Pemilihan umum (pemilu) Kamboja pada 23 Juli, yang digambarkan oleh media sebagai "balapan satu kuda" berakhir dengan kemenangan telak Partai Rakyat Kamboja (Cambodian People's Party/CPP) yang berkuasa.
Para analis memperkirakan dengan tepat bahwa Hun Sen, yang sudah berkuasa selama 38 tahun di Kamboja, akan menyerahkan tongkat estafet kepada putranya, Hun Manet, yang mengepalai militer Kamboja.
Pada 26 Juli 2023, Hun Sen mengumumkan secara resmi pengunduran dirinya dan Hun Manet akan mengambil alih tampuk kepemimpinan dalam tiga minggu. Hun Sen mengatakan dia akan terus "mengontrol politik sebagai ketua partai yang berkuasa".
Pemerintah bersikeras bahwa pemilu adalah perwujudan "demokrasi Kamboja yang bergelora."
"Proses pemungutan suara memberi contoh pluralisme politik sejati, yang menawarkan rakyat Kamboja dan partai politik mereka masing-masing dengan kesempatan yang sama dan adil untuk terlibat dalam kontes politik di dalam batasan-batasan hukum," kata Kementerian Luar Negeri pada 25 Juli lalu.
Pernyataan itu salah.
Menjelang pelaksanaan pemilu, pihak berwenang Kamboja secara sistematis berupaya menghapuskan pluralisme politik. Mereka melarang satu-satunya partai oposisi yang layak untuk ikut pemilu, membuat sistem peradilan agar tidak berpihak kepada tokoh-tokoh politik oposisi, menutup salah satu dari sejumlah media independen, serta mengkriminalisasi berbagai protes politik yang sah.
Hasil pemilu jauh dari hasil pluralistik dengan CPP menguasai 120 dari 125 kursi di parlemen. Partai Front Nasional untuk Kamboja yang Independen, Netral, dan Kooperatif (FUNCINPEC) hanya mendapat lima kursi. Partai bangsawan ini "telah berkembang menjadi kekuatan oposisi yang jinak yang jarang menantang aksi-aksi partai yang berkuasa," kata kantor berita the Associated Press.
Pada pemilu 2018, CPP meraup seluruh 125 kursi di Majelis Nasional (majelis rendah) dan seluruh 58 kursi terpilih di Senat. Aksi sapu bersih itu terjadi setelah Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (Cambodia National Rescue Party /CNRP) dibubarkan pada 2017. Pembubaran CNRP membuka jalan bagi Hun Sen untuk mencalonkan kembali tanpa oposisi.
Kemenangan kecil FUNCINPEC dalam pemilu baru-baru ini membantu Pemerintah Kamboja untuk secara resmi mengakhiri apa yang disebut oleh Luke Hunt, koresponden Asia Tenggara untuk the Diplomat, "status negara satu partai yang tidak diinginkan" oleh Kamboja.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) berpendapat pemilu tersebut tidak bebas dan adil. Pemilu itu menerapkan pembatasan visa bagi "para individu yang merusak demokrasi dan menerapkan jeda untuk sejumlah program bantuan asing tertentu."
Sementara, Beijing memuji pemilu itu. Presiden Xi Jinping menyebut langkah-langkah yang telah diambil Kamboja tersebut di bawah "kepemimpinan tepat" oleh Hun Sen.
Asian Network For Free Elections yang bermarkas di Bangkok mengatakan “sangat terganggu” oleh keraguan tentang independensi dan netralitas Komite Pemilihan Nasional (NEC), mencatat adanya bukti yang menunjukkan “bias yang jelas” terhadap CPP.
Freedom House, sebuah kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Washington, mengatakan CPP memiliki “kontrol penuh” atas sembilan kursi NEC.
Pada 15 Mei, NEC mendiskualifikasi Partai Candlelight (Cahaya Lilin), “yang dinilai sebagai satu-satunya partai oposisi yang efektif di negara itu, dengan mengemukakan alasan kegagalan partai itu untuk menyerahkan dokumen-dokumen pendaftaran yang diperlukan."
Reuters menggambarkan Partai Candellight sebagai "reinkarnasi" dari (partai oposisi) CNRP yang sudah dilemahkan.
Partai Candlelight telah diizinkan untuk mengikuti pemilihan lokal sebelumnya, dan memiliki surat dari Kementerian Dalam Negeri, yang bertugas mengurusi pendaftaran partai-partai politik. Kemendagri Kamboja mengonfirmasikan bahwa partai tersebut telah terdaftar pada tahun 1998.
Partai Candlelight mengatakan sertifikat asli yang mengonfirmasi pendaftarannya hilang setelah polisi menyita kantor mereka saat penggerebekan.
Seperti yang sebelumnya dilaporkan oleh Polygraph.info dan lainnya, Hun Sen telah mengancam akan melakukan kekerasan fisik dan tindakan hukum terhadap anggota oposisi yang mengkritik partai atau pemerintahannya yang berkuasa.
Para anggota Partai Candlelight telah menghadapi kedua ancaman tersebut.
Setelah melarang Partai Candlelight, pihak berwenang juga berusaha menghilangkan cara-cara lain untuk memprotes pemilu dengan mengamandemen undang-undang pemilu untuk menghukum mereka yang mendorong boikot pemilu.
Pada 15 Juli, dua anggota senior Partai Candlelight ditangkap karena diduga menghasut anggota partai untuk memberikan suara yang rusak atau batal.
Tanpa keikutsertaaan partai oposisi yang layak, analis mengatakan bahwa jumlah pemilih yang rendah akan mengancam legitimasi pemilu.
Amnesty International mengatakan pemilihan terjadi dalam keadaan di mana orang merasa mereka "dipaksa untuk berpartisipasi dalam pemilihan ini meskipun partai pilihan mereka tidak ada dalam surat suara."
Hun Sen memperingatkan mereka yang tidak memilih akan dikucilkan secara sosial.
“Jika 98 dari 100 keluarga di sebuah desa ikut memilih, dua keluarga yang memboikot pemilu dapat diisolasi dan tindakan mereka dapat dilihat sebagai anti pemilu dan mereka bahkan dapat dikaitkan dengan Pengkhianat Generasi Ketiga [yaitu pemimpin partai CNRP yang diasingkan, Sam Rainsy],” kata Hun Sen pada bulan Juni.
Kementerian Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Kamboja membanggakan jumlah pemilih yang tinggi, dengan perkiraan 8.213.260 dari 9.710.655 pemilih terdaftar (84,58%) hadir untuk memberikan suara.
Menurut perkiraan, sekitar 440.000 surat suara tidak sah.
Juru bicara partai CPP, Sok Ey San mengatakan bahwa tidak semua surat suara yang tidak sah tersebut sengaja dirusak.
Memboikot pemilu atau merusak surat suara adalah sebuah bentuk protes politik. Seorang penduduk Siem Reap mengatakan kepada Radio Free Asia yang didanai AS, sebuah layanan berita sejenis VOA, bahwa dia telah dipaksa untuk memberikan suara oleh otoritas lokal dan sebagai respons dia telah merusak surat suaranya.
Meski (partai CPP) menang telak, polisi Kamboja tetap melacak para aktivis oposisi yang merusak surat suara mereka.
Perdana Menteri Hun Sen telah menuntut agar orang-orang yang merusak surat suara mereka meminta maaf secara terbuka.