Taliban menandai Hari Pendidikan Internasional yang jatuh pada 24 Januari melalui cuitan juru bicaranya, Zabihullah Mujahid:
“Kementerian Pendidikan memastikan kepada rakyatnya dan komunitas internasional bahwa Khilafah Islam menganggap pendidikan penting untuk setiap warga Afghanistan.”
Pernyataan ini salah.
Setelah merebut kendali atas Afghanistan pada 2021, Taliban justru melarang anak perempuan untuk mengenyam pendidikan yang dimulai dari tingkat sekolah menengah.
Sejumlah keluarga yang ingin mendidik putri mereka, dan guru yang bersedia mempertaruhkan nyawa dan kebebasan mereka, harus membuat jaringan kecil sekolah rahasia di seluruh negeri, agar anak perempuan di Afghanistan tetap bisa belajar.
Anak-anak perempuan Afghanistan belajar di kamar tidur, ruang bawah tanah, dan ruang keluarga yang diubah menjadi kelas, seperti yang dilaporkan reporter VOA Sarah Zaman pada 22 Januari.
Pada Desember, Taliban memperluas pembatasan di sektor pendidikan. Pelarangan siswa perempuan untuk mengenyam pendidikan tinggi tersebut diterapkan tanpa batas waktu. Namun, BBC melaporkan bahwa kemungkinan kebijakan itu dapat dicabut kemudian.
Ismail Mashal, seorang dosen yang mengelola sebuah universitas swasta di Kabul, mengatakan kepada BBC bahwa sebelum pelarangan diberlakukan, kampusnya memiliki sekitar 450 siswa perempuan yang mengambil kelas di berbagai disiplin ilmu, seperti jurnalisme, ekonomi, teknik, dan ilmu komputer.
Namun, kata Mashal, Kementerian Pendidikan Taliban berpendapat bidang tersebut tidak sesuai untuk perempuan berdasarkan hukum Islam dan budaya Afghanistan.
Mashal kemudian melakukan perubahan sistem pengajaran menyusul pemberlakuan aturan tersebut. Ia beralih ke pengajaran jarak jauh, menyampaikan kuliah melalui video.
"Saya tahu bahwa yang saya lakukan berisiko," katanya kepada BBC. "Setiap pagi, saya mengucapkan selamat tinggal kepada ibu dan istri saya dan memberi tahu mereka bahwa saya mungkin tidak kembali. Namun, saya siap dan bersedia mengorbankan hidup saya untuk 20 juta warga perempuan dan anak perempuan Afghanistan dan untuk masa depan kedua anak saya,” ujarnya.
Larangan di bidang pendidikan bukan satu-satunya pembatasan yang diterapkan Taliban pada kaum perempuan dan anak perempuan.
Pada 20 Januari, delegasi PBB yang berkunjung ke Afghanistan melaporkan: “Perempuan dan anak perempuan juga diperintahkan untuk berhenti menggunakan taman, pusat kebugaran, pemandian umum, dan dilarang bekerja di sebagian besar bidang pekerjaan, bersama dengan pembatasan lain, sejalan dengan interpretasi pihak berwenang atas hukum syariah (Islam).”
Pemimpin delegasi mengatakan bahwa Taliban juga melarang perempuan untuk bekerja di organisasi nonpemerintah, baik skala lokal maupun internasional, yang memberikan bantuan kepada jutaan perempuan di negara tersebut.
Kebijakan tersebut membawa implikasi pada sekitar 11 juta perempuan Afghanistan yang rentan, karena mereka tidak diizinkan menerima bantuan dari pekerja laki-laki, termasuk pasokan medis dan kebersihan, uang tunai dan makanan untuk keluarga mereka yang masuk dalam kategori miskin.
“Hal ini terjadi di tengah suhu udara (yang berada) di bawah nol yang mematikan, yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 100 orang di seluruh negeri, jutaan orang menghadapi kelaparan parah dan pemadaman listrik,” lapor media Inggris Telegraph pada 24 Januari.
Taliban juga melarang perempuan untuk menjabat menjadi hakim. Taliban setidaknya telah membunuh dua hakim perempuan, sementara hakim perempuan lainnya memilih untuk meninggalkan negara itu. Sekitar 70 orang di antaranya masih terperangkap di Afghanistan, hidup dalam keadaan bahaya, First Post, sebuah situs berita India, melaporkan pada 25 Januari.
Departemen Luar Negeri AS mengecam pengabaian hak-hak perempuan yang dilakukan Taliban. Juru bicara Deplu AS Nick Price mengatakan para pejabat sedang berupaya untuk memberikan bantuan yang tidak memperburuk kondisi kemanusiaan di negara itu.