Thach Setha, Wakil presiden partai oposisi pemerintah Kamboja, Partai Cahaya Lilin (Candlelight Party/CP), ditangkap atas dugaan kasus pemalsuan cek pada 16 Januari.
The Candlelight Party blasted the case, claiming Thach Setha’s arrest is intimidation aimed at discouraging “the Cambodian people from engaging in political activities with the Candlelight Party.”
Partai Cahaya Lilin mengecam insiden tersebut. Mereka mengklaim penangkapan Thach Setha merupakan bentuk intimidasi penguasa yang bertujuan untuk mencegah “rakyat Kamboja terlibat dalam kegiatan politik bersama Partai Cahaya Lilin.”
Asian Network for Free Elections (ANFREL) yang berbasis di Bangkok menyatakan keprihatinannya atas penangkapan tersebut.
“Penahanan pemimpin oposisi menjelang pemilu yang akan diselengarakan pada bulan Juli kembali menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana komitmen pemerintah Kamboja terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum,” kata ANFREL dalam sebuah pernyataan.
Sok Eysan, juru bicara partai yang berkuasa, Partai Rakyat Kamboja (Cambodian People's Party/CPP), yang juga merupakan partai Perdana Menteri Hun Sen, merespons pernyataan tersebut.
“Mereka yang menyebut penangkapan ini bermotif politik sama sekali tidak mengetahui fakta-fakta atas perbuatan Thach Setha, karena ia mengeluarkan cek-cek palsu. Siapa pun yang melanggar hukum tidak memiliki afiliasi politik di mata pengadilan, yang (hanya) mengambil tindakan secara prosedural dan berdasarkan Undang-Undang,” tulisnya.
Pernyataan Sok Eysan tersebut tidak tepat. Faktanya, pemerintah Hun Sen telah berulang kali menggunakan sistem peradilan Kamboja untuk menghadapi tokoh-tokoh oposisi politik. Dalam pemilu mendatang, putra Hun Sen yang bernama Hun Manet, diperkirakan akan meneruskan tongkat estafet kekuasaan ayahnya.
Terlepas dari klaim Sok Eysan atas ketidakberpihakan lembaga yudisial terhadap kasus hukum para tokoh oposisi, para analis menempatkan Kamboja sebagai salah satu dari negara-negara terburuk di dunia dalam hal supremasi hukum.
“Otoritas Kamboja mengikis apa yang tersisa dari kebebasan demokrasi di negara itu dengan melecehkan, mengancam, dan menuntut para politisi dan aktivis oposisi, terutama para pemimpin lokal dan anggota oposisi Partai Cahaya Lilin dengan dakwaan pidana palsu,” ujar kelompok hak asasi manusia yang berbasis di New York, Human Rights Watch (HRW), pada 12 Januari.
Kamboja dijadwalkan akan menggelar pemungutan suara pada 23 Juli. Hun Sen, yang telah memerintah negara itu selama 37 tahun, telah meningkatkan kekuasaannya dalam melawan saingannya di Partai Cahaya Lilin, yang muncul sebagai kekuatan oposisi utama Kamboja.
Para pengamat mengatakan Hun Manet, komandan tentara Kamboja, telah dipersiapkan untuk menggantikan sang ayah. Media pro-pemerintah Kamboja setuju dengan hal tersebut. Khmer Times yang merupakan sekutu CPP memberitakan serial biografi yang terdiri dari tiga bagian tentang “Mengapa Hun Manet Menjadi Perdana Menteri Masa Depan.”
Pada Agustus 2022, Hun Sen memperingatkan “perang akan pecah jika CPP tidak berkuasa.”
Pada bulan Oktober, Hun Sen mengancam akan membubarkan partai politik yang terkait dengan Sam Rainsy, salah satu pendiri Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) yang dilarang pemerintah.
Thach Setha sebelumnya adalah anggota parlemen dari CNRP. Pada pemilu lokal yang diselenggarakan pada 2017, CNRP berhasil mengantongi 44 persen suara, terlepas dari kondisi di Kamboja yang dianggap Human Rights Watch sebagai “menentang kebebasan berbicara dan partisipasi politik sejati”.
Pemimpin CNRP Kem Sokha kemudian ditangkap atas tuduhan makar, dan pada November 2017, Mahkamah Agung Kamboja memutuskan untuk membubarkan CNRP.
Vitit Muntarbhorn, pelapor khusus hak asasi manusia PBB di Kamboja, mengatakan CNRP “dibubarkan secara tidak adil atas perintah pengadilan … menyebabkan distorsi politik dan hal-hal lain yang merusak imbauan untuk menjalankan praktik demokrasi yang pluralistik.”
Pembubaran CNRP menjadika Kamboja negara yang hanya memiliki partai tunggal. Hun Sen dari CPP menang telak pada Pemilu 2018 dengan memenangkan seluruh kursi di Majelis Nasional sebanyak 125. Para pengamat internasional berpendapat pesta demokrasi tersebut dilakukan secara tidak bebas dan tidak adil.
Pembubaran CNRP berkaitan erat dengan diadilinya ratusan anggota CNRP.
Pada 22 Desember 2022, sebanyak 36 pemimpin dan aktivis CNRP dihukum atas tuduhan konspirasi. Mereka dituduh telah berusaha membantu anggota CNRP yang diasingkan untuk kembali ke Kamboja.
Liga Kamboja untuk Kemajuan dan Pembelaan Hak Asasi Manusia, sebuah organisasi hak asasi manusia yang berbasis di Ibu Kota Phnom Penn, menyimpulkan kasus tersebut sebagai “vonis keempat dalam lima persidangan massal yang diinisiasi untuk melawan 158 pemimpin (oposisi) dan pendukung CNRP sejak November 2020.”
Partai Cahaya Lilin yang dibentuk pada 1995 tidak aktif sejak 2012 dan baru kembali ke kancah politik pada Oktober 2021.
Setelah mengeluarkan ancaman pada Oktober, Hun Sen kembali mengancam pada awal bulan ini. Ia mengatakan mereka yang mengkritik CCP akan menghadapi pilihan antara harus berhadapan dengan pengadilan atau kekerasan.
"Anda menghadapi tuntutan hukum di pengadilan, atau saya memobilisasi massa CPP untuk melakukan demonstrasi dan memukuli kalian," ancam Hun Sen pada 9 Januari.
Thach Setha bukan satu-satunya anggota Partai Cahaya Lilin yang menghadapi masalah hukum di tengah kampanye intimidasi Hun Sen.
Beberapa hari setelah pidatonya yang berisi tentang ancaman kekerasan, Hun Sen memerintahkan penasihat Partai Cahaya Lilin, Kong Korm, untuk menyerahkan rumah miliknya kepada pemerintah dalam waktu satu bulan. Hal tersebut memicu kembali masalah sengketa properti yang dimulai pada 1980-an.
Kong Korm adalah mantan wakil menteri luar negeri dan diplomat yang juga merupakan ayah pejabat senior Partai Cahaya Lilin, Kong Monika.
Kementerian Luar Negeri Kamboja pada awal Januari 2023 mengajukan gugatan sebesar $1 juta terhadap Kong Korm. Pemerintah menuduh dia melakukan kecurangan dalam memperoleh sertifikat tanah rumahnya. Gugatan itu dianulir setelah Korm "sepakat" untuk mengembalikan tanah itu kepada negara.
Pengamat politik Kim Sok mengatakan kepada Radio Free Asia, kantor berita yang berada dalam satu payung dengan Voice of America yang didanai AS, bahwa Kong Korm menyerahkan tanahnya “untuk menghindari hukuman penjara atau ancaman terhadap keamanan pribadi.”
Kong Korm juga menghadapi tuntutan tiga tahun penjara dalam gugatan terpisah senilai $500.000 atas tuduhan penghasutan. Tuntutan itu muncul setelah dia mengatakan CPP memiliki akar asing. (Ketua CNRP Sam Rainsy sebelumnya mengklaim CPP dibentuk oleh pemimpin komunis Vietnam, Ho Chi Minh.)
Wakil Presiden Partai Cahaya Lilin, Son Chhay, juga diperintahkan membayar ganti rugi kepada CPP sekitar $1 juta. Perintah bayar itu muncul setelah Son Chhay menuduh pemilihan nasional pada Juni 2022 tercemar oleh adanya praktik penyimpangan dalam pemungutan suara dan kecurangan pemilu.
HRW mencatat dalam Laporan Dunia 2023 bahwa “pemerintah menghalangi dan melecehkan anggota Partai Cahaya Lilin, partai yang diaktifkan kembali” sehubungan dengan pemungutan suara Juni 2022:
"Sebelum pemilihan komune pada 5 Juni 2022, pihak berwenang melanggar hak-hak oposisi anggota Partai Cahaya Lilin dengan menghapus sebanyak 150 kandidat dari daftar Komite Pemilihan Nasional Kamboja, menangkap para aktivis partai, mengancam para kandidat untuk membatalakn pencalonan mereka atau menghadapi tuntutan pidana palsu, dan campur tangan dalam kampanye pemilu. Terlepas dari hambatan ini, Partai Cahaya Lilin berhasil memenangkan 18 persen suara nasional. Namun, hal itu berarti hanya ada empat posisi ketua komune dari total 1.652 kursi ketua komune yang terpilih.”
Komune adalah kumpulan tiga hingga 30 desa di Kamboja.
Partai Cahaya Lilin telah memperingatkan bahwa mereka mungkin tidak akan berpartisipasi dalam pemilu mendatang jika ancaman “kejam” terhadap partai mereka terus berlanjut.
Seorang juru bicara pemerintah bersikeras bahwa pemilihan itu akan "bebas dan adil"meskipun tanpa partisipasi Partai Cahaya Lilin. Ia menambahkan: "Jika mereka (CP) tidak bersaing, itu berarti mereka meremehkan nilai partisipasi masyarakat dalam membangun demokrasi dan menunjukkan bahwa mereka bukan demokrat sejati.”
Namun, anggota-anggota parlemen daerah mengatakan Hun Sen lah yang merusak tatanan demokrasi di negara itu.
“Ancaman kekerasan fisik, terutama dari seorang pria yang telah memerintah negaranya selama hampir empat dekade dan telah mengubahnya menjadi kediktatoran, seharusnya membuat siapapun yang percaya pada demokrasi merinding,” kata Mercy Barends, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang juga merupakan anggota dewan Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk Hak Asasi Manusia.
“Hun Sen dan rezimnya memiliki sejarah panjang terkait pembungkaman, pelecehan, dan penganiayaan para tokoh oposisi, dan ancamannya sepenuhnya konsisten dengan (hal-hal) itu. Dia harus dikecam dengan terang-terangan karena merusak sejumlah institusi demokrasi di Kamboja,” katanya.
Kelompok pengawas Freedom House menilai Kamboja sebagai negara yang “tidak bebas.” Mereka menggambarkan sistem pengadilan di negara tersebut sebagai berikut:
"Peradilan dirusak oleh tindakan korupsi dan kurangnya independensi. Para hakim telah memfasilitasi keinginan pemerintah untuk mendakwa barisan politisi oposisi.
"Hak terkait proses hukum ditegakkan dengan buruk di Kamboja. Penyalahgunaan yang dilakukan petugas penegak hukum dan hakim menjadi hal yang sangat lumrah. Pengadilan palsu sering terjadi, sementara elite pada umumnya justru menikmati impunitas.”
Dan, sepertinya hal tersebut terjadi pada kasus Thach Setha.
Sungguh "ironis" bahwa hanya pemimpin oposisi politik yang ditangkap dan diselidiki atas dugaan korupsi "di negara seperti Kamboja, di mana korupsi di tengah para menteri pemerintahan merajalela," kata Phil Robertson, Wakil Direktur HRW, Divisi Asia, kepada Polygraph.info.
"Inilah yang terlihat seperti penegakan hukum selektif, menyembunyikan pelecehan politik. Thach Setha telah menyangkal tuduhan terhadapnya, tetapi baik polisi maupun pihak pengadilan tidak akan mendengarkan bantahan tersebut selama para pemimpin politik senior mengklaim dia telah melakukan kesalahan."