Direktur Kantor Urusan Hong Kong dan Makau Dewan Negara China Xia Baolong pada 13 Januari menyampaikan pidato yang menyerukan penerapan Undang-Undang Keamanan Nasional (National Security Law/NSL) Hong Kong secara “menyeluruh dan akurat.”
Beijing menerapkan UU tersebut di Hong Kong pada Juni 2020, setelah aksi protes anti-pemerintah mengguncang wilayah bekas jajahan Inggris itu pada tahun sebelumnya. Aksi demonstrasi tersebut tercatat sebagai gerakan terbesar dalam sejarah kota itu.
UU Keamanan Nasional tersebut memberi Beijing kekuasaan untuk membungkam dan menghukum oposisi terkait kasus perbedaan pendapat yang berseberangan dengan Partai Komunis China yang berkuasa. Undang-undang itu dapat menjatuhkan hukuman berat – hingga hukuman seumur hidup – untuk serangkaian pelanggaran keamanan nasional yang didefinisikan secara luas.
Dalam pidatonya, Xia mengatakan regulasi itu dengan mujarab “memulihkan tatanan sosial” di Hong Kong:
“Di Hong Kong saat ini, supremasi hukum dijaga, keadilan ditegakkan, dan hak rakyat Hong Kong yang sah dilindungi dengan lebih baik di lingkungan yang lebih aman.”
Pernyataan itu tidak benar.
Sebaliknya, seperti yang dilaporkan Polygraph.info sebelumnya, ada banyak bukti bahwa UU Keamanan Nasional telah melemahkan keadilan dan semakin mengikis hak dan kebebasan warga Hong Kong.
UU Keamanan Nasional mengkriminalisasi empat kegiatan: praktik pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan entitas asing. Pelanggaran-pelanggaran itu didefinisikan dengan bahasa yang luas yang memberi otoritas kepada pihak berwenang untuk menjatuhkan hukuman berat, bahkan terhadap kasus perbedaan pendapat yang dilakukan secara damai.
The New York Times melaporkan pada 2020:
“Di bawah undang-undang baru, merusak gedung-gedung pemerintah akan dianggap sebagai tindakan subversi yang dapat dihukum penjara seumur hidup dalam kasus-kasus 'berat.' Merusak fasilitas transportasi umum akan dianggap sebagai kegiatan terorisme yang dapat dihukum penjara seumur hidup jika merugikan orang lain atau menyebabkan kerusakan signifikan pada properti publik atau pribadi.”
Sejak UU tersebut berlaku secara efektif, Hong Kong telah menangkap 213 orang dalam kurun waktu selama tiga tahun, yaitu Juni 2020 hingga 25 September 2022, atas dugaan melakukan kejahatan keamanan nasional. Dari jumlah tersebut, 125 di antaranya telah didakwa dan 30 lainnya dinyatakan bersalah, demikian laporan majalah online ChinaFile. Media tersebut mengutip data kepolisian Hong Kong.
Penangkapan tersebut dilakukan oleh Departemen Keamanan Kepolisian Nasional (National Security Department/NSD) Hong Kong, sebuah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU tersebut. Aktivis prodemokrasi itu ditangkap dengan alasan “sebagian besar terkait dengan UU Keamanan Nasional, tetapi juga karena kejahatan lain, seperti penghasutan,” kata majalah itu.
Undang-undang Penghasutan Hong Kong, peninggalan dari masa kolonial kota itu, tidak digunakan selama lebih dari setengah abad hingga meletusnya aksi demonstrasi besar-besaran yang mengguncang wilayah itu pada 2019. Departemen Keamanan Kepolisian Nasional menangkap dengan menggunakan UU Keamanan Nasional atau Undang-Undang Penghasutan dan undang-undang pidana lainnya, sebagai rujukan.
ChinaFile mengutip data statistik kepolisian, melaporkan sebanyak 75 orang ditangkap karena tuduhan materi orasi yang dinilai "menghasut" atau "memisahkan diri", 69 di antaranya karena tuduhan "subversi", 19 karena tuduhan "kolusi" dengan entitas asing dan 19 lainnya karena tuduhan "terorisme.”
“Sebagian besar penangkapan menargetkan kegiatan yang merupakan pelaksanaan hak politik dasar dan hak-hak sipil yang damai dan dilindungi secara konstitusional di yurisdiksi lain,” lapor ChinaFile. “Padahal, aktivitas semacam itu telah dilindungi di Hong Kong sendiri sebelum UU Keamanan Nasional diberlakukan pada Juli 2020.”
Pada 17 Januari, otoritas Hong Kong kembali menangkap enam orang yang ditengarai sebagai aktivis prodemokrasi. Mereka dituding memproduksi, menerbitkan, dan menjual buku “menghasut” tentang protes prodemokrasi pada 2019.
Aparat Departemen Keamanan Kepolisian Nasional menggerebek sebuah kios di sebuah pekan raya di distrik Mong Kok Hong Kong, kemudian menahan tiga orang. Tiga orang lainnya ditangkap di Kowloon dan New Territories, Hong Kong Free Press (HKFP) melaporkan. Keenamnya tetap ditahan karena dicurigai terlibat dalam "kegiatan dengan niat menghasut.”
Menurut sejumlah pemberitaan, pihak kepolisian mengatakan buku itu mengadvokasi kemerdekaan Hong Kong dan "menghasut orang lain untuk menggulingkan pemerintah pusat dan Hong Kong."
“(Buku)setebal 400 halaman yang memuat banyak foto itu menyimpan catatan serangkaian peristiwa aksi unjuk rasa yang digelar pada 2019, dan sampulnya adalah foto bentrok antara polisi dengan pengunjuk rasa dan sebuah bendera bertuliskan slogan yang saat ini dilarang 'Bebaskan Hong Kong, Revolusi Zaman Kita' terlihat,” The Guardian melaporkan.
“Dulu, produk politik dan satir menjadi topik utama di pameran Tahun Baru Imlek,” tulis HKFP.
Seorang mahasiswa, Lui Sai-yu, didakwa menghasut masyarakat Hong Kong agar memisahkan diri pada April 2021. Tuduhan itu berdasarkan sejumlah pesan Lui yang menyerukan "tindakan yang harus diambil untuk mengubah rezim secara tidak sah" di Hong Kong. Dia dijatuhi hukuman lima tahun penjara pada April 2022.
“Pengadilan mendengar bahwa Lui telah mengunggah pesan seperti 'Bebaskan Hong Kong, Revolusi Kita' dan 'kemerdekaan Hong Kong. Satu-satunya jalan keluar,’ yang merupakan slogan protes selama unjuk rasa prodemokrasi pada 2019,” lapor Reuters. Lui telah mendekam di penjara sejak ia ditangkap pada September 2020.
Akun-akun yang menyerukan aksi prodemokrasi serupa bertebaran. Informasi tentang 213 penangkapan aktivis prodemokrasi yang dilakukan oleh Departemen Keamanan Kepolisian Nasional dapat ditemukan di sini.
Pemerintah Inggris turut buka suara melihat kondisi terakhir wilayah bekas jajahannya itu. London menegaskan kembali keprihatinannya atas pembungkaman Beijing terhadap hak dan kebebasan di Hong Kong.
“Otonomi Hong Kong memburuk, dan efek mengerikan dari Undang-Undang Keamanan Nasional mempengaruhi seluruh aspek masyarakat,” tulis Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly dalam laporan enam bulan pertama 2022 tentang Hong Kong.
“Kebebasan sedang dikikis secara sistematis oleh Beijing di berbagai bidang, semakin membatasi kehidupan warga sipil Hong Kong.”
“Pihak berwenang terus menindak kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berkumpul. Individu dan kelompok masyarakat sipil menyensor diri mereka sendiri, dan sebagian besar outlet berita independen terpaksa ditutup.”
“Otoritas Hong Kong terus menangkap dan mengadili mereka yang berbeda pendapat, termasuk tokoh terkenal, aktivis pro-demokrasi, dan politisi.”
Laporan tersebut merinci perkembangan politik yang signifikan selama periode tersebut, termasuk penutupan situs web kelompok advokasi Hong Kong Watch yang berbasis di Inggris. Selain itu juga menyoroti pemilihan tunggal tokoh berhaluan keras pro-Beijing John Lee sebagai kepala eksekutif baru Hong Kong, penangkapan Kardinal Joseph Zen Ze-kiun oleh Departemen Keamanan Kepolisian Nasional atas dugaan berkolusi dengan entitas asing. Inggris juga menggarisbawahi isu pelarangan peringatan tragedi pembantaian Lapangan Tiananmen 1989 yang digelar di di Taman Victoria Hong Kong setiap tahun.
Pada 30 Maret 2022, dua hakim terkemuka Inggris, termasuk ketua Mahkamah Agung Inggris Robert Reed, mengundurkan diri sebagai hakim tidak tetap di pengadilan tertinggi Hong Kong.
"Saya telah menyimpulkan, dan setuju dengan pemerintah, bahwa hakim Mahkamah Agung tidak dapat terus duduk di Hong Kong tanpa terlihat mendukung pemerintahan yang telah menyimpang dari nilai-nilai kebebasan politik, dan kebebasan berekspresi," kata Reed dalam sebuah pernyataan.
Pengunduran diri Reed bertepatan dengan penegasan Perdana Menteri Inggris saat itu, yaitu Liz Truss, yang menyatakan bahwa Hong Kong telah mencapai "titik kritis" di mana hakim Inggris tidak lagi dapat dipertahankan untuk bertugas di sana. Mempertahankan posisi hakim “akan berisiko melegitimasi penindasan,” katanya.
Hakim Australia James Spigelman juga mengundurkan diri dari pengadilan tinggi Hong Kong pada September 2020. Dia mengatakan alasan pengunduran diri itu “terkait dengan isi Undang-Undang Keamanan Nasional,” lapor Australian Broadcasting Corporation.
Sementara itu, mantan hakim pengadilan tinggi Australia Patrick Keane diangkat menjadi hakim tidak tetap pengadilan banding akhir Hong Kong (Court of Final Appeal) pada 13 Januari. Ia bergabung dengan 10 hakim asing tidak tetap lainnya di pengadilan tertinggi kota itu.
Keane menepis kritik terhadap penunjukan tersebut, dengan alasan bahwa lebih baik bagi hakim asing untuk mengambil dan memainkan peran daripada “meninggalkan pertempuran,” lapor The Guardian pada 17 Januari.
Dalam kasus keamanan nasional tingkat tinggi yang melibatkan taipan media Hong Kong Jimmy Lai, pemerintah Hong Kong berkali-kali berusaha menghalangi pengacara Inggris Timothy Owen mewakili Lai, dengan alasan masalah keamanan nasional. Lai sendiri adalah seorang kritikus terkemuka Partai Komunis China.
“Penggunaan pengacara asing oleh jaksa dan pembela telah lama menjadi bagian dari tradisi aturan hukum bekas jajahan Inggris,” lapor Reuters.
Setelah pengadilan setempat mengatakan Owen dapat membela Lai, Kepala Eksekutif Hong Kong John Lee pada November 2022 meminta Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (National People’s Congress Standing Committee/NPCSC), badan legislasi tertinggi China, untuk mempertimbangkan masalah tersebut.
Pengadilan Tinggi Hong Kong kemudian menunda persidangan yang semula dijadwalkan dimulai pada 13 Desember menjadi 25 September 2023. Penundaan tersebut memberikan waktu bagi Beijing untuk mengambil keputusan.
Pada 30 Desember, Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional memberi Lee wewenang untuk melarang pengacara asing menangani kasus keamanan nasional, "menghapus keputusan pengadilan kota.”
Langkah itu menimbulkan kekhawatiran tentang independensi peradilan Hong Kong, Reuters melaporkan:
“The NPCSC ruling said Hong Kong courts must now obtain approval from the chief executive before admitting any foreign lawyer without local qualifications to work on national security cases.
“Putusan NPCSC mengatakan pengadilan Hong Kong sekarang harus mendapatkan persetujuan dari kepala eksekutif sebelum menerima pengacara asing tanpa kualifikasi lokal untuk menangani kasus keamanan nasional.
“If the courts do not do so, the city's national security committee, which is led by the chief executive and Beijing's liaison office chief, will make a decision on the matter.
“Jika pengadilan tidak melakukannya, komite keamanan nasional kota, yang dipimpin oleh kepala eksekutif dan kepala kantor penghubung Beijing, akan membuat keputusan terkait masalah tersebut.
“Under the national security law, the decisions made by the committee cannot be challenged by a judicial review.”
“Di bawah Undang-Undang Keamanan Nasional, keputusan yang dibuat oleh komite tidak dapat dibatalkan oleh peninjauan kembali (judicial review).”
Lee menekankan bahwa keputusan tersebut hanya akan menyangkut kasus keamanan nasional.
Lai telah ditahan polisi sejak Desember 2020 karena didakwa telah terlibat dalam unjuk rasa aksi prodemokrasi pada 2019 dan mengadakan serangkaian pertemuan ilegal. Dia sekarang menghadapi kemungkinan hukuman penjara seumur hidup di bawah UU Keamanan Nasional atas dakwaan berkolusi dengan pihak asing. Dia telah dijatuhi hukuman tambahan selama lima tahun sembilan bulan penjara pada 10 Desember atas tuduhan penipuan.
“Para kritikus mengatakan perlakuan terhadap Lai benar-benar bertentangan dengan semangat supremasi hukum dan mencerminkan tekad pihak berwenang untuk membungkam kritikus China terkenal itu untuk selamanya,” lapor The Guardian.
Pada Oktober 2022, posisi Hong Kong pada indeks aturan hukum Proyek Keadilan Internasional merosot tiga nomor menjadi peringkat ke- 22. “Skor kota (Hong Kong) turun 2,8 persen dari tahun lalu, yang merupakan penurunan terbesar kedua di kawasan Asia-Pasifik, setelah Myanmar,” lapor HKFP.
Eric Lai, rekan hukum Hong Kong di Pusat Hukum Asia Universitas Georgetown, menulis di majalah The Diplomat:
“Kontradiksi yang melekat antara sistem hukum umum Hong Kong – yang menghargai perlindungan hak asasi manusia internasional dan prinsip-prinsip hukum umum – dan legalitas otoriter sosialis China, yang tidak menyetujui independensi yudisial dan liberalisme politik, telah berulang kali membuat sistem hukum Hong Kong kacau balau dalam 25 tahun terakhir.”
Laporan khusus Reuters yang diterbitkan pada akhir tahun lalu menyimpulkan bahwa telah terjadi “kampanye intimidasi” terhadap para pengacara Hong Kong “yang menangani kasus hak asasi manusia, yang mengkritik Undang-Undang Keamanan Nasional yang diberlakukan China atau meningkatkan peringatan tentang ancaman terhadap supremasi hukum. ” Akibatnya, para pengacara tersebut memilih hengkang dari Hong Kong.
Hal itu terlepas dari banyak pula pengacara hak asasi manusia yang mendekam dalam bui atas tuduhan terkait keamanan nasional, sebagai buntut dari keterlibatan mereka dalam demonstrasi pada 2019.
Laporan Pusat Hukum Asia Universitas Georgetown yang diterbitkan pada 2021 menyimpulkan bahwa UU Keamanan Nasional merupakan “salah satu ancaman terbesar terhadap hak asasi manusia dan supremasi hukum di Hong Kong sejak penyerahan wilayah itu pada 1997” dari pemerintahan Inggris ke China.
Pada 16 Januari, China menunjuk Zheng Yanxiong sebagai Direktur Kantor Penghubung Hong Kong, pos utama Beijing di Hong Kong. Zheng sebelumnya menjabat menjadi Kepala Keamanan Kepolisian Nasional Beijing di Hong Kong sejak 2020.
Amerika Serikat (AS) telah memberikan sanksi kepada Zheng atas peran utamanya dalam menumpas berbagai demonstrasi pada 2019. Para pakar melihat promosi jabatan tersebut sebagai sinyal dari China bahwa mereka akan mempertahankan garis keras di Hong Kong.