinggi."
Kelompok-kelompok lingkungan lainnya berargumen bahwa seluruh upaya China untuk memerangi perubahan iklim tidak cukup. Climate Action Tracker, sebuah proyek yang didanai sejumlah yayasan dan pemerintah dunia yang melacak kemajuan mencapai tujuan-tujuan Perjanjian Paris, menilai seluruh upaya China dalam memerangi perubahan iklim dan mengontrol emisi gas rumah kaca sebagai "sangat tidak memadai."
Penting untuk dicatat bahwa kebakaran hutan hanyalah satu komponen dari keseluruhan emisi karbon dioksida, dan dampak kebakaran hutan relatif kecil dibandingkan dengan aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti penggunaan bahan bakar fosil, yaitu pembakaran batu bara, gas alam, dan produk minyak.
Para pakar barat memandang kebakaran hutan sebagai bagian alami dari ekosistem. Artinya kebakaran hutan biasanya memang dibiarkan jika tidak berdampak pada hidup manusia atau properti. Di China, pihak berwenang setempat biasanya mengerahkan pemadam kebakaran untuk memadamkan kebakaran, meski kebakaran itu terjadi di tempat-tempat terpencil.
Akibatnya, emisi CO2 dari kebakaran hutan di China sangat rendah dibandingkan di negara-negara lain.
Meskipun Polygraph.info tidak dapat memverifikasi pernyataan harian Global Times bahwa kebakaran hutan di China hanya menyumbang 0,2% dari emisi kebakaran hutan global, James MacCarthy, peneliti di Global Forest Watch, sebuah situs sumber terbuka untuk memantau kondisi hutan global, mengatakan kepada Polygraph.info bahwa perkiraan surat kabar itu tampaknya masuk akal.
Dengan menggunakan data GFW tentang kehilangan lahan hutan akibat kebakaran selama 2001-2022, MacCarthy menemukan bahwa selama periode tersebut, China kehilangan sekitar 945.000 hektar kawasan hutan karena kebakaran, dibandingkan dengan total 126.000.000 (126 juta) hektar lahan yang hilang akibat kebakaran hutan secara global.
“Itu berarti Cina (hanya) menyumbang sekitar 0,75 persen dari kehilangan kawasan hutan global akibat kebakaran dari tahun 2001 hingga 2022. Dengan asumsi ada beberapa perbedaan dalam definisi tentang apa yang dimaksud dengan hutan, dan bergantung pada apakah mereka melihat perkiraan di atas tanah/di bawah tanah. emisi karbon, perkiraan mereka tampaknya masuk akal,” kata MacCarthy.
Sementara perkiraan angka (emisi karbon) Global Times masuk akal, hal itu tidak otomatis menunjukkan “peran China yang bertanggung jawab sebagai sebuah negara besar,” seperti yang diklaim oleh publikasi tersebut.
Karbon dioksida adalah gas yang paling bertanggung jawab terhadap pemanasan global. CO2 memiliki kemampuan untuk menjebak radiasi matahari dan dengan demikian menyebabkan suhu atmosfer bumi meningkat.
Pada saat yang sama, China juga banyak berinvestasi dalam energi terbarukan. Menurut BloombergNEF, China telah banyak berinvestasi dalam energi bersih dan terbarukan, menghabiskan sekitar $546 miliar (sekitar Rp 8.300 Triliun) pada tahun 2022 untuk energi matahari dan angin, kendaraan listrik, dan baterai.
Pada tahun yang sama, AS menginvestasikan $141 miliar (sekitar Rp 2.140 Triliun). Negara-negara Uni Eropa, dipandang sebagai satu blok, menghabiskan $180 miliar (sekitar Rp 2.740 Triliun) untuk transisi energi.